Berbagai kasus belakangan ini, seperti Ferdy Sambo dan Mario Dandy, membuat publik bertanya-tanya, apakah negara mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jika mengacu pada teori kontrak sosial, mungkinkah kita sebagai warga negara menggugat negara atau pemerintah jika dinilai tidak dapat memenuhi kewajibannya?
PinterPolitik.com
Ada sebuah tulisan menarik di Financial Times. Dalam tulisannya If a politician breaks a promise should a voter have a legal remedy?, David Allen Green memberi pertanyaan menarik. Jika politisi terpilih melanggar janjinya, apakah kita dapat menggugat mereka?
Seperti diketahui, janji atau kontrak politik adalah perkara niscaya di sistem politik demokrasi. Ketika maju di kontestasi elektoral, setiap politisi menawarkan berbagai janji kepada masyarakat sebagai pemilih. Namun, ketika terpilih lumrah terlihat janji-janji itu tidak ditepati.
Ungkap Green, bagaimana jika kita memiliki hak untuk menuntut janji itu?
Para politisi yang terpilih memainkan peran krusial bagi hajat hidup orang banyak. Tanda tangan mereka menentukan besar-kecilnya pajak, besar-kecilnya subsidi, besar-kecilnya harga bahan bakar, dan seterusnya.
Dengan peran sebesar itu, bagaimana mungkin tidak terdapat mekanisme hukum untuk menjamin para politisi memenuhi janjinya ketika terpilih?
Menghadirkan Hukum Perjanjian
Jika menggunakan hukum positif, aturan hukum semacam itu sekiranya belum ada di Indonesia. Belum ada perangkat undang-undang yang memfasilitasi warga negara untuk menagih janji kampanye para politisi.
Oleh karenanya, kita perlu menggunakan hukum responsif. Mengutip penjelasan Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Law and Society in Transition towards Responsive Law, dalam hukum responsif, hukum bertindak sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka. Tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Artinya, jika kebutuhan untuk menuntut pemenuhan janji politisi adalah sebuah keniscayaan demi kebaikan bersama, maka hukum seharusnya bertindak responsif untuk menyediakan perangkat aturan yang dibutuhkan.
Untuk aturan hukumnya, kita dapat membuat analogi. Sebagaimana dijelaskan Fabrizio Macagno dan Douglas Walton dalam tulisan Argument from Analogy in Law, the Classical Tradition, and Recent Theories, analogi menjadi bentuk argumentasi yang umum dalam penalaran hukum.
Sebagai analogi, kita dapat mengambil konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian. Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang berarti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Nah, kita dapat menggunakan analogi wanprestasi pada persoalan ini. Seperti yang dibayangkan David Allen Green, kita dapat membayangkan warga negara dan politisi terikat oleh suatu perjanjian. Jika politisi tidak memenuhi janjinya, mereka dapat disebut telah melakukan wanprestasi.
Menagih Tanggung Jawab Negara
Selain itu, jika menariknya lebih jauh, dalam teori kontrak sosial negara memiliki kewajiban untuk memberikan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Itu merupakan konsekuensi dari warga negara yang memberi sebagian haknya kepada negara.
Makmur Keliat dan kawan-kawan dalam buku Tanggung Jawab Negara, juga tegas menyebutkan bahwa negara merupakan payung hukum tertinggi untuk menjamin terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Negara memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Fungsi keamanan negara berasal dari ide bahwa negara merupakan antitesis dari kondisi anarki yang dianggap menjadi karakter alami masyarakat. Dengan kata lain, negara merupakan konsensus yang dibentuk oleh masyarakat untuk menghindari kondisi bellum omnium contra omnes (perang antar segala melawan semuanya).
Kemudian, fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan berasal dari ide bahwa negara merupakan entitas yang dibentuk untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya. Ini karena negara dipercaya mempunyai kemampuan untuk mendistribusikan sumber daya nasional demi terciptanya kesetaraan dalam masyarakat. Ini kita kenal sebagai keadilan sosial atau social justice.
Dengan demikian, tidak hanya demi menjamin pemenuhan janji politisi, hak warga negara untuk menagih janji politisi juga merupakan tarikan atas filsafat kontrak sosial. Para politisi terpilih yang merupakan representasi negara memiliki fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Bahkan tanpa perlu memberikan janji, mereka memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Refleksi atas persoalan ini semakin kuat akhir-akhir ini seiring dengan hebohnya kasus Ferdy Sambo dan Mario Dandy. Kedua kasus itu merupakan simbol atas persoalan keadilan dan kesejahteraan. Kasus Sambo membuat publik bertanya, jika di internal kepolisian saja terdapat kasus semacam itu, bagaimana mungkin Polri sebagai penegak hukum negara memberikan rasa adil dan aman bagi masyarakat?
Kemudian, kasus Mario yang membuka pintu rekening gendut para pejabat pajak, itu membuat berbagai pihak skeptis dan pesimis bahwa negara dapat mendistribusikan kekayaan nasional. Belakangan ini bahkan terdapat seruan “tolak bayar pajak” karena menilai pajak yang dibayar digunakan untuk kemewahan pejabat negara, khususnya para pejabat pajak.
Jika kekecewaan masyarakat sudah memuncak, apakah salah jika masyarakat menuntut negara? Apakah mungkin di kemudian hari warga negara dapat menuntut para politisi dan pejabat untuk memenuhi kewajibannya?
Jika masa itu datang, slogan “dari rakyat, untuk rakyat” mungkin tidak lagi hanya menjadi slogan. (R53)