HomeNalar PolitikBLT Minyak Goreng Kekalahan Pemerintah?

BLT Minyak Goreng Kekalahan Pemerintah?

Kisruh minyak goreng belum berakhir, meski Presiden Jokowi telah megeluarkan keputusan BLT sebagai solusi. Bahkan BLT minyak goreng dianggap simbol kekalahan pemerintah terhadap dominasi kartel perusahaan minyak goreng yang memilih mengekspor barangnya. Lantas, benarkah BLT minyak goreng ini adalah bentuk kekalahan pemerintah?


PinterPolitik.com

Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng di masyarakat disorot oleh berbagai pihak. Kebijakan ini dianggap sebagai solusi akhir dari beberapa kebijakan Kementerian Perdagangan terkait minyak goreng yang gagal.

Jokowi memberikan BLT minyak goreng kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebesar 18,8 juta. Bantuan juga akan diberikan ke penerima Program Keluarga Harapan (PKH) serta 2,5 juta pedagang kaki lima dan warung (PKLW).

Rencananya disalurkan melalui dua skema. Pertama, dilakukan oleh Kementerian Sosial melalui PT Pos kepada 20,65 juta penerima yang terdaftar dengan total anggaran Rp6,2 triliun. Kedua, penyaluran dilakukan oleh TNI/Polri kepada PKLW dengan total anggaran Rp750 miliar.

Sekitar Rp6,95 triliun disiapkan pemerintah untuk menyokong program ini. Setiap penerima BLT memperoleh masing-masing Rp100.000 per bulan untuk periode April-Juni 2022. Bantuan akan diberikan secara penuh sebesar Rp300.000 bulan ini.

Isa Rachmatarwata, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, mengatakan anggaran untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng sudah tersedia. Anggaran diambil dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp6,95 triliun.

Meski seolah solutif, keputusan untuk memberikan BLT minyak goreng, oleh sebagian pengamat kebijakan dinilai sebagai bentuk kekalahan pemerintah dalam menghadapi polemik kelangkaan serta kenaikan harga minyak goreng.

Tamil Selvan, pengamat kebijakan dan komunikasi politik, mengatakan BLT ini simbol nyata kalahnya pemerintah dari mafia minyak goreng yang disebut Mendag. Ini sekaligus menjadi tanda bagi dunia internasional, bahwa pemerintah gagal menjaga keseimbangan pasar.

Lantas, sebagai upaya membuat pemahaman lebih jernih tentang polemik ini, seperti apa rangkaian kebijakan pemerintah tentang minyak goreng tersebut?

blt solusi ampuh jokowi ed.

Meraba Kebijakan Minyak Goreng

Krisis minyak goreng rupanya merupakan permasalahan global saat ini. Lonjakan harga crude palm oil (CPO) dipicu terhentinya pasokan minyak nabati, minyak bunga matahari dari kawasan Laut Hitam akibat perang Rusia-Ukraina.

Seperti yang diketahui, kawasan tersebut  sebagai pemasok 76 persen kebutuhan minyak bunga matahari dunia. Menanggulangi permasalahan ini, kontrol harga dengan memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) kemudian menyebabkan kelangkaan minyak goreng. Fenomena ini juga terjadi di beberapa negara di dunia.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Rezza Aji Pratama dalam tulisannya Bongkar Pasang Kebijakan Pemerintah Atasi Kisruh Minyak Goreng, mengatakan penyebab awal kisruh ini berasal dari harga CPO yang melambung sejak pertengahan 2020 membuat perusahaan-perusahaan minyak goreng mengutamakan pasar ekspor.

Keputusan perusahaan ini berakibat pada ketersediaan stok minyak goreng di dalam negeri semakin terbatas. Kondisi ini mulai memburuk pada awal tahun 2022. Dalam pemberitaan, rak-rak minyak goreng yang melompong di toko-toko ritel jadi pemandangan yang sering dijumpai.

Jika sebelumnya harga minyak goreng sekitar Rp14.000 untuk jenis kemasan, kemudian naik hingga dua kali lipat. Menjawab desakan kebutuhan konsumen, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), mengatakan pihaknya hanya mendapatkan jatah 1 juta liter per bulan, dari rata-rata 20 juta liter kebutuhan setiap bulan.

Beranjak dari fenomena ini, Menteri Perdagangan mengeluargan beberapa kebijakan. Bahkan dalam sebulan, yaitu di Januari 2022, Kemendag telah menerbitkan setidaknya lima beleid khusus minyak goreng.

Sebagai contoh, Permendag No.1/2022 dirilis memperluas distribusi minyak goreng dengan memanfaatkan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Secara bersamaan, pemerintah juga mengatur kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 20 persen dari volume ekspor.

Pemerintah juga sampai menetapkan ketentuan minyak goreng satu harga dengan kisaran Rp 14.000. Berjalan beberapa waktu, kebijakan ini lumpuh seketika. Harga minyak goreng ‘paksaan’ pemerintah membuat stok tiba-tiba hilang di pasar.

Setelah gagal menstabilkan harga dengan kebijakan ini, Kemendag lantas menghapus ketentuan satu harga.

Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF), mengatakan kebijakan HET gagal karena pelaku usaha masih menanggung kerugian karena harga CPO masih mengikuti harga internasional.

Di lain sisi, persoalan distribusi minyak goreng curah di pasar tradisional cukup kompleks. Kemudian Bulog tidak memiliki peranan strategis dalam mengatur HET agar lebih efektif di tingkat konsumen. Sedangkan pelaku usaha juga punya kepentingan rasional dalam upaya strategi penjualan barang mereka.

Hal ini yang akhirnya membuat program BLT minyak goreng dianggap sebagai upaya tak berkesudahan pemerintah mengatasi krisis minyak goreng. Melalui bantuan ini, pemerintah berharap meskipun harga jual minyak goreng melonjak, masyarakat tetap bisa menjangkaunya.

Lantas, benarkah bongkar pasang kebijakan terkait minyak goreng, yang akhirnya membuat pemerintah menerapkan strategi klasik pemberian BLT, merupakan kekalahan pemerintah terhadap kartel maupun mafia?

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 
permainan kartel minyal goreng ed.

Pemerintah Kalah?

Bola liar kisruh minyak goreng akhirnya berbelok ke ranah yang lebih panas. Mendag Lutfi menyalahkan mafia yang mencari untung di tengah krisis. Padahal jika ditinjau dari fenomena ekonomi, kelangkaan ini dapat dikatakan sebagai bentuk dari efek supercycle.

Supercycle dapat diartikan sebagai efek dari periodisasi lonjakan permintaan untuk berbagai komoditas, yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga. Kondisi ini biasanya akan diikuti oleh jatuhnya permintaan.

Mendag Lutfi menduga, kemarau minyak goreng terjadi karena rantai distribusi yang terganggu. Terdapat dugaan terjadi kebocoran ke industri hingga dijual secara ilegal ke luar negeri. Hal ini yang membuat dua lembaga negara, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kejaksaan Agung aktif memburu para penyimpang minyak goreng.

Kepala Pusat Penerangan Kejagung, Ketut Sumedana, mensinyalir ada gratifikasi dalam penerbitan persetujuan ekspor (PE). Sedangkan KPPU telah memanggil 44 pihak untuk menyelidiki kasus kelangkaan minyak goreng.

Pertarungan antara negara dan para kartel minyak goreng diibaratkan permainan truf, di mana negara diawal mengancam akan mengungkap mafia minyak goreng, tapi rupanya kartel punya kartu yang dapat membuat negara hanya terdiam tak berkutik.

Khudori dalam tulisannya Negara, Minyak Goreng, dan Para Bandit, mengatakan dalam kasus minyak goreng, kondisi pasar tidak bisa berjalan sempurna karena ruang informasi dalam posisi asimetris. Di mana pasar yang oligopoli membuat negara kian tak berdaya mengendalikan harga minyak goreng.

Di saat struktur pasar tidak sempurna, harga bisa diciptakan, bahkan disulap, dengan menciptakan “seolah-olah langka”. Padahal kelangkaan itu disulap oleh pengendali pasar. Di sini negara tidak dapat berkutik dan bersifat hanya sebagai “penjaga malam”.

Konsep negara penjaga malam ini, meminjam dari filsafat politik libertarian dengan istilah Nachtwächterstaat. Negara dianggap hanya mengurusi militer dan menegakkan hukum kepemilikan, tapi sistem pasar dikembalikan kepada para pelaku pasar itu sendiri.

Salah satu buktinya, sampai saat ini belum ada tanda-tanda terduga mafia minyak goreng diungkapkan kepada publik, seperti yang dijanjikan Mendag Lutfi. Malah yang terlihat adalah program BLT minyak goreng yang dijadikan alternatif dari kenaikan minyak goreng.

Sebagai penutup, mengutip Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam bukunya Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty, ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir oligopolis. (I76)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...