Site icon PinterPolitik.com

Bjorka Ekspos Penyakit Birokrasi Jokowi?

6322a49bb1162

Foto: Breached Forums/ Bjorka

Bjorka sempat hebohkan dunia maya karena merundung pemerintah dengan perkataan “stop being an idiot”. Selain sistem keamanan data, apakah ini sebuah tanda bahwa Bjorka menyindir patologi birokrasi alias “penyakit kronis” pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini?


PinterPolitik.com
Kehadiran Bjorka buat netizen Indonesia girang karena aksinya yang berani mengkritik pemerintah. Aksinya dinilai cukup “savage” karena mengkritik kelemahan sistem keamanan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Bjorka bahkan sempat beri pesan sederhana namun memberi kritik tajam menanggapi pesan Kominfo kepadanya untuk berhenti lakukan peretasan. Ia membalas “My Message to Indonesian Government: Stop being an idiot”. Aksinya menuai reaksi yang positif dari masyarakat Indonesia.

Bjorka pun membuka akun Twitter-nya dengan username @bjorkanism yang sekarang ini sudah ditangguhkan. Lagi-lagi, cuitannya menjadi perhatian bagi warganet, terlebih ketika Ia diklaim membuka data pribadi dalang pembunuhan aktivis Munir.

Ia juga sempat menulis cuitan bahwa aksi yang Ia lakukan didedikasikan untuk teman Indonesianya yang menjadi korban kebijakan pemerintah tahun 1965. Pada sepenggal cuitannya, Ia mengatakan “…he told me a lot about how messed up Indonesia is.”

Terlepas dari berbagai motif yang beredar, mungkin fenomena Bjorka dapat disikapi sebagai “tamparan” keras kepada pemerintah yang memang selama ini masih menderita “penyakit kronis” dari segi birokrasi. Bahkan Gerald Caiden dalam bukunya yang berjudul “Administrative Reform Comes of Age” membedah 175 penyakit birokrasi yang menjangkit pemerintah Indonesia.

Prof. Dr. Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PANRB) pada Kabinet Indonesia Bersatu II, memberikan penekanan bahwa satu penyakit birokrasi saja sudah membawa kesengsaraan. Artinya, ada begitu banyak penyakit yang perlu disembuhkan oleh pemerintah itu sendiri.

Pemerintah yang dimaksud tentu adalah pemerintahan Jokowi. Ini sesuai dengan tokoh-tokoh politik yang juga disindir oleh Bjorka seperti Puan Maharani, Erick Thohir, Denny Siregar, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Lantas, kenapa peretasan yang dilakukan Bjorka dapat menjadi tamparan telak pada kecacatan birokrasi pemerintah?

Memahami Hakikat Patologi Birokrasi

Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud penyakit birokrasi. Pada umumnya kita memang seringkali mendengar keluhan terkait kelemahan birokrasi khususnya terkait kasus korupsi. Kita mendengar keluhan-keluhan ini sejak zaman dahulu, bahkan ternyata sudah ada ketika birokrasi itu sendiri lahir.

Penyakit birokrasi alias patologi birokrasi diperkenalkan dan dikembangkan oleh Weber dan Hegel. Penyakit birokrasi bukan hanya sekadar manajemen yang rigid, tetapi juga masalah tata kelola lainnya yang berhubungan dengan implementasi kebijakan. 

Menurut Reed dan Crozier dalam Perubahan Paradigma Administrasi Negara dan Implikasinya terhadap Karakter dan Desain Birokrasi dalam Pelayanan Publik menyatakan beberapa patologi birokrasi dapat diidentifikasikan sebagai kecenderungan organisasi yang lamban dan tidak responsif, tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan (maladaptations), dan adanya potensi kinerja yang tidak efektif (potentially ineffective) terutama terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.

Masalah itu dapat juga berbentuk tantangan yang mungkin lahir. Tantangan tersebut dapat bersifat politis, ekonomi, sosiokultural maupun teknologi. Masalah tersebut akan menjadi suatu penyakit yang mengancam sehingga perlu diidentifikasi supaya dapat dicarikan “obat” maupun “terapi” yang dapat menyembuhkannya. 

Lantas, bagaimana patologi birokrasi yang berusaha diekspos oleh Bjorka?

Tidak Responsif terhadap Suatu Isu

Kita mungkin sudah familiar dengan pesan Bjorka untuk memperbaiki sistem keamanan data pribadi. Jika dilihat dari segi patologi birokrasi, sebenarnya seringkali pemerintah tidak responsif terhadap suatu masalah atau isu yang sedang terjadi.

Aksi peretasan data pribadi yang pertama kali Ia lakukan saja sebenarnya menjadi suatu tamparan kepada pemerintah bahwa ada potensi tindakan kriminal yang dapat terjadi akibat lemahnya perlindungan data. Bjorka selanjutnya menekankan kritik betapa lemahnya sistem keamanan data di Indonesia. 

Tentunya, perlindungan data pribadi dapat merujuk pula kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tidak kunjung melakukan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Bahkan UU PDP sudah dibahas sejak tahun 2014 dan masuk menjadi salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2021. Ini menunjukkan bahwa terdapat rentang yang jauh yaitu selama 7 tahun, namun hingga kini belum kunjung disahkan padahal perkembangan financial technology (fintech) dan kecanggihan sistem informasi sudah sangat pesat.

Jika mengaitkan fintech dengan data pribadi, hal ini menjadi suatu hal yang krusial karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Contohnya saja pinjaman online yang meresahkan. Dia memerlukan nomor KTP dan KK untuk melakukan peminjaman. Keduanya adalah data pribadi yang mana kebocorannya terjadi berulang kali khususnya sejak pandemi Covid-19.

Pemerintah (Kominfo) dan DPR RI perlu merefleksikan aksi Bjorka dengan bijaksana dan langsung lakukan pembenahan. Tentunya ada respons pemerintah yang perlu kita apresiasi – meskipun sebenarnya permasalahan data pribadi sebelumnya sudah sangat mendesak – yaitu percepatan pengesahan UU PDP dan pembuatan Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Data.

Berdasarkan kedua kebijakan ini, apakah patologi birokrasi masih dapat ditemukan?

Satgas Perlindungan Data Jadi ‘Penyakit’?

Kembali kepada identifikasi patologi yang diungkapkan oleh Reed dan Crozier, dua faktor yang dapat dianggap sebagai penyakit birokrasi adalah faktor maladaptations dan potentially ineffective.

Usaha pemerintah dalam mengatasi kasus kebocoran data salah satunya yaitu dengan membentuk Satgas Perlindungan Data. Pembentukan tim darurat ini memiliki tugas untuk melindungi data pribadi masyarakat dan menghadapi ancaman peretasan di masa mendatang. Mereka bertugas untuk mengkaji terkait antisipasi potensi pembobolan data tersebut. 

Tim darurat ini terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kepolisian.

Salah satu jenis patologi selain yang diungkapkan oleh Reed dan Crozier adalah pegawai yang tidak memiliki kompetensi dalam bidangnya. Ketidakmampuan Kominfo dan berbagai institusi lainnya dalam melindungi data pribadi masyarakat menunjukkan bahwa pegawai di lembaga tersebut telah gagal. Maka dari itu, jika pemerintah membentuk tim darurat dengan tim internal yang sama, maka ada kemungkinan mereka akan gagal dalam mewujudkan tujuan dibentuknya Satgas Perlindungan Data ini.

Sejauh ini bahkan pemerintah dinilai kekanak-kanakan dalam mengejar hacker Bjorka. Pemerintah hanya fokus untuk mengejar siapa Bjorka, bukan fokus pada kritik yang diungkapkannya dan menjadi keresahan masyarakat. Seharusnya pemerintah bisa melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang lumrah dan benar-benar lakukan pembenahan bukan hanya sekadar membuat tim darurat.

Selain itu, potensi ketidakmampuan pemerintah dalam upaya pencarian identitas Bjorka seakan menjustifikasi bahwa tim darurat tidak cukup kompeten untuk melindungi data pribadi masyarakat. Ini merujuk pada penangkapan pria berumur 17 tahun yang dituduh sebagai orang dibalik akun Bjorka. Fenomena ini juga dapat sekaligus dijadikan justifikasi perkataan Bjorka di awal tulisan ini “My Message to Indonesian Government: Stop being an idiot.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kritik Bjorka terhadap pemerintah Indonesia seharusnya dapat dijadikan suatu refleksi terkait penyakit birokrasi yang sudah lama menjangkit pemerintah. 

Patologi birokrasi menurut Reed dan Crozier menunjukkan bahwa pemerintah seakan tidak belajar dari kesalahan sehingga apa yang dilakukan dapat berpotensi tidak efektif untuk atasi permasalahan. 

Pada akhirmya, polemik Bjorka ini tidak lain berlaku layaknya sebuah sentilan pedas. Selain itu, pemerintah juga perlu belajar untuk lebih responsif terhadap suatu isu yang terus-menerus menjadi permasalahan (penyakit) klasik birokrasi. (Z81)

Exit mobile version