Site icon PinterPolitik.com

BNPT Salah Memahami Terorisme?

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar (Foto: Radar Lombok)

Terorisme adalah kekejaman yang perlu diberantas. Namun, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) seringkali menunjukkan kerancuan dalam memahami terorisme, bahkan menyamakannya dengan radikalisme. Mengapa ini bisa terjadi? 


PinterPolitik.com 

Semenjak peristiwa penabrakan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001, istilah “terorisme” menjadi kata yang populer digunakan oleh seluruh pemerintahan negara di dunia dalam mendefinisikan upaya kekerasan yang didasari oleh motif politik, ideologi, bahkan agama, yang dilakukan oleh suatu kelompok.  

Contoh kasus penggunaan kata terorisme yang cukup menarik belakangan ini adalah dari kelompok Hizbullah Lebanon kepada keluarga kerajaan Saudi. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hizbullah, Hasran Nasrallah menuduh Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud sebagai teroris karena dianggap telah mengirim ribuan personel Saudi untuk melakukan operasi bunuh diri di Irak dan Suriah.  

Tentu, pihak Saudi tidak menerima tuduhan ini, karena mereka melihat justru konflik di Timur Tengah adalah hasil provokasi dari Iran. Sebagai bentuk protes, pihak Saudi membalas menyebut kelompok Hizbullah sebagai teroris. 

Di Indonesia, belum lama ini Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar mendapat sorotan publik karena dalam suatu pernyataan, ia mengatakan bahwa organisasi Jamaah Ansharu Syariah (JAS) adalah salah satu dari 6 kelompok terorisme di Indonesia yang masih aktif.  

Amir JAS, Mochammad Achwan tidak terima pihaknya disebut sebagai kelompok teroris. Ia mengatakan apa yang disebutkan oleh Boy adalah pernyataan yang tidak berdasar serta tidak dibangun di atas fakta dan data yang benar. Ia juga menyebutkan hingga saat ini JAS belum pernah menerima BNPT datang untuk dialog dan/atau melakukan penelitian tentang pemikiran atau gerakan yang dilakukan oleh JAS. 

Di acara lain, Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid juga melempar pernyataan yang menarik untuk diperhatikan. Ia menyebutkan bahwa kelompok radikal dan terorisme memiliki kesamaan karakter, yaitu anti budaya dan anti kearifan lokal keagamaan. Ia berkeyakinan, kelompok yang radikal dan teroris ini membenci kegiatan keagamaan lokal yang umumnya dilakukan Muslim di Indonesia, seperti tahlinan dan yasinan. 

Ia juga mengatakan kelompok tersebut umumnya bersikap anti terhadap pemerintah yang sah. Sesuai pandangannya, kelompok ini selalu berupaya mempengaruhi masyarakat untuk tidak memercayai pemerintah melalui tindakan penyebaran hoaks, adu domba, dan fitnah terkait kinerja pemerintah. 

Pernyataan-pernyataan ini kemudian menyulut pertanyaan, mengapa BNPT memaknai terorisme sebagai hal yang terlihat masih abstrak dan berpotensi memicu perdebatan? Mungkinkah BNPT salah memahami definisi terorisme? 

Baca juga: BNPT Terjebak Definisi Terorisme?

Perlu Pemaknaan Ulang? 

Melihat narasi yang dilakukan oleh BNPT dan pemerintah dari beberapa tahun ke belakang sampai saat ini, tampak ada sebuah kesalahan fatal yang perlu diperbaiki secepatnya, yaitu penyamaan makna antara apa itu radikalisme dan apa itu terorisme.  

Perlu kita pahami bersama bahwa radikalisme sesungguhnya memiliki definisi yang berbeda dengan terorisme. Meskipun memang pada titik tertentu radikalisme bisa bertemu dengan terorisme, tapi pada dasarnya, apa yang dimaksud dengan pemahaman yang radikal tidak bisa disamakan dengan terorisme.  

Astrid Bötticher dalam tulisannya Towards Academic Consensus Definitions of Radicalism and Extremism, menjelaskan bahwa radikalisme mengacu pada doktrin suatu ajaran yang dianut secara mendalam oleh gerakan sosial-politik yang mendukung kebebasan individu dan kolektif, dan emansipasi dari aturan rezim pemerintah dan masyarakat yang terstruktur secara hierarkis.  

Radikalisme sebagai pola pikir ideologis cenderung sangat kritis terhadap status quo yang ada, dan mengejar tujuan restrukturisasi dan/atau reformasi struktur politik atau sosial. Namun, dalam aktivitasnya, kelompok radikal tidak selalu bertujuan melakukan kekerasan, Bötticher mengatakan kelompok radikal lebih sering bersifat reformis progresif, tidak utopis ekstremis.  

Oleh karena itu, kelompok radikal tidak mengglorifikasikan penggunaan kekerasan. Bahkan, seringkali kelompok yang radikal justru terbuka akan proses argumentasi yang rasional tentang cara dan metode yang bisa mereka lakukan untuk mencapai tujuan. 

Sementara itu, terorisme adalah bentuk kekerasan yang dilakukan individu ataupun kelompok yang tujuannya murni adalah untuk menyakiti atau menebar rasa takut, apapun motifnya. Masalahnya, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 atau UU Terorisme, terorisme didefinisikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan berdasarkan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Ditambah lagi, dalam UU tersebut tidak tercantum definisi tentang radikalisme. Ini kemudian membuat pemaknaan terorisme lebih kabur. 

Padahal, menurut Bötticher, kaitan antara radikalisme dan terorisme jauh lebih lemah dibandingkan antara ekstremisme dan terorisme. Dalam hal ini, penggunaan istilah ‘radikalisasi’ untuk merujuk pada suatu bentuk kekerasan politik tertentu, spesifiknya terorisme, adalah tindakan yang sangat keliru. 

Kalau kita lihat di internet, sesungguhnya banyak pengamat yang sudah mencoba memberi masukan pada pemerintah terkait hal ini, namun pemerintah masih belum menunjukkan niatan yang progresif dalam merubah definisi terorisme, ataupun menambah definisi radikalisme dalam UU Terorisme.  

Malahan fenomena yang terjadi saat ini adalah, selain semakin banyaknya pelabelan “terorisme” yang kontroversial, muncul juga stigma di masyarakat di mana kata terorisme berlaku layaknya kata “PKI”, atau “kafir”. Bukan lagi hal yang aneh jika kita menemukan suatu perdebatan di internet ataupun di dunia nyata, ketika ada seseorang menggunakan kalimat “anda teroris ya?” kepada lawannya, ibarat jurus pamungkas yang dapat menghentikan perseteruan lebih lanjut. 

Keanehan seperti ini ditelaah oleh Yvonna S. Lincoln dan Egon G. Guba dalam tulisan Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences, dengan istilah crisis of authority atau krisis otoritas, di mana realitas dalam dunia modern dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas kekuasaan.  

Sejatinya, kebenaran akan sesuatu mungkin sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang didorong oleh penguasa, namun karena memiliki kekuatan untuk mengontrol, versi lain tentang kebenaran tersebut akan dieliminasi demi menjaga alur politik, sosial, dan keamanan di suatu negara. Konsekuensinya adalah, realitas yang diyakini penguasa berpotensi menjadi alat politik yang cukup kuat dalam meredam munculnya pandangan alternatif. 

Ini kemudian yang dikhawatirkan sejumlah pengamat terorisme. Multitafsir yang ada di dalam definisi UU Terorisme digunakan untuk kepentingan politik. Direktur Imparsial, Al Araf bahkan pernah mengatakan definisi ini bisa berpotensi disalahgunakan untuk menindak kelompok-kelompok yang selama ini kritis terhadap pemerintah.  

Lantas, mungkinkah UU Terorisme benar-benar bisa difungsikan sebagai alat politik yang represif? 

Baca juga: Akar Terorisme, PR Besar BNPT

Represif Setelah UU Terorisme? 

Pada tahun 1980, Mark Gibney dan sejumlah peneliti terorisme dari Perude University dan University of California mengenalkan apa yang disebut dengan political terror scale (PTS). Ini adalah skala penghitungan yang digunakan para peneliti untuk menilai sejauh mana suatu negara menimbulkan teror politik. Teror yang dimaksud adalah pembunuhan yang disetujui negara, penyiksaan, penghilangan dan pemenjaraan politik. 

Penilaian ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya terhadap 180 negara secara digital berdasarkan sejumlah peneliti terorisme, serta Amnesty Internasional, Human Rights Watch, dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS.  

Baca juga: Atasi Radikalisme, Dudung Perlu Diapresiasi?

Skor yang digunakan dimulai dari angka 1 sebagai penilaian terbaik, yang diartikan prinsip rule of law dijalankan dengan baik dan masyarakatnya tidak ditangkap karena pandangan politiknya. Sementara, skor paling tinggi yaitu di angka 5, diartikan sebagai negara yang tidak ragu-ragu dalam mempersekusi siapapun yang menentang pandangan politiknya, dan aksi penangkapan bahkan pembunuhan aktor politik lumrah terjadi. 

Terkait upaya meraba teror politik pasca diberlakukannya UU Terorisme, di PTS kita bisa melihat bahwa Indonesia secara konstan memiliki skor 3 dari tahun 2010 hingga tahun 2020. Sebagai perbandingan, kalau melihat skor yang dimiliki Singapura, sebagai negara yang otoriter, mereka memiliki skor 2 secara konsisten dari tahun 2010 sampai 2020. 

Michael Stohl, salah satu peneliti yang terlibat dalam pembuatan PTS, dalam tulisan Roots Causes of Terrorism, menjelaskan bahwa negara yang memiliki skor 3 artinya terdapat aksi penangkapan politik yang cukup ekstensif, dengan eksekusi atau pembunuhan politik dan kebrutalan lainnya yang sangat mungkin terjadi. Lalu, adanya penahanan tanpa batas, dengan atau tanpa pengadilan, terhadap subjek yang memiliki pandangan politik tertentu.   

Meskipun PTS tidak spesifik mengarah pada dampak dari penyalahgunaan definisi terorisme, Stohl menambahkan, ada kecenderungan baru dalam suatu negara demokrasi di mana sejumlah perangkat politik, seperti undang-undang, dibingkai sedemikian rupa untuk mengeliminasi munculnya suara radikal dan moderat dari kelompok pengkritik pemerintah. Sementara, tidak ada masyarakat yang bisa menghentikan itu. 

Tentu terorisme adalah tindakan yang keji yang harus diberantas. Tetapi, jika kita terlalu mudah memberi label teroris pada suatu kelompok, yang belum tentu menjadi teroris, itu justru akan mempersulit upaya kita untuk benar-benar menghilangkan terorisme secara utuh. 

Dengan demikian, penting bagi kita untuk mendorong adanya perubahan definisi terorisme dalam UU Terorisme, dan menciptakan pendefinisian yang jelas tentang bentuk radikalisme seperti apa yang berbahaya, dan juga yang tidak. (D74) 

Baca juga: Politisasi Agama Lahirkan Radikalisme?

Exit mobile version