Site icon PinterPolitik.com

Bisnis Rumah Sakit Di Balik Corona

Juru Bicara Pemerintah untuk Virus Corona, Achmad Yurianto

Di tengah rongrongan virus Corona (Covid-19) yang mendera Indonesia, getirnya terdapat beberapa rumah sakit yang diketahui menolak menerima pasien Covid-19 karena alasan bisnis. Lantas, apakah itu menunjukkan kurangnya etika semata, atau justru terdapat pesan politik di baliknya?


PinterPolitik.com

Jika merujuk pada hypodermic needle theory atau magic bullet theory, virus Corona (Covid-19) nampaknya telah menjadi “peluru ajaib” – magic bullet – atau konten pemberitaan yang sangat mumpuni karena ketenaran dan kontroversinya, sehingga dapat langsung bersarang di benak publik.

Teori itu sendiri menjelaskan bahwa pemberitaan di media massa dapat memiliki kekuatan yang dapat mengontrol pandangan pembaca. Artinya, tenarnya isu Covid-19, tidak salah lagi telah menciptakan efek kontrol, yang dalam artian itu telah membuat perhatian publik benar-benar tertuju padanya.

Atas dasar itu, tentu menjadi tidak mengherankan mengapa perkembangan kasus tersebut selalu dinanti-nantikan oleh berbagai pihak ataupun mendapat sorotan media massa.

Di Indonesia, pemberitaan tentang wabah Covid-19 nampaknya telah menjadi “palu godam” yang terus memukul kepercayaan publik terhadap pemerintah karena dinilai tidak melakukan langkah penanggulangan yang baik terhadap wabah tersebut.

Desiran ketidakpercayaan tersebut kemudian semakin menjadi-jadi setelah viralnya berbagai testimoni pasien terduga Covid-19 atau pasien dalam pengawasan (PDP) justru tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya layaknya pasien khusus.

Kasus tersebut misalnya terjadi pada Z (37 tahun), warga Silandit, Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, Sumatera Utara yang mengaku tidak mendapatkan pelayanan yang baik di RSUD hingga Dinas Kesehatan Kota Padang Sidempuan.

Lalu ada pula video PDP yang mengaku ditelantarkan dan tidak diberikan pengawasan yang seharusnya ketika telah diberikan surat rujukan oleh Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Bekasi. Padahal, jika mengacu pada protokol penangan yang ada, sudah seharusnya PDP tidak boleh dibiarkan sendiri tanpa pengawasan ataupun isolasi.

Terlebih lagi, dengan video tersebut juga diunggah oleh presenter kenamaan Deddy Corbuzier di akun instagram pribadinya, sontak saja membuat berbagai pihak bertanya keheranan perihal keseriusan pemerintah dalam menangani wabah yang telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Guna untuk mendapatkan kejelasan atas video tersebut, Deddy kemudian mengundang juru bicara pemerintah untuk virus Corona, Achmad Yurianto di podcast pribadinya beberapa hari yang lalu. Podcast yang sudah ditonton sebanyak lebih dari 3 juta orang tersebut, tidak hanya membenarkan video tersebut, melainkan juga menguak fakta getir terkait penanganan Covid-19 di Indonesia.

Tutur Yuri, selain RS tersebut melanggar peraturan perundang-undang yang berlaku, video tersebut juga menguak fenomena RS yang telah menjadi komoditi bisnis di Indonesia. Jelasnya, pemerintah sebelumnya memang telah mengetahui fenomena bahwa terdapat RS yang menolak pasien Covid-19.

Akan tetapi, itu bukan karena alasan yang dapat diterima, seperti kurangnya kemampuan RS untuk menangani virus tersebut, melainkan karena alasan bisnis, yakni RS terkait takut diketahui merawat pasien Covid-19 karena dikhawatirkan akan mengurangi pengunjung pasien lainnya. Dengan fakta bahwa Covid-19 adalah virus yang sangat menular, tentu alasan tersebut sangat masuk akal.

Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari fenomena tersebut?

Suatu Fenomena yang Umum?

Tanpa bermaksud menjustifikasi lumrah tindakan RS yang menolak pasien Covid-19 tersebut, nyatanya kasus serupa juga ditemukan di berbagai negara.

Di negara maju seperti Jepang misalnya, bahkan terdapat laporan bahwa berbagai RS yang menolak menguji pasien Covid-19, sehingga banyak pasien diasingkan dari RS yang satu ke RS yang lainnya.
Atas fenomena tersebut seorang pejabat Pemerintah Metropolitan Tokyo menduga bahwa institusi medis seperti RS telah memiliki reaksi yang berlebihan atau begitu takut akan risiko infeksi yang dapat terjadi.

Kepala Lembaga Penelitian Tata Kelola Medis nirlaba, Masahiro Kami juga mengemukakan hal serupa bahwa ia hampir setiap hari melihat pasien yang diduga terdampak Covid-19 tetapi tidak dapat diuji karena gejalanya dinilai ringan.

Merujuk pada fenomena yang terjadi di Jepang tersebut, kasus video PDP yang diunggah Deddy, nampaknya terjadi karena adanya asumsi bahwa gejala virus masih dinilai ringan sehingga belum dirasa membutuhkan penanganan yang lebih serius.

Lalu ditemukan pula kasus penolakan penangawan pasien Covid-19 yang terjadi di Pakistan, tepatnya di Provinsi Sindh. Kasus tersebut menimpa seorang warga Pakistan bernama Shahjeb Ali Rahuza yang baru kembali dari Wuhan, Tiongkok yang diketahui positif Covid-19. Namun getirnya, menurut saudaranya yang bernama Ershad, setelah melihat kondisi Shahjeb, dokter justru menguncinya di sebuah ruangan dan meninggalkannya begitu saja.

Tidak ketinggalan, di Amerika Serikat (AS), sebagaimana diakui oleh Wakil Presiden AS Mike Pence, memang terdapat pembatasan tes Covid-19 di sejumlah RS karena didasari oleh beberapa alasan, seperti kurangnya fasilitas medis.

Akan tetapi, kendati telah menjadi fenomena yang mungkin dapat disebut umum, penolakan tes ataupun perawatan pasien Covid-19 tentu saja tidak dapat dipandang sebagai hal yang lumrah.

Terlebih lagi, seperti yang diungkapkan oleh juru bicara pemerintah untuk virus Corona, Achmad Yurianto, alasan berbagai RS di Indonesia yang menolak pasien Covid-19 bukanlah alasan yang dapat diterima, seperti kurangnya fasilitas medis, melainkan bermotif bisnis, yakni adanya ketakutan akan terjadi penurunan pengunjung jika diketahui merawat pasien Covid-19.

Pemerintah Kurang Berpengaruh?

Pada titik ini, kuatnya motivasi bisnis tersebut dapat disimpulkan sebagai kepentingan pribadi – yang dalam konteks ini adalah bisnis – jauh lebih kuat dibandingkan kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan. Singkat kata, itu adalah anti-tesis dari diktum utilitarianisme yang menyebutkan kepentingan untuk orang banyak lebih diprioritaskan daripada kepentingan pribadi.

Menganalisis fenomena tersebut menggunakan kacamata filsafat ekonomi, yakni konsep homo economicus atau manusia ekonomi. Pada dasarnya, konsep tersebut menerangkan dua intisari perilaku manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi, yakni mestilah rasional – mengambil keputusan berdasarkan untung-rugi – dan mestilah berprilaku egois atau self-interest.

Namun, perlu untuk digarisbawahi, asumsi rasional dan egois tersebut tidak dimaksudkan sebagai penjabaran antropologis atau menunjukkan bahwa manusia memang berprilaku demikian. Melainkan dua asumsi tersebut adalah bayangan figuratif semata, agar kalkulasi-kalkulasi ekonomi, seperti kapan harus membeli atau menolak barang dapat dilakukan.

Singkat kata, merujuk pada homo economicus, seperti yang diungkapkan oleh Yuri, fenomena penolakan RS terhadap pasien Covid-19 memang merupakan persoalan bisnis dalam aktivitas ekonomi karena merujuk pada untung-ruginya suatu putusan. Dengan demikian, jika persoalan tersebut dipandang lumrah oleh pemerintah, maka dapat disimpulkan bahwa kepentingan pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat telah kalah oleh motivasi bisnis institusi kesehatan.

Konteks tersebut juga semakin terasa dengan pemerintah yang lebih memilih solusi alternatif, yakni mengubah dua fasilitas milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu RS Pertamina Jaya dan Hotel Patra di Jakarta menjadi RS Khusus untuk menampung pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.

Seperti yang diakui oleh Yuri, disadarinya fenomena bisnis RS tersebut memang membuat pemerintah akhirnya memutuskan mengubah dua fasilitas BUMN tersebut. Dengan kata lain, tanpa bermaksud mendiskreditkan solusi tersebut, itu tentu dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa pemerintah nampaknya tidak memiliki pengaruh yang cukup untuk menundukkan RS terkait.

Konteks pemerintah yang dinilai tidak mampu menundukkan kepentingan bisnis juga banyak disorot di sektor lainnya. Sebut saja bisnis pertambangan, reklamasi, ataupun pembukaan lahan kelapa sawit yang kendati dinilai dapat merusak lingkungan ataupun melanggar aturan lainnya, nyatanya pemerintah menempatkan berbagai alasan penolakan tersebut sebagai “anak tiri”.

Akan tetapi, merujuk pada wabah Covid-19 yang kasusnya terus meningkat, bahkan saat ini telah mencapai 227 kasus, tentu kita berharap pemerintah dapat memberikan langkah terbaiknya dalam menanggulangi wabah tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version