Sebagian pihak mulai mengkritisi aksi kontra-terorisme Indonesia, khususnya terkait penyitaan kotak amal beberapa hari lalu di Lampung. Sementara, upaya deradikalisasi pun sering dinilai belum efektif. Apa yang perlu dibenahi oleh Indonesia, dan spesifiknya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)?
“Terrorism is the symptom, not the disease,” – Arundhati Roy, penulis India
Permasalahan terorisme di Indonesia ibarat jamur. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) telah melakukan berbagai upaya keras untuk memberantasnya, namun peristiwa terorisme masih saja bisa ditemukan di berbagai penjuru Indonesia pada tahun 2021.
Terbaru, BNPT dan Densus 88 dikabarkan melakukan operasi kontra-terorisme di Lampung, terkait dugaan jaringan terorisme Jamaah Islamiyah yang telah menginfiltrasi sejumlah tempat dakwah. Yang menjadi sorotan utama adalah, selain telah menangkap setidaknya 8 terduga teroris, aparat juga mengamankan lebih dari 700 kotak amal dari Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf (LAZ ABA).
Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra, Fadli Zon melemparkan komentar yang cukup pedas terkait ini. Ia menyebut aparat anti-terorisme Indonesia hanya sibuk menyita kotak amal, sementara kerap kali terduga teroris yang ditangkap masih belum jelas ihwal sasaran penyerangannya, bahkan masyarakat pun tidak diberi keterangan yang jelas tentang potensi teror dari kelompok yang ditangkap tersebut.
Baca Juga: Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?
Bahkan, pada Oktober lalu, Fadli sempat mencap aksi anti-terorisme Indonesia cenderung Islamofobik, hanya bertindak tegas pada kelompok radikal tertentu saja. Sementara, aksi teror yang nyata bentuknya seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua tidak pernah ada upaya anti-teror yang riil, padahal pemerintah sudah menetapkan mereka sebagai teroris pada April lalu.
Di sisi lain, pengamat intelijen, Susaningtyas Kertopati sempat mengkritik kinerja BNPT dalam menerapkan program deradikalisasi aktivitas terorisme. BNPT dinilainya hanya sibuk menyelenggarakan kegiatan seminar ketimbang melakukan penetrasi ke masyarakat untuk mencegah aktivitas terorisme. Padahal, lingkungan masyarakat merupakan salah satu tempat tumbuh berkembangnya aktivitas terorisme
Lantas, apa yang salah dengan penanganan terorisme di Indonesia?
Salah Menggunakan Definisi?
Terorisme barangkali telah menjadi salah satu permasalahan modern yang paling rumit untuk diberantas. Salah satu faktornya karena sampai saat ini definisinya saja masih menjadi perdebatan besar.
Bisa dibilang pengertian terorisme yang sampai saat ini diakui oleh mayoritas negara di seluruh dunia mengacu pada definisi yang dianut Amerika Serikat (AS).
Pada dasarnya, AS mengartikan terorisme sebagai kekerasan terencana dan bermotivasi politik yang dilakukan terhadap target non-tempur oleh kelompok non-negara dan/atau agen klandestin. Sementara itu, Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 mengartikan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Perlu diketahui bahwa sudah ada beberapa pihak yang mengkritisi penggunaan definisi ini. Dosen hukum pidana Universitas Katolik Atma Jaya, Antonius P.S. Wibowo mengatakan, dengan mencantumkan motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan dalam rumusan definisi terorisme, artinya menambah unsur delik yang harus dibuktikan untuk menyatakan telah terjadi tindak kejahatan terorisme.
Meskipun faktanya telah terjadi teror di masyarakat, selama tidak bisa dibuktikan adanya motif tersebut maka tidak bisa disebut sebagai terorisme. Lebih lanjut, Anton menyoroti soal motif politik yang membuat jenis kejahatan terorisme dikualifikasi sebagai delik politik. Padahal dalam rezim hukum pidana internasional ada kesepakatan bahwa terhadap pelaku delik politik tidak dapat dilakukan ekstradisi.
Baca Juga: Perpres Ekstremisme Jokowi Salah Kaprah?
Kritik juga sempat dilemparkan oleh mantan Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono. Di tulisannya yang berjudul Mendorong Definisi Terorisme yang lebih Komprehensif dan Universal dalam UU Terorisme Indonesia, Supriyadi mengatakan, aturan mengenai anti terorisme yang dilahirkan hanya memaparkan mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat di kategorikan sebagai terorisme.
Sementara, dalam rezim hukum pidana, pembuktian Element of Crimes atau faktor pendukung terjadinya kekerasan adalah penting, karena suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila sudah memenuhi syarat dari unsur-unsur kriminalnya.
Lalu, mengapa Indonesia masih kesulitan dalam menentukan definisi terorisme yang tepat?
Subjektivitas Konotasi Terorisme
Cendekiawan Indonesia, Azyumardi Azra mengatakan pendefinisian terorisme selalu sulit karena bersifat terlalu abstrak. Selain itu, pengertian terorisme seringkali didasarkan pada asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan, khususnya yang menyangkut politik adalah antara justifiable (dapat dibenarkan) dan unjustifiable (tidak dapat dibenarkan). Azra menilai, klasifikasi tindakan-tindakan kekerasan berdasarkan logika dua pengelompokan seperti itu mengandung persoalan dalam dirinya sendiri.
Batas-batas pengelompokkan ini bersifat sangat subjektif, tergantung dari siapa pihak otoritas yang mengelompokkan. Kekerasan yang bagi sebagian orang unjustifiable sangat mungkin menjadi justifiable bagi pihak lain. Pengertian teror dan terorisme, dengan demikian, terletak pada justifikasi moral pihak yang mendefinisikannya.
Subjektivitas terorisme ini bisa kita lihat dari bermacam kasus dari banyak negara. Mungkin yang paling baru adalah Myanmar, dengan kabar tentang jurnalis asal AS, bernama Danny Fenster, yang didakwa sebagai teroris oleh pemerintah junta militer Myanmar. Padalah, ketika awal ditahan pada Mei lalu, Danny didakwa menyebar ujaran kebencian pada masyarakat Myanmar, namun tiba-tiba saja tuduhan tereskalasi menjadi dakwaan terorisme.
Selain itu, kita bisa melihat keadaan yang terjadi di Timur Tengah, di mana Israel akhir-akhir ini mulai memberikan julukan terorisme pada kelompok-kelompok aktivis Palestina, yang di antaranya adalah Komite Persatuan Perempuan Palestina (UPWC) dan Komite Persatuan Kerja Agrikultural (UAWC).
Pengamat terorisme, Bruce Hoffman, dalam tulisannya Defining Terrorism, mengatakan penggunaan definisi terorisme yang umumnya dianut negara-negara saat ini seringkali tujuannya hanya untuk membentuk pemahaman bersama tentang bahayanya suatu kelompok, sembari menjauhkan kesadaran publik yang dapat menghalangi kewenangan negara dalam menggunakan kekuatannya untuk mendakwakan kelompok tersebut.
Baca Juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?
Selain itu, Hoffman menilai, karena definisi terorisme memiliki konotasi yang sangat peyoratif, penerapannya sangat rentan untuk digunakan hanya sebagai label pada kelompok non-negara apapun yang dianggap dapat mengancam kepentingan politik, sambil tentunya berimplikasi sebagai kontrol persepsi publik dan legitimasi kebijakan.
Secara filosofis, pola pembentukan persepsi publik ini dapat menjadi sesuatu yang berbahaya, karena sejalan dengan apa yang dimaksud istilah argumentum ad baculum. David Hackett Fischer dalam tulisannya yang berjudul Historians’ Fallacies: Toward a Logic of Historical Thought menyebut masyarakat cenderung selalu akan melihat apa yang disampaikan oleh pemerintah sebagai kebenaran.
Namun, persepsi ini terbangun bukan karena hasutan, melainkan karena masyarakat khawatir akan mendapat kecaman jika tidak setuju dengan narasi yang dibangun pemerintah. Melihat kerasnya kecaman pemerintah dan masyarakat tentang terorisme, maka masuk akal jika secara alamiah, orang-orang akan ikut memvonis kelompok yang ditetapkan sebagai teroris. Konsekuensinya, kritisisme terhadap pengertian terorisme dapat semakin terkikis.
Lantas, apa yang harus dirombak dari definisi terorisme Indonesia dan BNPT?
Terorisme Adalah Hydra
Tentu radikalisme dan terorisme adalah hama yang perlu diberantas, keberadaannya dapat mengancam masa depan negara. Tetapi, berdasarkan apa yang disampaikan di atas, penggunaan definisi terorisme yang dianut sekarang belum dapat menyelesaikan masalah secara konkret.
Kembali mengutip Azra, kunci dari pendefinisian terorisme yang tepat terletak di pembedaan kata ‘teror’ dan ‘terorisme’. Penggunaan kekerasan atau teror tidak langsung merupakan terorisme, karena teror bisa dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal dan personal. Sebaliknya, terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstranormal, khususnya penggunaan ancaman kekerasan.
Berangkat dari apa yang disampaikan Azra, sesungguhnya agar dapat menemukan definisi terorisme yang tepat, Indonesia dan BNPT perlu mengidentifikasi apa-apa saja yang menjadi penyebab utama terjadinya tindak terorisme.
Menurut Tore Bjørgo dalam tulisannya yang berjudul Roots Causes of Terrorism, beberapa hal yang menjadi penyebab terorisme susah diberantas di antaranya adalah kurangnya kebebasan sipil dan supremasi hukum, modernisasi yang terlalu cepat, aktor eksternal yang kuat (yang umumnya datang dari dukungan pihak asing), dan kegagalan atau keengganan negara untuk mengintegrasikan kelompok yang berpotensi menjadi radikal akibat perbedaan pandangan politik.
Baca Juga: Akar Terorisme, PR Besar BNPT
Jika negara masih belum mau mengakui faktor-faktor tersebut, pemberantasan terorisme hanya akan terus tumbuh, seberapa keras pun negara berusaha menghilangkannya. Kembali mengutip buku Roots Causes of Terrorism, ada sebuah analogi menarik dari profesor kajian terorisme Cranfield Forensic Institute, Andrew Silke. Ia mengibaratkan terorisme layaknya makhluk mitologi Yunani, Hydra.
Jika ingin membunuhnya, kita tidak bisa hanya menebas kepala sang Hydra, tetapi juga perlu menggunakan api untuk membakar luka monster tersebut, dan dengan demikian barulah kita bisa mencegah kepala lain untuk tumbuh.
Dengan demikian, sangat penting sekali bagi BNPT untuk tidak hanya melihat terorisme sebagai akibat dan perbuatan saja, tetapi juga fokus menutup ‘lubang-lubang’ yang dapat memprovokasi terjadinya gerakan radikal dan terorisme. (D74)