Site icon PinterPolitik.com

Bisakah Gerindra Kuasai Jawa?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat mengumumkan nama Sudrajat sebagai Cagub Jabar dari Gerindra. (Foto: Istimewa)

Gerindra memilih untuk memajukan calon sendiri yang tertinggal di survei untuk berbagai Pilgub di Pulau Jawa.


PinterPolitik.com

“[dropcap]J[/dropcap]awa adalah kunci.” Kata-kata ini pertama kali populer melalui suatu adegan di dalam film Pengkhianatan G30SPKI. Ungkapan ini ternyata diamini banyak politisi bahwa politik di Pulau Jawa adalah kunci bagi politik nasional. Hal ini juga nampaknya diakui oleh Partai Gerindra.

Jelang 2018, Gerindra sibuk mempersiapkan nama-nama calon untuk diusung pada Pilgub-pilgub di Pulau Jawa. Gerindra sepertinya ingin menjaga momentum kemenangan mereka di Pulau Jawa. Partai berlogo Garuda Merah ini sudah merengkuh satu posisi di DKI Jakarta melalui Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Partai peringkat ketiga pada Pileg 2014 ini juga sudah mengamankan posisi Gubernur Banten bersama enam partai lain.

Ada yang menarik dari upaya partai besutan Prabowo Subianto ini dalam menguasai Pulau Jawa. Di Pilgub Jabar dan Jateng nanti, mereka akan mengupayakan calon sendiri tanpa didukung koalisi besar. Hal yang sama diduga akan dilakukan di Pilgub Jatim.

Selain berani mengusung calon sendiri, calon yang diusung nanti juga cenderung tidak populer. Calon-calon yang diusung bukanlah calon yang merajai survei jelang Pilkada.

Pilihan Gerindra mengusung calon sendiri yang tidak populer memang menarik. Akan tetapi langkah ini juga bisa menimbulkan kesulitan pada Pilkada 2018 nanti. Bagaimana kans Gerindra dalam menguasai Pulau Jawa?

Langkah Sunyi Gerindra di Jawa

Pulau Jawa memang dikenal sebagai salah satu wilayah strategis dalam politik di Indonesia. Provinsi-provinsi yang ada di pulau ini terkenal sebagai lumbung suara. Pulau ini terdiri dari banyak daerah pemilihan dengan jumlah penduduk yang berlimpah pula.

Menguasai Pulau ini kerapkali berarti menguasai politik nasional. Banyak pihak menduga bahwa memenangi Pilkada di Pulau Jawa dapat menjadi kunci kemenangan di pemilihan presiden. Maka sangat wajar jika banyak partai yang berusaha habis-habisan di Pulau Jawa. Kini Pilkada tingkat gubernur hanya menyisakan tiga pemilihan. Jika berhasil sapu bersih, maka suatu parpol dapat lebih percaya diri menuju Pileg dan Pilpres 2019.

Dalam langkahnya menguasai Pulau Jawa, Gerindra memiliki strategi yang berbeda. Alih-alih memilih calon dengan elektabilitas dan popularitas tinggi, partai ini justru mengusung calon sendiri yang tidak moncer di survei.

Pada Pilgub Jabar, partai besutan Prabowo Subianto mengumumkan secara resmi akan mengusung Mayjen Sudrajat. Prabowo lebih memilih nama purnawirawan TNI ini dibandingkan dengan calon-calon lain yang lebih populer.

Gerindra cukup percaya diri dengan jenderal asli tatar Sunda tersebut. Di mata Prabowo, Sudrajat adalah putra daerah dengan kecakapan yang baik. Ia diharapkan mampu bersaing dengan nama-nama tenar seperti Ridwan Kamil atau Deddy Mizwar.

Di Pilgub Jateng, Gerindra juga telah mengumumkan secara resmi akan mengusung mantan Menteri ESDM, Sudirman Said. Pria asal Brebes ini diharapkan dapat menyaingi gubernur petahana Ganjar Pranowo yang melesat di berbagai survei.

Sudirman Said dianggap memiliki rekam jejak yang baik. Hal ini diharapkan bisa menyaingi petahana Ganjar yang kini diterpa berbagai masalah seperti kasus E-KTP dan pembangunan pabrik semen.

Langkah serupa nampaknya akan berlanjut untuk Pilgub Jatim. Gerindra berencana membentuk poros baru di luar dua kandidat utama yaitu Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa. Partai ini telah memberikan surat kepada mantan Ketua PSSI La Nyalla Mattalitti untuk mencari mitra koalisi agar namanya dapat diusung menjadi calon Jatim-1.

Pilihan Gerindra untuk mengusung calon sendiri yang tidak populer diperkirakan karena mereka percaya diri dapat mengulang apa yang terjadi di Pilgub DKI Jakarta. Kala itu calon yang mereka usung, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, tertinggal dibanding Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat dalam berbagai survei. Meski tertinggal di survei, pasangan yang mereka usung akhirnya berhasil merengkuh kemenangan.

Gerindra nampaknya ingin mereplikasi kemenangan di DKI Jakarta ini. Momentum yang tengah menanjak ingin mereka kapitalisasi dengan mengusung strategi serupa di tiga Pilgub sisa di Pulau Jawa.

Kans Gerindra di Jawa

Langkah sendiri Gerindra di berbagai pilgub di Pulau Jawa ini dapat dipandang sebagai langkah yang idealis. Partai ini tidak gentar dengan kandidat-kandidat lain yang memiliki reputasi lebih mentereng. Ini dapat menjadi pernyataan bahwa mereka tidak silau dengan nama-nama yang lebih besar.

Meski di atas kertas langkah ini baik bagi internal partai, tetapi ini juga bisa menjadi bumerang. Alih-alih meraup untung dari calon yang diusung sendiri, mereka justru dapat kehilangan kursi krusial di Pulau Jawa.

Jika ingin benar-benar menguasai Jawa dengan strategi ini, maka Gerindra harus bekerja ekstra keras. Seluruh mesin partai harus dikerahkan secara maksimal. Sangat penting bagi partai ini untuk memanfaatkan kader mereka yang kini menduduki jabatan kepala daerah di tiga provinsi tersebut.

Berdasarkan hasil pilkada serentak 2015 dan 2017, angka kemenangan mereka di Pulau Jawa memang tergolong tinggi. Di Jatim misalnya, partai ini berhasil memenangi 11 Pilkada pada tahun 2015. Meski begitu, tidak semua calon yang menang tersebut berasal dari kader atau hasil usungan sendiri. Di antara 11 tersebut hanya empat pilkada saja yang mereka menangi dengan mengusung kader sendiri.

Di Jateng, partai Garuda Merah ini masih terpaut jauh dari PDI-P. Di 2015, mereka hanya berhasil memenangi empat Pilkada saja. Di antara itu hanya dua Pilkada yang berhasil memberikan kursi bagi kader Gerindra. Sementara di 2017, hanya satu Pilkada saja yang menghasilkan kursi bagi kader partai ini.

Hal serupa juga berlaku di Jabar. Pada Pilkada serentak 2015, hanya Pilkada Kota Depok saja yang menghasilkan kemenangan bagi kader Gerindra. Itupun hanya berbuah kursi wakil walikota. Sementara di Pilkada serentak 2017 tak satu pun calon yang diusung Gerindra meraup kursi  di wilayah Jabar.

Berdasarkan peta tersebut, Gerindra nampaknya akan menempuh jalan yang terjal. Rendahnya jumlah kepala daerah asal Gerindra dapat menyulitkan mereka untuk bergerak di wilayah Jawa yang amat besar.

Jalan terjal juga akan menganggu jika dilihat dari total kursi di DPRD. Untuk mengusung calon sendiri di Jatim perlu 20 kursi, sementara Gerindra mengantongi 13 kursi. Di Jabar juga mereka hanya mengantongi 11 kursi, masih jauh dari minimal 20 kursi.  Kondisi serupa juga berlaku di Jateng, di mana total kursi mereka hanya 11 kursi sementara minimal untuk mengusung calon adalah 20 kursi.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, Gerindra dipastikan harus berkoalisi untuk dapat mengusung nama-nama yang sudah mereka umumkan. Hal ini bisa menyulitkan bagi mereka. Untuk Pilgub Jabar, jumlah 11 kursi masih terlampau jauh. Rekan koalisi mereka seperti PKS dan PAN sudah memberikan dukungan untuk Deddy Mizwar.

Tinggal PDI-P yang masih belum mengumumkan kandidat cagub. Sulit membayangkan Gerindra dan PDI-P mau bergabung. Gerindra, hingga tulisan ini diturunkan, masih berusaha menggoyahkan hati PKS dan PAN agar merapat ke Sudrajat.

Langkah yang lebih mudah diperkirakan akan terjadi di Pilgub Jateng. PAN telah menyatakan dukungan kepada eks Menteri ESDM tersebut. Dikabarkan PKS juga tertarik merapat ke poros ini.

Pekerjaan rumah besar ada di pundak La Nyalla Mattalitti. Eks Ketua Umum PSSI tersebut diminta untuk  mencari mitra koalisi agar dapat diusung menjadi cagub dari Gerindra. Ia harus mencari tambahan minimal 7 kursi agar dapat dicalonkan di Pilgub Jatim.

Selain kondisi-kondisi di atas, ada faktor sosiologis yang dapat membuat sukses Gerindra di Jakarta sulit diulang. Baik disengaja atau tidak, kemenangan Anies-Sandi terbantu dengan isu politik identitas yang berkembang di Jakarta.

Kondisi ini nampaknya akan sulit terulang di provinsi lain. Isu politik identitas bisa saja bekerja di Jabar. Akan tetapi, untuk provinsi seperti Jateng atau Jatim sepertinya isu ini sulit berkembang. Jateng misalnya terkenal sebagai provinsi yang kental aroma nasionalis dan pendukung Soekarno. Isu politik identitas akan sulit berkembang di provinsi lumbung suara PDI-P tersebut.

Hal serupa juga sulit dilakukan di Jatim. Jatim adalah provinsi yang menjadi basis Nahdlatul Ulama (NU). Ormas besar Islam ini dikenal sebagai ormas yang menjaga toleransi beragama di Indonesia. Di samping itu, NU juga kerap berseberangan dengan ormas yang membawa isu identitas di dalam politik. Hal ini diprediksi akan mempersulit Gerindra di Jatim.

Jika melihat kondisi-kondisi tersebut, upaya Gerindra untuk menguasai Jawa diprediksi akan melalui jalan terjal. Secara tradisional partai ini tidak memiliki basis yang kuat di 3 provinsi tersebut. Ini dapat dilihat dari rendahnya kader Gerindra yang terpilih menjadi kepala daerah.

Meski begitu langkah berani Gerindra dapat dipandang sebagai langkah idealis. Untuk mewujudkannya, pekerjaan rumah Gerindra adalah untuk merapatkan barisan partai agar mampu mengejar popularitas kandidat lain. Partai besutan Prabowo ini harus mampu menggoyahkan basis-basis tradisional partai lain agar Jawa dapat dikuasai partai ini. (Berbagai sumber/H33)

Exit mobile version