Tindakan membentangkan kaus #2019GantiPresiden pasangan cagub Jabar, Sudrajat dan Syaikhu mengundang polemik. Apa sebenarnya manuver mereka?
PinterPolitik.com
“Ambisi politik tentu wajar saja, selama pandai menginsyafi batasan etika.” ~ Najwa Shihab
[dropcap]P[/dropcap]elaksanaan debat publik kedua Pilgub Jawa Barat yang diselenggarakan di Balairung Universitas Indonesia, Depok, Senin (14/5) lalu, sempat diwarnai kericuhan antar pendukung. Pemantik keributan itu, tak lain adalah pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu yang memberikan ucapan penutup yang dianggap provokatif.
Pasangan yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN ini, menyatakan kalau mereka menang nanti, maka di 2019, Indonesia akan ganti presiden. Ucapan ini juga disertai dengan bentangan kaus bertuliskan: “2018 Asyik menang, 2019 ganti presiden.” Selain mengundang kericuhan, tindakan pasangan nomor tiga ini juga diduga melanggar etika.
Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat yang saat itu ikut berusaha menenangkan massa pendukung, mengaku menyayangkan perbuatan pasangan tersebut. Padahal, acara sendiri berjalan lancar walau perdebatan yang terjadi cukup panas, terutama antara pasangan Deddy Mizwar – Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum.
Baru tau debat Pilgub Jabar kemarin rusuh.
Lagian ya, ngeluarin kaos gitu buat swing/undecided voters mah gak bakal ngaruh kayaknya. Cuma buat menyenangkan pendukung situ aja itu mah..
— Rifki M. Putra (@rifkimptr) May 14, 2018
Sebenarnya, apa yang menjadi tujuan utama dari Sudrajat maupun Syaikhu untuk membentangkan kaus berisi slogan tersebut? Apalagi respon yang diterima oleh mereka, bisa menjadi blunder, terutama di mata para pemilih yang memandang pasangan ini lebih berfokus pada kemenangan Pilpres, bukan sebagai gubernur.
Kalah Di Atas Kertas
Politik barangkali menjadi satu-satunya profesi yang tidak membutuhkan persiapan pemikiran yang memadai. ~ Robert Louis Stevenson
Ada alasan mengapa Robert Louis Stevenson, penulis dongeng legendaris Strange Case Dr. Jeckyll and Mr. Hydes ini begitu memandang rendah profesi seorang politikus. Sebagai penulis asal Scotlandia, Stevenson – di tahun 1800-an – pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi imigran di Amerika yang terlunta-lunta dan nyaris mati di pinggir jalan, sebelum akhirnya terdampar di Samoa hingga akhir hayatnya.
Baginya, politik hanyalah sekumpulan orang yang hanya berebut kuasa dengan berbagai cara. Salah satu contohnya, dapat dilihat dari bagaimana upaya para kandidat untuk bisa menang di Pilgub Serentak saat ini. Sebagai provinsi dengan lumbung suara terbanyak, tak heran pula bila petarungan di Pilgub Jabar begitu panas. Selain berebut kursi Jabar satu, mereka juga berupaya untuk mendapatkan suara di Pilpres 2019.
Mendapatkan pemilih sebanyak-banyaknya, bukan perkara mudah bagi keempat pasangan cagub dan cawagub. Walaupun di atas kertas, PDI Perjuangan dan Golkar menguasai mayoritas suara DPRD Jabar, namun bukan berarti pasangan TB Hasanudin dan Anton Charliyan (Hasanah) atau pasangan Deddy Mizwar dan Dedi Mulyani (DuoDM) akan dapat meraih suara pemilih dengan mudah.
Fakta ini dibuktikan melalui survei terakhir yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang mana sementara ini pasangan DuoDM memang masih memimpin di posisi puncak. Diikuti oleh pasangan Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum (Rindu), lalu Sudrajat – Ahmad Syaiku (Asyik) yang terpaut cukup jauh di posisi ketiga bersama dengan pasangan Hasanah.
Menurut Peneliti CSIS Arya Fernandes, masyarakat Jabar memiliki kriteria tersendiri dalam memilih pemimpinnya. Selain 90 persen beragama Islam, mayoritas warga Jabar juga cenderung tradisional dan memilih berdasarkan figur yang dikenalnya. Sehingga tak heran bila pasangan Rindu mampu berada di posisi kedua, mengalahkan jagoan PDI Perjuangan, pasangan Hasanah.
Sementara pasangan Asyik sendiri, baik Sudrajat maupun Syaikhu, bukan tokoh dengan popularitas tinggi layaknya Deddy Mizwar maupun Ridwan Kamil. Sehingga tak heran bila keduanya berupaya mendongkrak keterpilihan dengan mengafiliasikan kemenangan dengan figur yang akan diusung di Pilpres nanti, yaitu Prabowo Subianto. Namun apakah strategi ini akan berhasil?
Strategi Tokcer Atau Blunder?
“Kebutuhan politik terkadang berubah menjadi kesalahan politik.” ~ George Bernard Shaw
Dalam sejarah Prancis dan Inggris, Peristiwa Dunkirk begitu membekas dalam sejarah militer mereka. Ketika itu, 338 ribu Tentara Prancis dan Inggris tersudut di pesisir Prancis itu, akibat gempuran Tentara Jerman pimpinan Adolf Hitler. Andai Hitler tidak menghentikan serangan tentaranya, bisa jadi nasib para prajurit tersebut tidak akan selamat dan menjadi salah satu catatan pembantaian kejam Nazi.
Di sisi lain, sejarah juga mencatat kalau keputusan Hitler tersebut ternyata menjadi blunder bagi dirinya. Berkat berhasil menyelamatkan diri dan menyeberang ke Inggris, atas bantuan ratusan para pelaut sipil Inggris, 338 ribu pasukan itu dapat kembali bertarung di Perang Dunia II dan berhasil mengalahkan pasukan Jerman serta mengakhiri kekuasaan sang Fuhrer.
Konon, tak seorang pun yang tahu mengapa tiba-tiba pemimpin Jerman tersebut memutuskan untuk menghentikan serangan, sehingga menjadi bumerang bagi kekalahannya. Banyak pihak menilai, blunder tersebut terjadi akibat kegagalan strategi yang dipakai Hitler dalam menghadapi tentangan Kerajaan Inggris atas kekuasaannya.
Saat bertarung, strategi memang menjadi bagian penting dalam menentukan langkah dalam meraih kemenangan. Seperti halnya yang dilakukan oleh pasangan Asyik dalam debat publik kemarin, alih-alih ingin menggaet suara pemilih melalui sentimen pendukung gerakan tersebut, strategi tersebut bisa jadi malah menjadi blunder baginya.
Bila dikaji dalam teori kampanye, menurut Gary W. Cox dalam bukunya Making Vote Count, pasangan ini menggunakan Strategy Entry guna meraih kemungkinan mendapat dukungan elektoral (probably of receiving electoral support) dari sosok atau gerakan tagar ganti presiden yang mereka afiliasikan dan tengah digalang oleh PKS.
Selain itu, menurut Pakar Komunikasi dan Sosiolog dari Iowa State University, Everett Rogers, apa yang dilakukan oleh pasangan Asyik tersebut juga merupakan salah satu cara untuk mengkomunikasikan ide atau pandangan subyektif mereka, sehingga dapat diterima masyarakat dan berkembang menjadi proses konstruksi sosial.
Dengan kata lain, sebagai pasangan yang diusung koalisi partai oposisi, Sudrajat dan Syaikhu berupaya menggalang dan memanfaatkan suara pemilih yang menginginkan adanya presiden baru di 2019. Hanya saja, dengan isyarat tersebut, pasangan ini pun jadi terlihat kalau tujuan utamanya hanya untuk memenangkan Pilpres, bukan murni memimpin Jabar.
Ricuh Debat Pilgub Jabar, Bawaslu Kaji Pelanggaran 7 Hari ke Depan https://t.co/3WosDGl6rL pic.twitter.com/Ld5nUYutfi
— haryanto cahyono (@HaryantoCahyono) May 15, 2018
Kesan ini juga ditegaskan oleh Direktur LP3ES Ridwan Ibrahim yang mengatakan kalau sikap Sudrajat Syaikhu tersebut, menandakan kalau fokus kerja mereka lebih ke Pilpres bukan sebagai gubernur. Sehingga apa yang dilakukan keduanya, bisa menjadi blunder bagi kubu mereka sendiri, karena masyarakat bukannya menjadi tertarik untuk mendukung namun malah sebaliknya.
Pemikiran yang sama juga dinyatakan oleh Pengamat Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Karim Suryadi yang menilai aksi memamerkan kaus tersebut, berdasarkan segi komunikasi politik akan menghasilkan blunder bagi pasangan itu sendiri. Ia menilai, pasangan Asyik bisa jadi lupa kalau karakteristik pemilih Jabar tidak berdasarkan partai, tapi figur cagub dan cawagubnya itu sendiri.
Apalagi, secara etika pun ternyata apa yang dilakukan oleh pasangan tersebut menyalahi aturan di mana para peserta Pilkada seharusnya tidak membawa konten yang dapat memancing provokasi dan ujaran kebencian. Aturan ini ditegaskan oleh salah seorang anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin. Hanya saja, ia juga ragu apakah pelanggaran etika ini memang sengaja dilakukan atau memang pihak KPU yang lalai. Apapun itu, tetap saja, manuver pasangan Asyik ini pada akhirnya “mematuk” dirinya sendiri. (R24)