Pelantikan presiden dan wakil presiden (wapres) terpilih, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, akan dilaksanakan pada Minggu 20 Oktober 2019. Mendekati hari penting tersebut, muncul isu adanya usaha beberapa pihak untuk menggagalkan pelantikan yang direspon secara tegas oleh pemerintah. Lalu, apa yang terjadi jika presiden dan wakilnya benar-benar gagal dilantik?
PinterPolitik.com
Isu pertama datang dari dilaporkannya aktivis Sri Bintang Pamungkas ke polisi oleh Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dengan tuduhan makar. Tuduhan ini berdasarkan adanya video di YouTube di mana Sri Bintang mengajak masyarakat untuk menggagalkan pelantikan Jokowi-Ma’ruf.
Kemudian ada Permadi, politikus senior Gerindra yang berencana untuk menggagalkan pelantikan Jokowi-Ma’ruf. Permadi bahkan mengatakan rencananya nanti mendapat bantuan dari manan Komandan Jenderal Kopassus Sunarko dan unsur gerakan 212.
Menko Polhukam Wiranto kemudian mengklaim bahwa ada kelompok yang memang ingin menggagalkan proses pelantikan.
Wiranto menjelaskan bahwa kelompok ini akan menunggangi aksi demonstrasi mahasiswa dan menduduki gedung DPR-MPR sehingga dua lembaga legislatif tersebut tidak bisa menjalankan tugasnya yaitu melantik presiden dan wapres.
Isu ini direspon secara tegas oleh pemerintah, salah satunya TNI. Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengeluarkan pernyataan bahwa siapapun yang melakukan tindakan inkonstitusional, termasuk menggagalkan pelantikan presiden dan wapres, akan berhadapan dengan TNI.
Mungkinkah Gagal?
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, tugas untuk melantik presiden dan wapres hasil Pemilu ada di tangan MPR.
Dalam kedua UU tersebut dijelaskan juga bahwa yang dimaksud pelantikan adalah pengucapan sumpah atau janji presiden dan wapres yang dilakukan di hadapan sidang paripurna MPR.
Kedua UU juga memberikan beberapa alternatif jika pelantikan mengalami gangguan.
Jika MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna, pengucapan sumpah dilakukan di hadapan sidang paripurna DPR. Jika DPR juga tidak bisa mengadakan sidang, maka pengucapan sumpah dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
Alternatif juga berlaku bila presiden ataupun wapres berhalangan tetap alias meninggal atau tidak diketahui keberadaannya.
Jika wapres terpilih berhalangan hadir, presiden terpilih tetap dilantik. Sementara jika yang tidak bisa hadir adalah presiden terpilih, maka wapres terpilih akan dilantik menjadi presiden.
Isu gagalnya pelantikan tidak hanya berkaitan dengan siapa atau bagaimana mekanisme pelantikan berlangsung, namun juga berkaitan dengan tanggal pelantikan.
Sejak presiden dan wapres pertama kali dipilih secara langsung pada tahun 2004, pelantikan selalu dilakukan pada tanggal 20 Oktober.
Bukan tanpa sebab, hal ini berkaitan dengan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur bahwa presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun.
Periode jabatan inilah yang membuat jabatan presiden-wapres harus berakhir di tanggal yang sama lima tahun kemudian.
Aturan konstitusi ini juga yang membuat beberapa pihak seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan KPU menegaskan bahwa tanggal pelantikan presiden dan wapres terpilih tidak bisa maju atau mundur satu hari pun.
Lalu, apa yang terjadi jika ternyata pelantikan Jokowi-Ma’ruf tidak bisa dilaksanakan pada 20 Oktober 2019?
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara, Indonesia akan mengalami constitutional crisis alias kebuntuan konstitusional yang tidak ada jalan keluarnya.
Kebuntuan ini terjadi karena UUD maupun UU yang berlaku di Indonesia tidak menyediakan jalan keluar jika pelantikan presiden dan wapres gagal dilaksanakan pada 20 Oktober.
Tidak adanya solusi ini pula yang menurut Yusril menjadi kelemahan atau kelalaian dalam amandemen UUD 1945.
Sebenarnya dalam Pasal 8 UUD 1945 disebutkan bahwa jika presiden dan wakil presiden tidak bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan, tugas kepresidenan secara bersama-sama akan dipegang oleh “Triumvirat”.
Triumvirat adalah tiga menteri atau kementerian utama yang dianggap paling vital dalam pemerintahan dan berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara tidak bisa dibubarkan oleh presiden.
Triumvirat ini adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan.
Namun, aturan ini tidak berlaku jika kasus yang terjadi adalah gagalnya pelantikan presiden.
Triumvirat hanya bisa menggantikan presiden dan wapres yang tidak dapat bertugas secara bersamaan “dalam masa jabatannya”.
Sementara jika pelantikan gagal, tidak ada masa jabatan yang dapat digantikan karena masa jabatan presiden dan wapres lama sudah habis, sementara presiden dan wapres baru belum memiliki masa jabatan karena belum dilantik.
Pun triumvirat ini tidak akan ada karena sebagai bagian dari kabinet, masa jabatan mereka secara otomatis juga akan berakhir ketika presiden dan wapres lama sudah tidak menjabat per 21 Oktober.
Triumvirat baru juga hanya bisa ditunjuk oleh presiden dan wapres baru ketika keduanya sudah dilantik.
Kondisi ini akan mengarah pada pada vacuum of power atau kekosongan kekuasaan karena presiden dan wapres harus turun berdasarkan UUD per 20 Oktober karena keduanya sudah menjabat selama lima tahun sementara presiden dan wapres penggantinya belum dilantik.
Ahli hukum tata negara Refly Harun juga pernah mengatakan bahwa jika pelantikan gagal akan terjadi kekosongan kekuasaan.
Hal senada juga pernah diutarakan Mantan Kapolri Sutarman yang pada 2014 lalu mengatakan bahwa jika presiden gagal dilantik, yang tersisa hanyalah Ketua Mahkamah Agung (MA), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Kapolri, Panglima TNI, dan kepala lemabaga atau institusi negara lainnya.
Ancaman yang Berbahaya
Presiden memiliki wewenang yang sangat besar.
Presiden merupakan sosok yang memegang kekuasaan tertinggi atas TNI, menyatakan kondisi darurat militer, mengangkat duta besar, hingga membentuk kementerian dan mengangkat menteri
Oleh sebab itu, kekosongan kekuasaan yang disebabkan oleh gagalnya pelantikan presiden dan wapres sangatlah berbahaya karena berbagai wewenang di atas, atau fungsi pemerintah dan negara secara keseluruhan, berpotensi akan lumpuh.
Dengan wewenang yang besar ini tidak menutup kemungkinan akan ada kelompok tertentu yang berusaha untuk mengklaim tugas kepresidenan jika kekosongan kekuasaan benar-benar tejradi.
Ada seruan untuk menggagalkan pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang tinggal menghitung hari.
Hadehh, ajakan siapa nih?https://t.co/Vp1v2PaAyc
Selain berasal dari faktor eksternal, gagalnya pelantikan presiden dan wapres terpilih juga bisa disebabkan oleh badan legislatif itu sendiri.
Hal ini berkaitan dengan adanya syarat kuorum alias minimal jumlah kehadiran 50 persen + 1 untuk menentukan dapat dimulai atau tidaknya sidang paripurna.
Oleh sebab itu, jika pada 20 Oktober 2019 mendatang jumlah anggota MPR yang datang tidak memenuhi kuorum, sidang paripurna – yang merupakan tempat pelantikan – tidak dapat dilaksanakan.
Kekhawatiran seperti ini pernah terjadi pada tahun 2014.
Pada saat itu pemerintah dan masyarakat dibuat gaduh dengan adanya isu bahwa partai-partai pendukung Prabowo yang tergabung Koalisi Merah Putih (KMP) akan memboikot pelantikan Jokowi-JK.
Pemboikotan alias penggalan ini diisukan akan dilakukan dengan cara tidak menghadiri sidang paripurna dan menyebabkan tidak terpenuhinya syarat kuorum persidangan.
Ancaman kekosongan kekuasan dari gagalnya pelantikan presiden dan wapres tidak hanya dialami oleh Indonesia.
Pada tahun 2013, Venezuela pernah mengalami dilema yang sama ketika presiden terpilih Hugo Chavez tidak bisa menghadiri jadwal pelantikan karena alasan kesehatan.
Kondisi ini memunculkan isu adanya kudeta konstitusional di antara kelompok pro-pemerintah, militer, dengan kelompok oposisi.
Sementara kekosongan kekuasaan – dalam kondisi ekstrim – dapat menyebabkan direbutnya kekuasaan pemerintahan sipil oleh militer hingga tumbuhnya organisasi teroris.
Dengan adanya kewajiban konstitusi serta besarnya dampak pembatalan pelantikan Jokowi-Ma’ruf, ketegasan pemerintah khususnya TNI untuk menjamin berjalannya pelantikan pada 20 Oktober 2019 nanti nampaknya memang sudah tepat.
Pemerintah dan masyarakat tidak bisa menganggap enteng isu penggagalan pelantikan presiden dan wapres terpilih pada 20 Oktober nanti. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.