Site icon PinterPolitik.com

BLACKPINK dan Sisi Kelam Budaya FOMO

blackpink dan sisi kelam fomo

Fans konser BLACKPINK 11-12 Maret 2023. (Foto: Liputan6.com/Faizal Fanani)

Konser BLACKPINK yang diselenggarakan tanggal 11 dan 12 Maret silam memunculkan diskursus tentang budaya Fear of Missing Out (FOMO). Mungkinkah kita terlepas dari budaya konsumtif tersebut?


PinterPolitik.com

Taste that pink venom, taste that pink venom!” – BLACKPINK, “Pink Venom” (2022)

Buat kalian para penggemar berat girlband asal Korea Selatan (Korsel) BLACKPINK, kalian pasti lagi merasa senang-senangnya. Bagaimana tidak, tanggal 11 dan 12 Maret lalu Jisoo, Jennie, Rosé, dan Lisa akhirnya datang ke Indonesia dan menggelar konser musik yang begitu heboh di Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

Yess, untuk sebagian orang, konser kemarin mungkin bisa dianggap sebagai once-in-a-lifetime moment atau momen sekali dalam seumur hidup, karena itu adalah pertama kalinya mereka menggelar konser besar di negara kita.

Namun, di balik sejumlah kegirangan dalam konser BLACKPINK, ternyata tersimpan satu fenomena menarik yang beberapa hari belakangan ini cukup menjadi sorotan di media sosial, yaitu perkara Fear of Missing Out (FOMO). Istilah ini singkatnya menjelaskan perilaku seseorang yang melakukan sesuatu bukan karena menggemari atau mengikutinya, tetapi hanya karena tidak ingin merasa ketinggalan.

Menariknya, banyak warganet yang mengklaim bahwa di konser BLACKPINK kemarin itu dipenuhi oleh orang-orang yang FOMO, terutama para public figure seperti Rachel Venya misalnya, yang disebut sebenarnya tidak pernah terlihat menggemari girlband nomor satu di Korsel tersebut. Hal ini menjadi masalah karena banyak yang melihat orang-orang FOMO ini “menghabiskan jatah” dari para penggemar yang kehabisan tiket karena mereka.

Perdebatannya kemudian dibawa ke persoalan self-control atau kendali diri sendiri. Para warganet menilai bahwa seharusnya para orang-orang FOMO itu bisa mengendalikan diri untuk tidak ikut-ikutan tren. Banyak yang lalu beropini kurang lebih seperti ini: “jangan salahkan kapitalisme, kamu saja yang tidak bisa menjaga hasrat konsumtifmu sendiri”.

Namun, perlu kemudian untuk kita pertanyakan, benarkah persoalan self-control dan FOMO hanya bisa kita salahkan pada diri sendiri? Atau jangan-jangan fenomena ini sebenarnya menyimpan pelik ekonomi-sosial-politik yang penting untuk kita refleksikan bersama?

Sisi Kelam Konsumerisme-Kapitalisme

Kalau kita ingin bicara tentang kebiasaan FOMO dan kemampuannya untuk membuat orang merasa perlu membayar sesuatu hanya agar tidak merasa tidak ketinggalan, maka tentu kita pun perlu membahas tentang fenomena konsumerisme.

Konsumerisme sendiri adalah fenomena sosial yang mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak barang daripada yang sebenarnya mereka butuhkan. Meski tidak bisa dijelaskan dalam penjelasan yang paralel, konsumerisme sesuai perkembangannya di masyarakat sangat berhubungan dengan sistem yang mungkin kalian pernah dengar, yakni kapitalisme.

Nah, kalau konsumerisme ini adalah fenomena sosial, kapitalisme di sisi lain – kalau kita berkaca pada pandangan Adam Smith di buku The Wealth of Nations – adalah sistem ekonomi yang mendorong semua elemen masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan melibatkan diri dalam pasar. Dan seperti kata Smith, esensi utama dari kapitalisme adalah murni untuk menciptakan keuntungan finansial.

Lantas, bagaimana budaya FOMO bisa tercipta melalui perkawinan antara konsumerisme dan kapitalisme?

Well, Nimet Harmanci dalam tulisannya Consumerism is the Core Ideology of the Capitalism, menyebutkan bahwa agar kapitalisme bisa terus berjalan di masyarakat, maka ia membutuhkan suatu mesin motor yang kuat, seperti ideologi dalam suatu negara. Nah, dalam kapitalisme, ideologi yang sangat cocok untuk membuatnya tetap kuat tidak lain adalah fenomena sosial konsumerisme.

Harmanci melihat bahwa konsumerisme mampu menjadi semacam invisible hand atau tangan tak terlihat dalam sistem kapitalis yang mampu mengatur hampir segala kehidupan masyarakat.

Media sosial yang sangat dipengaruhi rekayasa algoritme contohnya, adalah bukti nyata invisible hand konsumerisme dalam bentuk modern yang ternyata bisa membuat orang merasa begitu tertinggal jika mereka tidak memiliki barang baru -produk kapitalisme- yang saat ini sedang ramai dibicarakan orang-orang.

Dengan memunculkan sensasi seperti tayangan iklan menarik yang berintensitas tinggi misalnya, publik mampu dimanipulasi sehingga dapat berpikir produk yang sedang diiklankan memang benar-benar harus didapatkan.

Solusi yang otomatis terlintas di orang-orang yang terpapar “modus” konsumerisme-kapitalisme ini tentu adalah ikut membeli barang yang sedang jadi sorotan publik tersebut. Hal ini tentu berlaku juga pada produk yang tidak bisa kita pegang, seperti kesempatan untuk menonton konser BLACKPINK, misalnya.

Kalau memang konsumerisme sudah memiliki peran yang sekuat itu, maka Harmanci menilai bahwa masyarakat yang demikian telah terserap ke dalam “lingkaran setan konsumsi”. Mereka akan membeli produk baru, menggunakannya, membuangnya, lalu membeli barang baru lagi yang mungkin sebenarnya tidak terlalu berguna untuk kehidupan mereka.

Pada akhirnya, pola seperti inilah yang membuat adanya tren FOMO di masyarakat.

Oleh karena itu, maka kita pun bisa simpulkan bahwa fenomena sosial modern seperti budaya FOMO sesungguhnya bukanlah sebuah fenomena organik yang muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil rekayasa sosial-ekonomi yang muncul akibat adanya motif-motif konsumerisme dan kapitalisme. Tentunya, aktor-aktor tertinggi dalam industri yang terlibat dalam produk yang kita beli pantas kita salahkan atas budaya konsumtif yang mulai meresahkan ini.

Eits, tentunya bukan member-member BLACKPINK ya yang kita salahkan, tapi mungkin rumah produksi mereka dan para sponsor yang memberi napas hidup pada mereka.

Lantas, meskipun konsumerisme dan kapitalisme telah menjadi sebuah desain yang mengatur kehidupan sosial ekonomi kita, masih adakah kesempatan bagi kita agar terselamatkan dari godaan FOMO?

Tidak Semudah itu Melepas FOMO?

Orang-orang mungkin akan mengatakan bahwa kalau mental kita kuat, maka kita bisa aman dari godaan sistem yang kapitalistik. Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. Selain mampu “memanipulasi” masyarakat secara makro, konsumerisme dan kapitalisme juga dapat mengatur mental seseorang dari level mikro atau individual.

Jerzy Eisenberg-Guyot dan Seth J. Prins dalam jurnal mereka The impact of capitalism on mental health: An epidemiological perspective, menilai bahwa pola konsumtif dalam sistem ekonomi yang kapitalistik memiliki pengaruh yang begitu besar bagi kesehatan mental orang-orang. Hal ini bisa terjadi karena dari perspektif psikologis, konsumerisme dan kapitalisme mampu merusak mental seseorang melalui tiga mekanisme, yakni alienasi, eksploitasi, dan dominasi.

Alienasi di sini adalah pengasingan, dan pengasingan sosial bisa terjadi pada siapa saja ketika seseorang dalam sistem yang konsumtif dan kapitalistik tersebut tidak dapat merasa relevan dengan apa yang sedang diperbincangkan orang banyak.

Dalam konteks BLACKPINK sebagai produk kapitalisme yang dipromosikan konsumerisme, alienasi dapat terjadi karena manusia secara dasarnya selalu merasa nyaman hanya jika berhubungan dengan orang-orang yang dianggap sepaham dengan mereka. Jadi, kalau pun memang tidak disengaja, orang yang tidak bisa mengikuti perbincangan BLACKPINK secara alamiah akan terasingkan dari kelompok teman-temannya di media sosial.

Lalu, eksploitasi. Orang-orang yang telah terjebak dalam “lingkaran setan konsumsi” akan terus menjadi sumber daya yang sangat menarik bagi para kapitalis. Oleh karena itu, bagaimana pun caranya, industri hiburan yang mengelola BLACKPINK akan membuat agar hasrat untuk meminta produk baru selalu dalam benak masyarakat, contohnya dengan membuat produk yang “dijual” memiliki kuantitas yang terbatas, atau hanya terjadi dalam waktu yang sangat jarang, contohnya seperti konser musik BLACKPINK.

Mirisnya, meskipun mungkin masyarakat tahu bahwa membeli tiket BLACKPINK adalah sesuatu yang tidak akan berguna secara signifikan pada kehidupan mereka, mereka tetap akan merasa ada dorongan untuk membeli tiketnya karena tidak bisa menemukan alternatif dari hiburan tersebut. Girlband-girlband lain tidak akan “terasa” serupa.

Dan yang terakhir, adalah dominasi. Karena industri di atas BLACKPINK secara prinsipnya menyadari mereka mampu mengatur hasrat seseorang untuk membeli “produknya”, mereka pun secara tidak langsung menguasai kebebasan para penggemarnya. Masyarakat yang terjebak dalam belas kasih industri hiburan akan mendedikasikan kehidupan mereka untuk mengejar kesempatan hadir di konser BLACKPINK atau setidaknya pernah melihat mereka secara langsung.

Nah, karena adanya tiga faktor yang mampu mempengaruhi mental seseorang tersebut, bisa kita katakan secara tegas bahwa dari level individual pun kita tidak akan terlepas dari budaya konsumtif seperti FOMO. Pilihan untuk terlepas darinya mungkin hanya dua, pertama, adalah dengan mengorbankan kesehatan mental kita, dan kedua, adalah dengan melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat.

Dan jelas, tentu dua pilihan itu adalah pilihan-pilihan yang sulit, bukan?

Jadi, lain kali bila kalian ingin mengatakan pada seseorang untuk melepaskan kapitalisme jika tidak ingin terjebak budaya FOMO, sepertinya kalian harus berhati-hati karena bisa jadi mereka pun sebenarnya ingin, tapi tidak mampu melakukannya. (D74)

Exit mobile version