Aspirasi rakyat semakin bergema agar pemerintah segera mengimplementasikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat sebagai salah satu “jurus” di bidang perekonomian dalam menghadapi pandemi Covid-19. Namun di sisi lain, kalaupun BLT berhasil terasa manfaatnya oleh masyarakat sekaligus membuat ekonomi tidak terlalu terpuruk, efeknya dinilai tidak begitu signifikan terhadap citra pemerintah secara keseluruhan.
PinterPolitik.com
“penguasa, penguasa. Berilah hambamu uang!”. Petikan lagu Iwan Fals yang bejudul “Pesawat Tempur” itu nampaknya merepresentasikan sebagian besar suara hati rakyat Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, dampak pandemi Covid-19 membuat sektor perekonomian yang terkait langsung dengan “urusan perut” masyarakat babak belur.
Aktivitas sehari-hari cukup banyak yang berhenti bergeliat dan mempengaruhi langsung pada semua sektor bisnis masyarakat. Anjuran social distancing, atau yang terbaru, physical distancing, memaksa banyak perusahaan mempekerjakan karyawannya dari rumah.
Namun, para pekerja informal, penerima upah harian serta usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga adalah yang paling merasakan multi effect hantaman merebaknya Covid-19.
Mulai dari ojek online, pedagang kecil, jasa pariwisata, hingga UMKM merasakan penghasilan mereka yang terjun bebas. Kelompok masyarakat berpenghasilan harian rendah, buruh harian, dan pekerja sektor informal, hingga masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) inilah yang tergolong berstatus darurat untuk segera mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah.
Saran serta rekomendasi bagi sektor ekonomi kemudian dilontarkan oleh berbagai pihak kepada pemerintah agar segera diimplementasikan. Minggu lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengusulkan agar bantuan langsung tunai atau BLT segera diberikan kepada masyarakat yang terdampak karena secara matematis adalah langkah yang paling cepat membantu masyarakat melewati masa-masa sulit seperti saat ini.
Hal senada juga disampaikan oleh ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini. Ia menyarankan agar pemerintah mengalokasikan anggaran untuk rakyat yang perekonomiannya terdampak ketika terjadi penurunan ketahanan ekonomi golongan bawah akibat Covid-19 yang berupa bantuan langsung tunai (BLT).
Beberapa negara di dunia juga telah menyiapkan dan mengeksekusi stimulus bagi perekonomian negaranya, termasuk berupa bantuan langsung tunai, seperti yang dilakukan Jepang, Inggris, Italia, hingga Amerika Serikat (AS). Bahkan langkah cepat dilakukan Kanada, di mana Justin Trudeau selaku Perdana Menteri menyatakan bahwa pemerintahnya akan menyalurkan bantuan langsung tunai senilai total US$18,6 miliar atau sekitar Rp 301,9 triliun bagi keluarga dan bisnis yang terdampak langsung Covid-19.
Secara lebih menyeluruh, ekonom World Bank, Vivi Alatas mengusulkan pemerintah untuk memberikan bantuan langsung tunai hingga menggratiskan iuran listrik bagi masyarakat paling terdampak pandemi tersebut, yakni mereka yang tidak punya pilihan social distancing dan berkurangnya penghasilan secara drastis.
Bak gayung bersambut, sepertiya pemerintah juga mendapatkan kalkulasi yang buruk bagi perekonomian Indonesia jika kelompok masyarakat yang rentan secara finansial tidak segera diberikan bantuan. Pemerintah akhirnya mulai memformulasikan strategi bantuan kepada masyarakat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan ada total sebesar Rp 62,3 triliun dari realokasi anggaran APBN, baik yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) baik di pemerintah pusat dan daerah. Dari jumlah tersebut, akan ada alokasi khusus BLT berdasarkan data base yang dimiliki oleh pemerintah saat ini, yakni sebanyak 15,2 juta kepala keluarga. BLT ini rencananya akan diimplementasikan mulai April 2020 mendatang.
Presiden Jokowi sendiri menyatakan telah menyiapkan sembilan jurus andalan yang salah satunya adalah mengutak-atik anggaran agar dapat digunakan untuk penanganan Covid-19. Jokowi juga mengatakan pemerintah telah mengalokasikan Rp 4,5 triliun untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah, seperti petani dan buruh yang terdampak ekonominya dengan cara menambah tunjangan kartu sembako murah dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu per bulan untuk satu keluarga.
Upaya responsif pemerintah di bidang ekonomi tersebut diharapkan bisa tepat sasaran, cepat direalisasikan dan menyeluruh. Namun apakah langkah pemerintah tersebut bisa dinilai sebagai sesuatu yang revolusioner?
Langkah Impresif atau Logis?
Jika memang nantinya jadi diterapkan, mungkin konsepnya akan meniru bantuan langsung tunai (BLT) yang diterapkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, meskipun ada beberapa persoalan minor, program BLT dinilai merupakan sebuah kebijakan yang baik karena dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kebijakan BLT saat itu dinilai sebuah hal yang konkret, rasional dan langsung menjawab kesulitan rakyat.
Dietmar Braun dan Fabrizio Gilardi dalam Taking ‘Galton’s Problem’ Seriously: Towards a Theory of Policy Diffusion menelaah sebuah fenomena kebijakan dengan salah satu konsep yaitu “taken for grantedness”. Konsep ini menjelaskan bahwa seiring waktu, beberapa praktik, termasuk kebijakan, akan dianggap sebagai sebuah hal yang normal atau bahkan jelas harus dilakukan dalam konteks tertentu.
Program BLT merupakan sebuah terobosan ketika pertama kali diperkenalkan pada masa pemerintahan SBY. Bahkan image presiden kelima RI tersebut sangat lekat dengan akronim yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 26,5 triliun itu karena kelegendarisannya.
Seiring waktu, program pemberian dana tunai oleh pemerintah bagi masyarakat menjadi hal yang lumrah atau taken for granted. Terlebih lagi ketika penguasa berganti, program tersebut terus berjalan dengan hanya berinovasi atau mengubah istilah yang digunakan.
Nyatanya, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, bantuan tunai tersebut juga dilaksanakan sebagai implementasi kampanye populer seputar “dana”. Bantuan langsung tunai tersebut disalurkan secara “tidak langsung” melalui iga “kartu sakti” pada periode pertama, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Total, ketiga kartu tersebut menelan anggaran sebesar Rp 44,1 triliun.
Dan ketika merefleksikannya pada rencana pemberian BLT sebagai bagian mengatasi dampak terhadap perekonomian akibat pandemi Covid-19, hal tersebut masuk akal untuk dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Lantas, apakah memang jika BLT Covid-19 ini berhasil, maka itu akan menjadi glorifikasi – memperbaiki citra – pemerintah saat ini?
Moderasi Perspektif
Bukan hal baru lagi dalam dunia politik dan pemerintahan apabila sebuah kebijakan berbanderol mahal atau mewah telah diimplementasikan, akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dan dielu-elukan sebagai pencapaian positif. Hal tersebut memang bukanlah hal yang sepenuhnya keliru jika dampaknya berhasil dirasakan masyarakat dan membawa perubahan positif. Namun di sisi lain, terdapat hal-hal yang tidak semua orang lihat di balik implementasi kebijakan tersebut yang faktanya adalah kamuflase terhadap kebijakan lain yang kontraproduktif atau bahkan merugikan.
Hal inilah yang membuat kita sebagai rakyat harus terus menyelaraskan pemikiran dan logika ke arah yang jernih. Ini akan berdampak baik kepada jalannya proses demokrasi karena jika “kewarasan” politik tetap ada, akan membuat saran dan kritik membangun terhadap pemerintah akan terus ada pula.
Frasa manipulative atau manipulatif dalam konteks kebijakan pemerintah dikemukakan dalam Discourse and Manipulation oleh Teun Adrianus Van Dijk. Gagasan manipulatif sendiri biasanya terjadi dalam komunikasi hingga kebijakan yang dikendalikan oleh elite politik, birokrasi, media, akademisi, atau korporat yang dominan. Oleh karena dilakukan oleh pihak dominan, tanpa sama sekali diasosiasikan secara kritis atau bahkan negatif, manipulasi bisa menjadi bentuk persuasif yang sah.
Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan pemerintah, dalam hal ini BLT penanggulangan Covid-19 yang berpotensi akan dirasakan kemanfaatannya bagi banyak pihak, kita harus secara jernih melihat dan menyikapinya.
Tentu adalah hal baik jika bahkan kebijakan ini dirasakan seluruh rakyat tanpa terkecuali. Namun kita harus tetap sadar bahwa upaya ini jangan sampai memanipulasi pikiran kita akan antisipasi dan penanganan yang banyak dinilai kurang mumpuni. Bahkan, ilmuwan dunia menilai Indonesia sangat riskan akan dampak keseluruhan dari pandemi Covid-19. Selain itu, dikatakan bahwa upaya antisipasi dan penanganannya adalah yang terburuk.
Berkaca dari hal tersebut, seyogyanya pemerintah harus terus berbenah dan memperbaiki serta bekerja lebih serius dalam penanganan Covid-19 ini. Publik juga diharapkan tidak terjebak terminologi manipulatif dari BLT yang nantinya akan diterima. Dalam hal ini, BLT memiliki efek samping dijadikan salah satu tameng yang akan didengungkan dalam komunikasi dan diskursus di kemudian hari oleh pemerintah mengenai sejauh mana perannya memproteksi masyarakat di kala kondisi krisis.
Di luar itu semuanya, selaku langkah reaktif dalam penanganan pandemi Covid-19, tentunya diharapkan bahwa kebijakan BLT yang nantinya akan diterapkan tidak hanya menjadi semacam “pemanis” atas pahitnya langkah preventif pemerintah terhadap pandemi Covid-19 yang telah menggoyang berbagai sektor. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.