HomeNalar PolitikBlusukan Risma, Siasat Jadi Bumerang?

Blusukan Risma, Siasat Jadi Bumerang?

Blusukan Mensos Tri Rismaharini, khususnya yang Ia lakukan di DKI Jakarta terus menuai sorotan publik. Namun, mengapa sorotan atas blusukan Risma itu justru jamak yang bernuansa kurang positif? Serta mengapa pula Risma terkesan terus melanjutkan manuvernya itu?


PinterPolitik.com

Segala tindak tanduk yang dilakukan para pejabat dan politisi, selalu menggugah insting, nalar, maupun analisa publik. Yang terbaru, warganet menyoroti salah satu blusukan teranyar Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat.

Pada kesempatan itu, Risma berbincang dengan sejumlah pengemis dan tunawisma atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Akan tetapi, warganet mempertanyakan eksistensi tunawisma di kawasan tersebut yang dalam beberapa tahun terakhir diketahui sesungguhnya sudah jarang ditemui.

Terlepas dari penilaian lebih lanjut atas praduga dan kejanggalan tersebut, kritik secara umum atas manuver blusukan Risma di DKI Jakarta memang telah jamak hadir. Baik yang datang dari sesama politisi, para pengamat, maupun publik.

Narasi kritik tersebut secara garis besar serupa dengan apa yang dikemukakan oleh politisi Partai Gelora, Fahri Hamzah. Sosok yang juga mantan Wakil Ketua DPR RI itu mengkritisi aksi blusukan, sekaligus mengingatkan Risma bahwa kapasitasnya saat ini sebagai Menteri berbeda dengan seorang Wali Kota.

Fahri menegaskan bahwa potret kemiskinan justru lebih banyak didapati di daerah terpencil di luar Jakarta, yang mungkin lebih mendesak untuk disoroti dan mendapat penanganan cepat.

Sementara kritik yang agak berbeda datang dari anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB Maman Imanulhaq. Maman menyebut Risma sebaiknya terlebih dahulu membenahi manajemen internal Kementerian Sosial (Kemensos), sebagai ihwal yang lebih penting dari sekadar blusukan.

Baca juga: Mensos Risma ‘Bondo Nekat’?

Kendati demikian, jika kembali menilik pada kewenangan Risma saat ini sebagai Mensos, lumrah saja sesungguhnya bagi dirinya untuk melakukan blusukan semacam itu di manapun, termasuk di DKI Jakarta.

Ihwal yang kemudian mengarah pada sebuah pertanyaan mendasar tersendiri, tentang mengapa reaksi minor justru seolah lebih banyak didapatkan Risma atas blusukan yang dilakukannya itu?

Efek Jokowi?

Blusukan sendiri secara harfiah merupakan corak kepemimpinan yang erat dengan tradisi dan kebudayaan Jawa dalam melihat kondisi riil rakyatnya. Dalam sebuah buku berjudul The Power of “Blusukan”, disebutkan Mangkunegara hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi pemimpin yang gemar blusukan, dengan semangat filosofis untuk menyatukan kepemimpinan dengan rasa penderitaan rakyat.

Namun, pada konteks blusukan yang jadi “senjata” Risma, mungkin saja sesungguhnya telah memiliki definisi yang diserap berbeda secara politik di era kontemporer dan level nasional. Terlebih ketika berbicara output konkret dari blusukan itu sendiri yang terkait dengan trust atau kepercayaan.

Karena menurut Jeffry A. Simpson dalam Psychological Foundations of Trust, pihak yang dipercaya dapat dikategorisasikan pada sejauh mana realisasi dalam memenuhi harapan pihak tertentu dan kebermanfaatannya.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Dalam How Betrayal Affects Emotions and Subsequent Trust, Wing Shing Lee dan Marcus Selartmenjelaskan effect of betrayal yang berbicara mengenai efek pelanggaran terhadap trust yang memiliki pengaruh signifikan dalam konteks interpersonal beserta komparasi subjeknya.

Baca juga: Video Call, Blusukan Baru Jokowi?

Di kancah politik kekinian, kultur blusukan sendiri awalnya lekat dan populer dengan sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang merepresentasikan kesederhanaan dan karakter merakyat dalam perjalanan politik sensasionalnya, mulai dari Solo hingga Jakarta.

Masuk ke pemukiman padat penduduk dan bercengkrama tanpa sekat, hingga turun ke dalam saluran air secara langsung, menjadi trade mark Jokowi yang cukup membekas bagi publik.

Sayangnya, ketika telah terpilih dan telah mengampu jabatan prestisius, semangat dari karakter tersebut terkesan pudar dan justru menjadi hal yang kontradiktif. Presiden Jokowi seolah justru gagal dalam merepresentasikan hakikat blusukan yang lebih besar, yakni mendengarkan aspirasi publik seperti pada beberapa regulasi kontroversial, maupun sejumlah kebijakan selama pandemi.

Dalam Indonesia’s Jokowi Turns Politics into A Family Business, Benjamin Bland turut menggambarkan tendensi perubahan Jokowi tersebut, termasuk dari pemimpin yang merakyat dan penuh kesederhanaan, menjadi elite yang kontradiktif dengan hal tersebut.

Tidak terartikulasikannya hakikat blusukan dalam portofolio kepemimpinan Presiden Jokowi, mungkin saja menciptakan semacam memori kolektif ketidakpercayaan maupun effect of betrayal dalam persepsi publik.

Bahwasanya blusukan kemudian memiliki impresi hanya sekadar gimik politik atau pencitraan yang tidak sepenuhnya memiliki prospek positif yang berkesinambungan di kemudian hari.

Dan Risma, kemungkinan mendapat efek dari persepsi minor manuver blusukan yang telah terbangun tersebut. Apalagi, blusukan itu dilakukan oleh Risma sebagai sosok yang juga berada dalam satu gerbong politik dengan Presiden Jokowi.

Meskipun Risma sendiri terkenal dengan karakter blusukan serupa ketika memimpin Surabaya, mengacu pada kecenderungan di atas, pada akhirnya trust pada konteks blusukan yang dilakukan Risma di DKI Jakarta menjadi hal yang kurang mendapat reaksi positif dan bahkan justru sebaliknya.

Namun pertanyaan berikutnya, mengapa Risma terus melakukan manuver blusukan itu meskipun sebenarnya sejak awal telah mendapat kritik?

“Miskin” Strategi Jegal Anies?

Selama menjabat sebagai Mensos, DKI Jakarta seolah menjadi focal point kinerja Risma. Blusukan di bantaran Ciliwung di kawasan Menteng pada hari pertama dinasnya, menyambangi kolong tol Pluit, hingga bersua para PPKS di Jakarta Pusat mengejawantahkan bahwa DKI Jakarta tampaknya memiliki kekhususan tersendiri bagi eks Wali Kota Surabaya.

Dan oleh karena sosok Risma yang tak bisa pungkiri adalah seorang politisi tulen, sulit kiranya untuk tidak mengaitkan manuver tersebut dengan proyeksi kontestasi politik dan elektoral ke depan.

Misi untuk menantang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disebut menjadi alasan terbesar di balik ditunjuk dan trengginasnya Risma sebagai Mensos, utamanya manuver beliau di Ibu Kota.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Baca juga: Jokowi dan Kehancuran Kosmopolitanisme

Karena menurut Manajer Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, selama ini suara oposan Anies di DKI Jakarta tidak mendapat kanal politik yang memadai.

Atau dengan kata lain, memang sangat sulit melihat atau menemukan penantang sepadan Anies, untuk head to head secara personal di DKI Jakarta. Tentu jika kita mengarahkan “teropong” pada konteks proyeksi Pilkada DKI Jakarta 2022, yang dikatakan menjadi batu loncatan ideal Anies menuju Pilpres 2024.

Walhasil, meski kerap mendapat kritik atas blusukannya, Risma memang mungkin “didorong” untuk terus memaksimalkan manuver itu, sebagai satu-satunya peluang terbaik yang ada dalam menantang sekaligus berupaya mengeksploitasi celah Anies. Yakni terkait publisitas seperti yang dijelaskan İbrahim Ayvaz dalam Political Publicity and Elections Results.

Ayvaz menyebut, Political publicity atau publisitas politik merupakan upaya yang sangat efektif dalam mengamankan ruang editorial, terutama di media massa dalam mempromosikan partai politik (parpol) maupun politisi dalam kontestasi elektoral.

Ini terlihat dari bagaimana publisitas atas blusukan Risma, khususnya di DKI Jakarta, cukup gencar terlihat di media massa, platform media resmi Kemensos, bahkan hingga sosial media sosial PDIP.

Akan tetapi, Ayvaz menyebut bahwa publisitas juga memiliki efek negatif dibandingkan dengan alat promosi lainnya, yakni terkait dengan minimnya kontrol. Akibatnya, sangat mungkin untuk tidak mendapatkan hasil persis seperti yang telah direncanakan dari sebuah publisitas politik.

Dan pada titik ini, jika memang bertujuan “menantang” Anies, efek negatif tersebut lantas tampak menjadi kontraproduktif ketika bersanding dengan effect of betrayal dari blusukan seperti yang dijelaskan sebelumnya, bagi strategi politik Risma maupun pihak di belakangnya.

Tak menutup kemungkinan jika memang analisa tersebut benar dan terus demikian, agaknya akan menjadi political fortune atau keberuntungan politik tersendiri bagi Anies Baswedan.

Apalagi eksploitasi Risma terhadap sejumlah persoalan minor di DKI Jakarta langsung direspons dengan cukup baik oleh jajaran di bawah kepemimpinan Anies.

Salah satunya tercermin dari blusukan pertama Risma di bantaran Ciliwung, yang langsung direspons oleh Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan menata titik tersebut menjadi taman dan jalan akses warga.

Oleh karena itu, Risma dan barisan oposan yang mungkin bertujuan men-challenge Anies di DKI Jakarta mungkin harus memikirkan cara lain yang lebih elegan dari sekadar blusukan untuk dapat memberikan tantangan secara substansial plus menarik simpati publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Misi Rahasia Risma Jegal Anies?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?