Site icon PinterPolitik.com

Bisakah PDIP Kudeta Jokowi?

bisakah pdip kudeta jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri. (Foto: JPNN.com)

Beredar rumor bahwa PDIP mengancam Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan rencana “kudeta merangkak”. Bisakah partai berlambang kepala banteng itu melancarkan kudeta tersebut?


PinterPolitik.com

“But rumour has it, I’m the one you’re leaving her for” – Adele, “Rumour Has It” (2011)

Di usianya yang menyentuh 23 tahun, Adele merilis sebuah album bertajuk 21 pada Februari 2011 silam. Album yang mendapatkan banyak pengaruh dari aliran musik country dan bluegrass dari Amerika Serikat (AS) bagian selatan.

Sebagian besar lagu dari album Adele satu ini – seperti “Someone like You” dan “Set Fire to the Rain” – berisikan kisah atau narasi yang menceritakan bahwa Adele telah meninggalkan orang yang dulunya dia sayangi – agar bisa melangkah maju (move on) kembali.

Namun, ada satu lagu yang memiliki cerita yang berbeda, yakni “Rumour Has It”. Di lagu tersebut, Adele membicarakan rumor yang beredar mengenai pasangannya – tanpa menentukan keputusan yang jelas apakah akan meninggalkan atau tetap bersama pasangannya.

Situasi yang belum jelas ini sepertinya bukan hanya dialami oleh Adele dalam lagu “Rumour Has It”, melainkan juga PDIP. Bagaimana tidak? Dengan dinamika yang terjadi saat ini, PDIP tampaknya tidak memberikan tanggapan jelas atas manuver Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.

Namun, di belakang diamnya, PDIP disebut memberikan ancaman kepada Presiden Jokowi. Kabarnya, Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri mengancam akan menarik kader-kadernya dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Tidak hanya itu, PDIP dirumorkan juga akan menyebarkan narasi bahwa pemerintahan Jokowi telah gagal. Rencana inipun disebut sebagai rencana “kudeta merangkak”.

Bila rumor ini benar adanya, sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Mengapa ancaman PDIP ini bisa saja mengancam Jokowi? Lantas, mungkinkah “kudeta merangkak” ala Jokowi ini berhasil?

Jokowi Perlu Belajar dari Gus Dur?

Ada satu hal utama yang membedakan dinamika politik dan pemerintahan antara Indonesia dan negara-negara lain, yakni bagaimana hubungan pengaruh antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Di banyak negara, seperti di AS, presiden memiliki kewenangan yang besar dalam mengeksekusi berbagai kebijakan.

Berbeda dengan presiden AS, presiden Indonesia harus berhadapan dengan DPR dalam menjalankan kebijakan. Dalam buku The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation yang ditulis oleh Edward Aspinall, Marcus Mietzner, dan Dirk Tomsa, Stephen Sherlock menjelaskan bahwa sistem politik di Indonesia berdasarkan UUD 1945 menjadi sistem kuasi-parlementer.

DPR sebagai parlemen memiliki kekuatan untuk memengaruhi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, yakni presiden. Besarnay pengaruh parlemen yang diisi oleh partai-partai politik (parpol) membuat presiden-presiden Indonesia mengakomodasi banyak parpol dalam pemerintahan mereka.

Sherlock-pun mencontohkan besarnya pengaruh parlemen ini dengan insiden Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur akhirnya harus dilengserkan oleh MPR pada tahun 2001 silam.

Pengalaman buruk di era Gus Dur ini terus menghantui presiden-presiden selanjutnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, mengacu ke Sherlcok, membuat koalisi yang terdiri dari banyak partai agar menjaga stabilitas pemerintahannya.

Tidak hanya SBY, Presiden Jokowi juga melakukan hal demikian. Selama dua periode menjabat sebagai presiden, Jokowi juga mengakomodasi banyak partai untuk menciptakan stabilitas bagi jalannya pemerintahannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, adanya rumor ancaman PDIP terhadap Jokowi ini bukan tidak mungkin akan membuat pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tergoyah. Jika ini terjadi, kebijakan-kebijakan Jokowi yang tengah dikebut untuk menjadi warisan kepresidenannya – seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara – bisa saja terancam.

Namun, bila rumor ancaman ini terjadi, mungkinkah efeknya bisa setingkat dengan apa yang dialami Gus Dur pada tahun 2001 silam? Mungkinkah Jokowi bisa menjadi “Gus Dur” yang kedua?

PDIP Memangnya Siapa?

Meski rumor ancaman PDIP ini terdengar menyeramkan bagi jalannya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, bukan tidak mungkin rumor ancaman itu tidak akan bisa terjadi sepenuhnya. Apalagi, aturan hukum dan dinamika politik antara pemakzulan Gus Dur dan situasi pemerintahan Jokowi saat ini juga jauh berbeda.

Dalam hal tata negara, misalnya, MPR sudah tidak lagi memiliki kemenangan yang paling dominan – khususnya dalam memakzulkan seorang presiden. Setelah amendemen yang dilakukan tahun 1999-2002, MPR hanya bisa memakzulkan presiden hanya bila terjadi pelanggaran konstitusional.

Di sisi lain, PDIP bukanlah satu-satunya parpol besar yang berada di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Pasca-Pilpres 2019, partai-partai dengan jumlah kursi besar – seperti Partai Gerindra dan Partai Golkar – berada di barisan pemerintahan Jokowi. Dua partai ini juga berada di koalisi Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

Tidak hanya itu, rumor ancaman “kudeta” oleh PDIP ini juga berkaitan dengan keputusan mundur para menterinya. Belum tentu, menteri dan pejabat pemerintahan yang merupakan kader PDIP akan melakukan hal demikian.

Ini juga berkaitan dengan persoalan kesetiaan. Mengacu ke tulisan Allison M. Dowell yang berjudul The Case for Political Loyalty, kesetiaan politik adalah sebuah konsep yang dijelaskan secara berbeda-beda oleh para filsuf dan ilmuwan sosio-politik.

Namun, pertanyaan soal kesetiaan selalu muncul ketika seseorang diminta untuk memilih. Atia pada era Yunani Kuno, misalnya, hanya setia kepada dirinya ketika harus memilih antara Caesar dan Pompey.

Bukan tidak mungkin, para menteri dan pejabat ini juga akan berjalan demikian. Bila ini benar, bukan tidak mungkin, pengaruh parpol terhadap kader-kadernyapun tidak sekuat itu. Apalagi, di akhir masa pemerintahan, permohonan mundur bisa saja merusak citra dan karier menteri dan pejabat tersebut.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, misalnya, bisa saja memiliki kepentingan tertentu. Bila kabanya benar adanya, anak Yasonna-pun disebut memiliki monopoli bisnis di lembaga-lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Selain Yasonna, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Abdullah Azwar Anas juga masih terbilang baru dalam menjabat – untuk menggantikan Tjahjo Kumolo. Anas juga merupakan politikus yang masih memiliki perjalanan karier yang panjang.

Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang disebut memiliki kartu tanda anggota (KTA) PDIP kecil kemungkinan akan mundur. Sosok yang akrab disapa Pak Bas itu dinilai memiliki kedekatan khusus dengan Jokowi.

Hanya beberapa menteri kader PDIP yang dapat dinilai memiliki loyalitas besar terhadap Megawati. Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, misalnya, kerap terlihat dekat dengan sang ketum.

Pada akhirnya, tidak semua menteri atau pejabat ingin menarik diri dari kabinet. Ini mungkin sejalan dengan lirik Adele di awal tulisan – bisa saja para kader ini juga meninggalkan sang banteng. Who knows that Jokowi is possibly the one they’re leaving her for? (A43)


Exit mobile version