Janji Jokowi untuk menasionalisasi Blok Rokan semakin menguatkan asumsi petahana gunakan kebijakan publik untuk kepentingan politik.
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]erbuatlah yang menyenangkan untuk orang lain agar kau disenangi. Sadar atau tidak, kata-kata yang terkenal dalam dunia motivasi ini nyatanya juga berlaku dalam dunia politik. Bedanya, dalam politik selalu ada kepentingan yang ingin diraih lewat sebuah kebaikan.
Dalam kontestasi politik, ada beragam cara untuk menaikkan elektabilitas. Namun, bagi seorang petahana, salah satu hal termudah dan “murah” untuk melakukannya adalah melalui kebijakan publik.
Keseriusan Jokowi amankan Riau terganjal sosok Sandiaga dan Ustaz Abdul Somad. Share on XKondisi ini setidaknya yang terjadi pada Joko Widodo (Jokowi) jelang Pilpres 2019. Banyak instrumen kebijakan publik yang dinilai dipakai untuk meningkatkan tingkat keterpilihannya. Sebut saja misalnya menaikkan tunjangan Babinsa, Program Keluarga Harapan (PKH), atau penggratisan jembatan Suramadu.
Yang terbaru adalah aktivitas bagi-bagi sertifikat dan janji untuk menasionalisasi Blok Rokan di Riau yang dilakukannya saat berkunjung ke provinsi tersebut beberapa hari lalu.
Jika dilihat secara demografis, populasi penduduk Provinsi Riau terbilang sedikit. Mengacu pada data Pilpres sebelumnya tercatat “hanya” tiga juta penduduk yang berpartisipasi. Lalu, apa kepentingan Jokowi di Riau jika bukan soal suara semata?
Riau, The Long Tail Effect
Cerita Riau dalam panggung Pilpres memang cukup menarik. Jika melihat pada fakta Pilpres 2014 lalu, Jokowi unggul dalam 10 wilayah, sementara lawannya, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa hanya unggul di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru. Namun secara keseluruhan, justru Prabowo-lah yang keluar sebegai pemenang di provinsi ini.
Saat itu pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) meraup 49,88 persen suara, sementara Prabowo-Hatta memperoleh 50,12 persen suara.
Konteks ini nyatanya dicermati oleh Jokowi dan timnya. Jelas bahwa Jokowi tidak ingin kembali menelan kekalahan di provinsi ini. Dengan memperhatikan isu-isu strategis yang menjadi konsen masyarakat, Jokowi berupaya merebut suara di sana. Apalagi, Riau dinilai sebagai basis kuat suara Prabowo-Sandi, terutama di wilayah Pekanbaru.
Hal ini membuat Jokowi dan timnya mau tidak mau harus menerapkan strategi kampanye yang berbeda di Riau. Dalam dunia bisnis ada istilah the long tail effect atau efek ekor panjang, yang diartikan sebagai suatu kurva yang menunjukkan bagaimana distribusi sebuah produk yang “menjauh” dari “kepala”.
Konsep tersebut bisa juga digunakan dalam politik, terutama untuk menganalisa fenomena kandidasi seorang capres. Hal ini pernah dilakukan oleh Barrack Obama pada pemilihan periode pertama di Amerika Serikat (AS).
Konsep long tail digunakan untuk mengamati potensi pergerakan kurva yang terjadi pada basis-basis pemilihan.
Jika diperhatikan, posisi Riau berada di tengah-tengah Pulau Sumatera di mana bagian utaranya berbatasan dengan Singapura. Secara geografis, posisi Riau ini sangat strategis untuk dijadikan heartland atau wilayah paling penting bagi kandidat yang bertarung di Pilpres 2019.
Selain itu, adanya trans Sumatera yang membentang dari Lampung hingga Aceh turut menjadi faktor pengikat yang cukup penting untuk perebutan suara Jokowi.
Dengan mengambil alih suara di Riau menggunakan isu yang bersifat nasional, bisa jadi akan memberikan pengaruh “ekor panjang”, di mana wilayah-wilayah lain seperti Aceh atau Sumatera Barat akan terbawa arus yang sebelumnya juga menjadi basis Prabowo akan beralih ke Jokowi.
Nasionalisme di Blok Rokan
Tentu saja, sebagai pertimbangan sejauh apa potensi elektabilitas Jokowi akan terkerek naik bisa dilihat dari persepsi publik. Dari berbagai sumber disebut bahwa setidaknya ada beberapa isu yang dapat mendongkrak elektabilitas Jokowi di Riau.
Isu-isu itu antara antara lain responsifnya penanganan kebakaran, kebijakan reforma agraria yang memungkinkan masyarakat adat Melayu memiliki pengakuan hukum atas tanahnya, evaluasi dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit, janji nasionalisasi Blok Rokan, dan yang terakhir terkait pembangunan infrastruktur terutama jalan tol. Atas dasar kelima alasan tersebut Jokowi diberikan gelar adat Datuk Seri Setia Amanah Negara dalam kunjungannya.
Namun, dari kelima alasan tersebut, yang paling menarik tentu saja adalah isu nasionalisasi Blok Rokan. Pada Juli 2018 lalu Jokowi memang membuat keputusan untuk memberikan 100 persen hak partisipasi Blok Rokan ke Pertamina pada 2021. Lalu, pada bulan Agustus lalu ketika pendaftaran capres-cawapres isu ini dibawa ke tengah publik, bersama dengan persoalan Blok Mahakam dan Freeport.
Konteks isu ini memang berhubungan dengan kampanye berbasis nasionalisme. Saat ini, dampak isu nasionalisasi aset terhadap angka keterpilihan masih cukup tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat masih melihat isu nasionalisme – terutama di bidang ekonomi – menjadi salah satu acuan untuk mencari sesosok pemimpin.
Majalah The Economist menyebut bahwa nasionalisme menjadi diskursus yang sangat berpengaruh sejak 2015. Dari Eropa ke Asia hingga Amerika, banyak politisi yang mendasarkan daya tariknya pada gagasan bahwa mereka berdiri untuk negara mereka.
Kebangkitan gaya nasionalis dalam politik bahkan mengantarkan banyak tokoh menuju puncak kekuasaan. Di India misalnya, Narendra Modi, yang sering disebut sebagai seorang nasionalis Hindu, mampu memenangkan Pemilu lewat isu tersebut.
Lalu, dalam pemilihan Parlemen Eropa, partai-partai nasionalis melalui Front Nasional Prancis dan Partai Perserikatan Kerajaan Inggris (UKIP) menduduki perolehan puncak jajak pendapat lagi-lagi berkat isu tersebut.
Di Skotlandia kelompok nasionalis menggunakan retorika serupa untuk memenangkan referendum kemerdekaan dari Kerajaan Inggris. Sementara retorika nasionalis juga meningkat di Rusia ketika Vladimir Putin menggalang dukungan domestik dalam kasus Krimea dengan menggunakan media Rusia untuk menggambarkan dunia luar sebagai musuh.
Dalam konteks tersebut, dengan memutuskan Pertamina sebagai perusahaan yang akan mengelola Blok Rokan bisa menimbulkan kesan bahwa Jokowi nasionalis. Kesan nasionalis ini dapat muncul karena Chevron sebagai perusahaan pengelola blok tersebut sebelumnya sudah berkuasa sejak 1971.
Menurut pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, Jokowi akan dianggap sebagai sosok progresif yang berani melawan dominasi asing lewat isu-isu nasionalisasi ini.
Apalagi, dalam kunjungan ke Riau kali ini, Jokowi menyebut akan memberikan salah satu kursi komisaris Pertamina kepada putra Riau, hal yang tentu akan menarik hati bagi warga di wilayah tersebut.
Melawan Sandi dan UAS di Riau
Strategi Jokowi untuk mengamankan suara Riau berpotensi akan terganjal oleh sosok Sandiaga Uno dan Ustaz Abdul Somad (UAS). Sandi merupakan putera Riau yang ayahnya pernah bekerja di Caltex yang menjadi merek milik Chevron, sementara UAS adalah sosok yang memiliki pengaruh besar di Riau.
Sejauh ini Sandi adalah kontestan yang jor-joran dalam melakukan kampanye. Tren elektabilitas dirinya juga naik sejak Agustus hingga November. Menurut pengamat politik Universitas Lancang Kuning, Alexsander Yandra, potensi pengaruh Sandi di Riau juga cukup besar dilihat dari aktivitas dirinya beberapa kali mengunjungi Riau.
Selain itu, lanjut Alexsander, sosok yang dapat mendongkrak suara Prabowo-Sandi adalah UAS. Sang ustaz yang bergelar Datuk Sri itu, merupakan anggota Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam di sana, juga dalam konteks umat Islam secara nasional.
Ustaz Abdul Somad atau UAS direncanakan memberikan doa dan nasihat pada akhir prosesi adat “Tepuk Tepung Tawar” bakal calon wakil presiden Sandiaga Salahudin Uno di Balat Adat Melayu Riau,… https://t.co/NL2ZPyP9Uw
— BJ IRAWAN (@broirawan) September 4, 2018
Selain faktor Sandi dan UAS, beberapa hal lain yang akan menjadi ganjalan oleh Jokowi adalah terkait dengan dampak dari kebijakan-kebijakan Jokowi selama ini.
Menurut pengamat politik sekaligus dosen ilmu politik Universitas Riau, Andi Yusran, selama ini sumber daya alam yang diambil dari tanah Riau tidak sebanding dengan pundi-pundi yang didapatkan oleh provinsi tersebut.
Selain itu, meski saat ini pemerintah sudah menjanjikan nasionalisasi Blok Rokan, namun belum ada dampak langsung yang bisa dirasakan oleh amsyarakat. Secara umum, menurut Andi, masyarakat di sana belum puas dengan program-program Jokowi.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Politik Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut meskipun ada dampak yang diberikan dari rencana Jokowi untuk menasionalisasi Blok Rokan, namun hal itu tidak akan berdampak besar sebab masyarakat akan lebih melihat program-program yang selama ini sudah berjalan.
Namun, dengan membawa isu ekonomi akan menjadi “angin segar” bagi rakyat Riau. Sejumlah lembaga survei bahkan menyebut salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi terletak pada kemampuan mengurus perekonomian.
Realisasi pengalihan pengelolaan Blok Rokan kepada Pertamina akan membentengi Jokowi dari serangan pihak lawan, sekaligus akan dianggap sebagai langkah serius oleh rakyat dalam konteks nasionalisme ekonomi.
Memang, analisa ini tidak dapat menjadi ukuran Jokowi akan secara mulus mengamankan suara di Riau. Terlebih melihat ada sosok Sandi dan UAS yang dapat menjadi ganjalan dirinya di Bumi Lancang Kuning tersebut.
Namun, dengan dinamika yang begitu cair, segala sesuatu bisa cepat berubah.
Persoalannya apakah isu nasionalisasi Blok Rokan akan membuat Jokowi mampu mengalahkan Sandi? Tunggu pada April 2019. (A37)