“Perintah Ustaz Salim kepada semua kader PKS selalu untuk taat dan cinta ulama, dan NU adalah rumah para ulama,” Mardani Ali Sera, Ketua DPP PKS
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]KS mungkin menjadi salah satu partai Islam yang paling besar di Indonesia saat ini. Di tengah terpaan gelombang yang menyerang partai Islam, PKS tetap mampu menjaga eksistensinya. Tak hanya sekadar eksis, PKS juga sering kali memberikan kejutan-kejutan kecil dalam kiprahnnya mengarungi politik Indonesia.
Meski tergolong sangat eksis, perolehan suara partai dakwah ini tidak pernah naik drastis hingga menembus posisi tiga besar. Banyak yang menganggap bahwa hal ini terkait dengan pesona PKS yang hanya mampu memukau kalangan Islam kelas menengah perkotaan saja. Sementara itu, untuk kalangan Islam lain yang lebih tradisional seperti Nahdlatul Ulama (NU), PKS masih kesulitan menggoda mereka.
Minimnya pemilih dari golongan tersebut tampaknya disadari oleh PKS. Beberapa waktu lalu, Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Aljufri bertemu dengan tokoh NU Kiai Kholil As’ad Syamsul Arifin di Situbondo. Langkah ini dapat dimaknai sebagai upaya PKS menggaet suara dari kalangan nahdliyin.
Melihat kondisi PKS yang suaranya tidak pernah naik signifikan, ikhtiar meraup suara NU dapat dianggap sebagai sesuatu yang layak dicoba. Meski demikian, apakah PKS akan sukses menggarap pasar baru dalam diri kaum nahdliyin?
Mengambil Suara Nahdliyin
Sinyal PKS tengah bermanuver mendekati kaum nahdliyin terkuak ketika Salim Segaf bertemu dengan Kiai Kholil. Di pertemuan tersebut, kader-kader PKS mengonfirmasi bahwa PKS memiliki kebijakan untuk mendekati para ulama, sedang NU sendiri adalah sarangnya para ulama.
Secara khusus, ulama yang ditemui Salim tidak bisa dianggap sebagai sosok yang sembarangan. Kholil merupakan pimpinan Pondok Pesantren Walisongo di Situbondo. Ia merupakan putra dari Kiai As’ad Syamsul Arifin, seorang ulama terkemuka di Situbondo yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Ayah Kholil merupakan pendiri pesantren Salafi Asyafi’iyah, salah satu pesantren paling terkemuka di Jawa Timur.
Langkah PKS merapat ke sosok kiai seperti Kholil bisa menjadi langkah kunci mengamankan suara NU. Ormas Islam yang didirikan oleh Hasyim Asyari ini memiliki pola hubungan patron-klien antara kiai dan santrinya. Oleh karena itu, mengamankan suara kiai bisa saja berarti mengamankan suara santri dan bahkan suara warga NU secara lebih luas. Apalagi, kiai yang didekati punya garis keturunan yang berpengaruh.
Ketua Majelis Syura PKS Habib @salimsegaf menerima kunjungan silaturahim Kyai Kholil As'ad Syamsul Arifin Situbondo bersama santri dan rombongan. Beliau Pimpinan Pondok Pesantren Walisongo Situbondo Jawa Timur, anak dari KH As'ad Syamsul Arifin, Pahlawan Nasional dari Situbondo. pic.twitter.com/eUIz3jQeHT
— DPP PKS (@PKSejahtera) December 9, 2018
Jika diperhatikan, kesulitan PKS menggarap pasar NU tergambar di kiprahnya dalam menghadapi Pemilu di kandang kaum nahdliyin, Jawa Timur. Dalam beberapa kali Pemilu, PKS sulit untuk menandingi keperkasaan partai-partai lain di wilayah tersebut.
Salah satu indikator nyata dari kondisi ini adalah jumlah anggota DPR PKS yang berasal dari Jatim. Dari total 11 dapil di provinsi tersebut, PKS hanya mendapatkan dua kursi DPR yang berasal dari dua dapil. Oleh karena itu, menggarap pasar NU dengan menarik perhatian kiai mereka dapat menjadi strategi penting untuk menyelamatkan partai.
Jika melihat pada Pemilu 2014, pesona PKS di mata kaum nahdliyin juga tergolong tidak istimewa. Merujuk pada exit poll yang dibuat oleh Indikator Politik Indonesia, hanya 6 persen pemilih yang mengidentifikasi sebagai nahdliyin yang memilih partai berlogo padi dan bulan sabit itu.
Rivalitas PKS dan NU
Meski langkah PKS mencoba menggarap pasar NU ini tergolong rasional, upaya tersebut bisa saja berjalan tidak terlalu mulus. Hal ini terkait dengan rivalitas antara PKS dan NU yang sudah lama terbangun.
Greg Fealy, Associate Professor dari Australia National University misalnya, menyoroti rivalitas kedua entitas besar Islam negeri ini dalam kasus kepergian Yaqut Cholil Qoumas ke Israel beberapa waktu lalu. Kala itu, tensi tinggi antara PKS dan NU mengemuka dan mengeskalasi cukup tinggi terutama di media sosial.
Kader-kader PKS tampak mengecam langkah Yaqut yang adalah Katib Aam PBNU. Kader-kader senior seperti Hidayat Nur Wahid dan Tifatul Sembiring mempertanyakan kepergian Yaqut ke Israel. Beberapa kader bahkan tidak hanya sekadar mempertanyakan, tetapi juga menggunakan kata-kata yang merendahkan sang kiai.
Sikap-sikap tersebut membuat media sosial milik kader-kader NU meledakkan amarah kepada PKS. Tagar #guremkanPKS dan #tenggelamkanPKS sempat hadir sebagai respons karena PKS dianggap merendahkan kiai NU. Tak hanya itu, di situs berita yang terafiliasi dengan NU, beredar berbagai tulisan yang mengungkap agenda PKS membawa kepentingan Arab Saudi untuk mengubah budaya Indonesia.
Jika ditelusuri, rivalitas PKS dan NU sebenarnya sudah muncul jauh sebelum kontroversi kunjungan Yaqut ke Isreal. Fealy bahkan menyebut bahwa rasa saling curiga dan ketegangan di antara keduanya telah muncul di penghujung tahun 1990-an. Meski begitu, serangan NU tidak pernah separah ini sebelumnya.
Secara ideologi, kedua kubu Islamis ini sendiri memang berada di kutub yang berseberangan. PKS dianggap mewakili wajah Islam puritan yang diimpor dari Timur Tengah, sementara NU dianggap sebagai wajah dari golongan Islam tradisional Indonesia dengan gagasan Islam Nusantara mereka.
Rivalitas seperti ini kemudian memunculkan semacam rasa skeptis dari berbagai partai yang terafiliasi dengan NU saat PKS berusaha mendekati kiai mereka. PKB misalnya menggambarkan bahwa hubungan antara PKS dan NU ibarat air dengan minyak. Hal senada diungkapkan oleh PPP yang menyebutkan bahwa kultur PKS berbeda dengan NU.
Batu Sandungan
Rivalitas antara kedua kubu ini bisa saja menjadi batu sandungan PKS dalam mengambil hati pemilih NU. Untuk bisa sepenuhnya meraih perhatian kaum nahdliyin, PKS perlu mengakhiri rivalitas ini terlebih dahulu.
Mengakhiri rivalitas sendiri bukanlah perkara yang benar-benar mudah. Menurut Gary Goertz dan Paul F. Diehl, rivalitas bermula dari sebuah political shock atau kejutan politik. Hal serupa berlaku jika ingin mengakhiri rivalitas tersebut.
Jika ditelusuri, kejutan politik itu boleh jadi bersumber sejak 1990-an seperti yang dikemukakan oleh Fealy. Rasa curiga dan tensi tinggi mulai menyeruak dan mewarnai hubungan di antara kedua kekuatan Islam Tanah Air ini.
Secara spesifik, menurut Ahmad Syarif Syechbubakr, pasca runtuhnya Orde Baru, pengajaran Islam mengalami perubahan. Hal ini muncul sebagai konsekuensi dari lebih bebasnya ruang publik untuk aktivitas keagamaan. Tak hanya itu, interaksi dengan paham Islam dari luar negeri, terutama dari Timur Tengah, juga menjadi lebih besar.
Indahnya berIslam @ nikmatnya saling shilaturahim. Lora (KH) Khalil berkenan membalas shilaturahim alHabib Dr Salim alJufri, Ket Majlis Syura PKS. Beliau adalah tokoh Kyai yg sangat berpengaruh dikalangan Nahdhiyyin di kawasan Tapal Kuda,Jatim. Penting berkelanjutan,jadi berkah. https://t.co/TYq5dqKACr
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) December 11, 2018
Pada awalnya, peran pesantren dan kiai dalam pengajaran Islam berada dalam posisi yang nyaris tak tersentuh. Meski begitu, pasca Orde Baru, posisi itu mulai mendapatkan tantangan. Jika semula hal-hal terkait dengan aqidah (keyakinan) hanya dibicarakan di dalam pesantren dan dipandu oleh kiai yang cukup senior, hal ini berubah pasca Orde Baru. Diskusi mengenai aqidah justru mulai muncul di kelompok-kelompok kecil masyarakat urban Indonesia.
Seiring dengan hal itu, gerakan Tarbiyah sebagai cikal-bakal PKS justru mulai mendapatkan panggungnya. Secara khusus, gerakan Tarbiyah inilah yang kerap mengisi kelompok-kelompok kecil di masyarakat urban tersebut. Pada titik ini, monopoli pesantren dan kiai NU dalam pengajaran Islam mulai digerogoti.
Rivalitas PKS dan NU yang cukup panjang diprediksi mempersulit hubungan di antara keduanya Share on XAda kejutan politik lain yang membuat rivalitas PKS dan NU tergolong langgeng. Fealy menggambarkan bahwa kalangan NU memiliki kekhawatiran akan kalah dalam perang informasi dengan kelompok Islam lain, terutama dengan PKS. Hal ini terkait dengan kiprah PKS di sosial media yang kerap melakukan kampanye negatif kepada kandidat yang disukai mayoritas warga nahdliyin.
Tak hanya itu, PKS juga dianggap melakukan serangan konspirasi terhadap rival mereka, termasuk kepada NU. Oleh karena itu, serangan balik dari kader NU menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.
Berdasarkan kondisi tersebut, upaya PKS mendekati NU bisa saja akan mengalami gangguan cukup besar. Kejutan politik besar di masa lalu membuat rasa curiga dan tensi tinggi di antara keduanya belum juga mereda. Jika benar PKS ingin merapatkan suara NU, maka mereka butuh kejutan politik lainnya untuk meredakan rivalitas. Jika tidak, maka ikhtiar mereka mendekati suara nahdliyin akan menjadi sia-sia. (H33)