Pasca kerusuhan di seputaran 21-22 Mei 2019, muncul dugaan adanya conflict entrepreneur yang berdiri di belakang kekacauan tersebut. Aktor ini disebut bukan hanya menjadi penggerak massa rusuh saja, tetapi juga ada dalam perencanaan dan pendanaan aktivitas. Bahkan, beberapa pihak menyebutkan ada keuntungan tertentu yang sedang diupayakan dari kerusuhan tersebut. Siapa dan kepentingan apa yang ingin diraih?
PinterPolitik.com
“Getting rich by controlling resources in war is common practice”.
:: Laporan Palang Merah Internasional untuk konflik di Sudan ::
Konflik dan bisnis adalah dua hal yang sering kali tidak bisa dipisahkan serta berhubungan sangat erat. Bahkan, tidak jarang konflik itu sendiri dijadikan sebagai alat bisnis atau sumber ekonomi.
Setidaknya hal inilah yang bisa dilihat dalam tulisan di The Economist pada Maret 2000 terkait apa yang disebut sebagai bisnis konflik. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa mayoritas konflik yang terjadi belakangan ini di berbagai belahan dunia sarat akan kepentingan bisnis.
Jika sebelum-sebelumnya identitas SARA, pejuang kemerdekaan, hingga rivalitas selalu dianggap sebagai penyebab terjadinya konflik, kini telunjuk orang-orang semakin sering diarahkan pada bandit, traders atau pedagang, hingga pebisnis.
Hal ini umumnya dijumpai di banyak negara berkembang, di mana mayoritas konflik sipil yang terjadi selalu memiliki elemen bisnis dan ekonomi di belakangnya. Nigeria adalah salah satu contoh di mana entitas perusahaan tertentu menjadi motor di balik perang sipil.
Konteks inilah yang mencuat ke permukaan pasca kericuhan yang terjadi dalam aksi lanjutan protes hasil Pemilu pada 21-22 Mei 2019.
Kalau mau ditelusuri satu per satu, hampir setiap konflik yang terjadi di negara ini selalu punya conflict entrepreneur. Share on XBeberapa pihak memang menyebutkan bahwa kerusuhan di beberapa titik di Jakarta yang total menewaskan 8 orang tersebut merupakan kulminasi atau puncak tertinggi dari polarisasi dan benturan antara dua kubu yang telah terjadi sejak sebelum Pilpres 2018 berlangsung. Namun, analisis lain menyebutkan bahwa ada kelompok yang sebetulnya “menunggangi” aksi protes tersebut.
Hal ini salah satunya disampaikan oleh akademisi dan dosen Universitas Pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie. Dalam salah satu wawancaranya dengan CNN Indonesia, Connie menyebut dirinya yakin 100 persen bahwa para perusuh yang aktivitasnya ditayangkan oleh televisi beberapa hari terakhir – terutama yang melakukan aksi-aksi provokasi dan pelemparan kepada aparat – adalah kelompok yang dibayar dan memang diinstruksikan oleh pihak tertentu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.
Kelompok ini disebutnya sebagai penumpang gelap atau free rider yang justru memang bertujuan untuk menyulut kerusuhan. Connie bahkan menyinggung soal perencanaan yang – menurut informasi intelijen yang diperolehnya – dilakukan beberapa bulan sebelumnya di negara tetangga.
Mengingat pernyataan ini disampaikan oleh seorang peneliti di bidang militer yang bekerja untuk Institute of National Security Studies (INSS), Tel Aviv di Israel, sekaligus istri dari mantan Panglima Kostrad Djaja Suparman, maka sangat mungkin apa yang dibilang Connie bisa dipertanggungjawabkan.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur di acara yang sama. Isnur menyebutkan bahwa dilihat dari polanya, ada conflict entrepreneur atau “pengusaha konflik” yang berdiri di belakang aksi-aksi kekerasan tersebut. Para conflict entrepreneurs ini berperan misalnya dalam hal pendanaan aksi tersebut.
Terlepas analisis-analisis tersebut, konteks pihak lain yang menunggangi demonstrasi dan protes hasil Pemilu ini juga disebutkan oleh Menkopolhukam Wiranto terkait dalang kerusuhan yang sudah diketahui oleh pihaknya. Sementara polisi menyebut masih mencari oknum yang disebut mendanai aksi tersebut.
Munculnya istilah conflict entrepreneur tentu menarik untuk dilihat lebih jauh. Pasalnya, terminologi ini umumnya dipakai untuk menyebut orang yang mengambil keuntungan tertentu dari konflik-konflik yang terjadi – hal yang disebut oleh The Economist seperti disinggung di awal tulisan.
Pertanyaannya tentu saja adalah siapa tokoh yang menjadi sosok conflict entrepreneur tersebut dan kepentingan apa yang ingin diraihnya dalam konflik beberapa hari lalu?
Siapa Conflict Entrepreneur?
Istilah conflict entrepreneur memang selalu berhubungan dengan kepentingan yang dicari di balik sebuah konflik. Politisi Norwegia, Espen Barth Eide dalam salah satu tulisannya, menyebutkan bahwa conflict entrepreneur adalah aktor yang menggunakan kondisi spesifik tertentu untuk melahirkan konflik demi mencapai tujuan tertentu dengan memanfaatkan relasi kekuasaan yang baru.
Adapun keuntungan yang umumnya ingin dicapai dari aktivitas tersebut bisa berupa kekayaan ekonomi, kekuasaan politik, atau tujuan-tujuan lain yang bisa bersifat kolektif.
Istilah ini memang mirip-mirip dengan warmonger, sekalipun istilah terakhir cenderung menunjuk pada orang atau kelompok yang ada di depan dan secara terbuka terlihat perannya dalam memicu lahirnya konflik. Sementara conflict entrepreneur sering kali lebih merujuk pada orang-orang yang ada di belakang layar.
Konteks conflict entrepreneur ini bisa dilihat dalam laporan investigasi dari surat kabar terkemuka, Financial Times pada Oktober 2015. Koran yang berkantor pusat di London, Inggris tersebut menyebutkan bahwa Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS tidak lebih dari sebuah institusi bisnis yang menjalankan apa yang disebut sebagai “bisnis konflik”.
Tulisan tersebut menyebutkan bahwa organisasi yang oleh banyak pihak cenderung diidentikkan sebagai teroris yang lahir dari ekstremisme agama itu, sebetulnya merupakan korporasi bisnis yang mengambil keuntungan dari penguasaan sumber daya alam, perdagangan minyak, penarikan pajak, perdagangan budak perempuan, hingga penyanderaan warga asing.
Pada tahun 2015, diperkirakan total uang yang diperoleh ISIS berkisar antara US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar atau antara Rp 21,6 triliun hingga Rp 28,8 triliun dalam kurs rupiah saat ini. Dari sektor minyak saja, organisasi tersebut memperoleh hingga Rp 11,7 triliun per tahun.
Konteks conflict entrepreneurship di ISIS bisa dilihat dari fakta bahwa organisasi itu mempunyai pendana yang disebut sebagai angle investor – sebutan untuk investor yang berinvestasi di perusahaan-perusahaan baru atau start-up.
Sementara kekuatan tempurnya dibangun dengan prinsip-prinsip kapitalisme, misalnya rekrutmen tentara bayaran, fundraising atau penggalangan seed money (modal awal), dan lain sebagainya. (Baca: Dahsyat, Ternyata ISIS Adalah Korporasi)
Artinya, memang ada uang yang berputar, pun ada keuntungan yang ingin dicapai dalam konteks konflik tersebut.
Fenomena conflict entrepreneur ini juga terjadi di hampir seluruh negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Aktornya bisa negara, korporasi, kelompok, bahkan individu tertentu.
Lalu, bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia?
Nyatanya, kalau mau ditelusuri satu per satu, hampir setiap konflik yang terjadi di negara ini selalu punya conflict entrepreneur. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) misalnya, punya dimensi penguasaan sumber daya alam dalam bentuk komoditas migas.
Begitupun di daerah-daerah lain, semisal Papua, Poso, Timor Leste, dan beberapa daerah lainnya, hampir semua memiliki aktor di belakang layar yang berperan mendanai, mengompori, dan mengondisikan terjadinya konflik.
Layaknya yang terjadi pada ISIS, memang ada konteks monetisasi (monetization) baik secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik-konflik tersebut, sekalipun sifatnya belum sampai menjadi korporasi. Yang jelas, ada keuntungan yang bisa diraih, baik secara langsung maupun tidak langsung dari konflik ini.
Keuntungan yang Ingin Dicapai?
Jika menggunakan pendasaran dari tulisan Espen Barth Eide, maka bisa dipastikan faktor ekonomi adalah salah satu hal yang bisa digunakan untuk melihat indikator conflict entrepreneur tersebut dalam kerusuhan Pemilu 2019 – katakanlah jika tuduhan terkait keberadaan aktor tersebut benar adanya. Pertanyaannya adalah seperti apa bentuk keuntungan tersebut?
Tidak ada yang tahu pasti. Kalau berkaca dari kerusuhan 1998 – yang oleh beberapa pihak juga disebut ada conflict entrepreneur-nya – sektor properti adalah salah satu yang bisa dikulik untuk melihat indikator tersebut.
Pasalnya, sekalipun sudah terjadi sejak tahun 1990-an pasca beberapa bank yang mengalami krisis, namun kerusuhan 1998 adalah salah satu alasan utama harga properti – khususnya di ibu kota – anjlok.
Praktisi di dunia properti, Asriman Akhiruddin Tanjung dalam salah satu tulisan, menyebutkan bahwa tahun-tahun konflik tersebut menyebabkan banyak orang yang ingin menjual propertinya – bangunan maupun tanah – dengan harga yang murah.
Artinya, bisa dipastikan memang ada yang mengambil keuntungan dari konflik 1998 ini dari sisi bisnis properti atau penguasaan atas area tertentu. Sektor properti sangat mungkin menjadi salah satu jalan masuk untuk melihat konteks conflict entrepreneur ini.
Lalu bagaimana dengan konteks saat ini? Memang, secara ekonomis dampak konflik Pilpres 2019 cukup merugikan, misalnya bagi pedagang di Pasar Tanah Abang yang terletak dekat lokasi konflik, atau pun para pengusaha di sektor ritel yang harus menutup usahanya.
Koperasi Pedagang Pasar Tanah Abang misalnya, menyebutkan total kerugian yang diterima para pedagang bisa mencapai Rp 100 miliar per hari.
Sementara, data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebutkan bahwa kerugian yang dialami oleh pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta yang harus tutup sejak terjadinya kerusuhan mencapai Rp 1,5 triliun.
Konteks ini – walaupun tidak berhubungan langsung – memang menunjukkan bahwa ada dimensi ekonomi dari kerusuhan paca Pemilu ini.
Selain itu, hal lain yang boleh menjadi latar belakangnya adalah dalam konteks kebijakan-kebijakan Jokowi – katakanlah jika tujuan akhir konflik ini adalah benar-benar ingin menjatuhkan kekuasaan sang presiden.
Beberapa pihak menyebutkan bahwa salah satu kebijakan yang sangat mungkin menyinggung kepentingan orang atau kelompok tertentu adalah terkait perjanjian pertukaran rahasia keuangan yang melibatkan beberapa negara, misalnya Swiss dan Singapura, yang merupakan destinasi penyimpanan kekayaan kelompok tertentu.
Pasalnya, jika kebijakan ini dieksekusi, akan sangat mungkin mendeteksi segala bentuk sumber-sumber mencurigakan, pun orang-orang yang tidak ingin terekspos punya harta dalam jumlah banyak di luar negeri.
Walaupun demikian, argumentasi tersebut belum dapat sepenuhnya dipastikan kebenarannya. Yang jelas, publik tetap harus kritis untuk melihat kondisi politik saat ini. Bagaimanapun juga, tak ada yang ingin diadu domba oleh para conflict entrepreneurs yang memanfaatkan momentum pesta demokrasi ini.
Sebab, jika konflik sipil membesar, mereka-mereka ini akan melenggang mulus dengan jet-jet pribadinya ke luar negeri dan menikmati kekayaannya. Sementara generasi berikut dari bangsa inilah yang harus menanggung getah dari setiap tetesan darah yang tertumpah. (S13)