HomeNalar PolitikBisakah Biden “Bujuk” Jokowi?

Bisakah Biden “Bujuk” Jokowi?

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah dilantik untuk menggantikan Donald Trump. Lantas, mungkinkah posisi Joko Widodo (Jokowi) menjadi kunci bagi strategi Biden di Asia Tenggara ke depannya?


PinterPolitik.com

“A potential hegemon must be wealthier than any of its regional rivals and must possess the most powerful army in the area.” – John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (2014)

Tepat pada tanggal 20 Januari 2021 lalu, dunia menyaksikan pelantikan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Wakil Presiden (Wapres) AS Kamala Harris. Pelantikan yang dilaksanakan di Gedung Capitol, Washington D.C., tersebut dinilai menjadi titik puncak yang krusial bagi perjuangan demokrasi AS setelah dipimpin oleh Presiden Donald Trump selama empat tahun.

Bila respons terhadap pemerintahan Biden di AS menimbulkan pro-kontra dengan adanya polarisasi politik, sejumlah masyarakat di negara-negara lain justru terlihat menyambut baik. Dalam survei yang dilakukan YouGov dan Friedrich-Ebert-Stiftung di sejumlah negara, banyak warga justru menyambut positif presiden baru AS ini.

Masyarakat Indonesia, misalnya, sebanyak 28 persen dan 38 persen masing-masing mengatakan sangat setuju dan setuju terhadap kehadiran Biden. Hanya sebanyak 8 persen dan 3 persen yang masing-masing mengatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju.

Baca Juga: Ada Biden di Reshuffle Jokowi?

Biden Akhirnya Resmi Dilantik

Tidak hanya dari para responden, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tampaknya juga menyambut baik pelantikan Biden. Dalam akun-akun media sosialnya, mantan Wali Kota Solo tersebut mengunggah foto pertemuannya dengan Biden pada tahun 2015 silam dan memberikan ucapan selamat – serta mengekspresikan harapan akan kemungkinan kerja sama ke depannya.

Mungkin, harapan Jokowi atas pemerintahan baru di AS ini bisa jadi beralasan. Pasalnya, tidak sedikit ahli menilai bahwa pemerintahan Trump telah menurunkan kepercayaan negara-negara Asia terhadap peran AS di panggung politik dunia.

Meski begitu, pelantikan Biden ini bukan berarti bahwa politik luar negeri AS banyak berubah – khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Boleh jadi, Presiden AS ke-46 tersebut akan menerapkan sejumlah strategi yang mirip guna menghalau kekuatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Dalam sebuah dokumen rahasia yang dibuka ke publik, AS disebut akan menerapkan sebuah strategi di kawasan Asia Tenggara – di mana Indonesia berada. Salah satu konsep yang ditekankan adalah sentralitas (centrality) Association of South East Asian Nations (ASEAN).

Tentu, penyebutan konsep dalam dokumen strategis ini menjadi menarik – dan bukan tidak mungkin dapat menimbulkan pertanyaan bagi para ahli politik luar negeri. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan konsep sentralitas ASEAN? Lantas, bagaimana peran Jokowi dalam menjalankan konsep politik luar negeri satu ini?

Hanya Mitos?

Pada umumnya, dokumen tersebut menyebutkan bahwa sentralitas ASEAN adalah salah satu strategi kunci untuk menjaga kedudukan tertinggi (primacy) AS di kawasan Indo-Pasifik. Namun, banyak ahli justru mempertanyakan taktik-taktik apa yang akan diambil oleh negara Paman Sam untuk mewujudkan tujuan politiknya di kawasan tersebut.

Sentralitas ASEAN sebenarnya juga bukan istilah baru. Meski begitu, tidak sedikit pula yang menyebutkan bahwa konsep sentralitas ini merupakan istilah yang overrated (dinilai secara terlalu berlebihan).

Seperti yang dijelaskan oleh Amitav Acharya – profesor Hubungan Internasional (HI) di American University, AS, konsep satu ini digunakan untuk menggambarkan kawasan Asia Tenggara sebagai pusat dari diskursus atas perdebatan dan diskusi perihal kawasan Asia yang lebih luas.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Hal ini terlihat dari bagaimana ASEAN menjadi inisiator atas forum-forum untuk kawasan Asia yang lebih luas – mulai dari East Asia Summit (EAS), ASEAN Plus Three (APT), hingga ASEAN Regional Forum (ARF). Melalui forum-forum internasional, ASEAN dianggap semacam menjadi “pemimpin” dan pioneer yang membahas prinsip-prinsip tertentu, seperti prinsip non-interferensi dan konsensus.

Mungkin, dengan kehadiran ASEAN sebagai hub atas diskursus kawasan Asia, sebuah rezim yang membangun seperangkat aturan dan norma yang mengatur hubungan antarnegara di kawasan tersebut. Agar mudah dipahami, rezim internasional menjadi wadah atas bagaimana negara-negara menjalankan tata laku guna saling menjalankan hubungan luar negerinya.

Baca Juga: Jokowi, Biden, dan Perang Dingin Baru

Meski begitu, rezim internasional sendiri belum tentu dapat berjalan dengan sendirinya. Secara sederhana, dalam sebuah rezim, diperlukan satu negara yang dapat menerapkan aturan, norma, dan tata laku tersebut.

Di sinilah teori stabilitas hegemoni (hegemonic stability) menjelaskan peran negara tersebut. Agar suatu rezim dapat berjalan dengan stabil, sebuah negara hegemon – aktor dominan dalam panggung politik dunia pada tingkat tertentu – perlu hadir guna menegakkan seperangkat tata laku tersebut.

Namun, peran ini sepertinya sulit dijalankan oleh AS sendiri – mengingat sentralitas ASEAN merupakan salah satu kepentingan utama yang disebutkan oleh negara tersebut dalam dokumen yang dibuka pada publik. Justru, di bawah Trump, negara Paman Sam ini malah tampak absen dalam situasi Indo-Pasifik yang semakin memanas.

Di sisi lain, seperti yang pernah dijelaskan oleh John J. Mearsheimer – profesor politik di University of Chicago, AS, tidak ada negara yang mampu menjadi hegemon pada tingkat global. Justru, hegemon yang ada hanyalah hegemon kawasan (regional hegemon) dengan kondisi geografis bumi yang banyak dipenuhi oleh lautan.

Maka dari itu, AS memiliki keterbatasan tertentu untuk menerapkan sentralitas ASEAN di kawasan Indo-Pasifik. Bila apa yang disebutkan oleh Mearsheimer ini benar adanya, lantas siapakah yang mampu untuk menjadi hegemon kawasan dan menerapkan apa yang disebut sebagai sentralitas ASEAN?

Jokowi Adalah Kunci?

ASEAN telah lama menjadi pioneer dalam menerapkan regionalisme di Asia. Namun, akhir-akhir ini, organisasi kawasan satu ini dinilai mulai kehilangan arah dengan berbagai gangguan geopolitik – seperti sengketa Laut China Selatan (LCS).

Dengan kebangkitan Tiongkok menuju status hegemon kawasan di Asia, ASEAN pun mulai kehilangan sentralitas yang disebut-sebut sebagai inisiator mimpi regionalisme di Asia. Pertanyaan selanjutnya adalah cara apa yang perlu dilakukan oleh Biden untuk kembali “menegakkan” sentralitas ini.

Boleh jadi, mengacu pada teori stabilitas hegemoni, ASEAN perlu memiliki hegemon kawasannya sendiri untuk menjaga sentralitas tersebut. Dalam hal ini, Indonesia pada umumnya disebut-sebut sebagai pemimpin alami (natural leader) bagi organisasi kawasan satu ini – berdasarkan wilayah terluas dan kekuatan (power) terbesar pada bidang tertentu.

Pengaruh luas Indonesia ini terlihat dari bagaimana negara kepulauan satu ini secara historis menerapkan sejumlah nilai khasnya di balik ASEAN. Prinsip konsensus dan non-interferensi, misalnya, dinilai berasal dari sejumlah nilai khas Indonesia, yakni musyawarah dan mufakat.

Tidak hanya itu, Indonesia pada awal era Reformasi juga bersemangat dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi. Di bawah Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda, negara kepulauan terbesar ini berperan besar dalam mengusung institusionalisasi hak asasi manusia (HAM) secara regional melalui ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR).

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Namun, peran Indonesia yang besar di masa lalu ini tampaknya sulit terjadi di masa sekarang. Pasalnya, di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia justru dinilai menarik diri dari posisinya sebagai pemimpin alami ASEAN.

Baca Juga: Huawei, Rintangan Jokowi dan Biden?

Kapal Tiongkok Masuk Indonesia Lagi

Asumsi ini bisa jadi beralasan. Pasalnya, Presiden Jokowi – seperti yang disebut oleh banyak penulis seperti Ralf Emmers dan Ben Bland – memiliki orientasi kebijakan luar negeri yang lebih mengutamakan kepentingan domestik.

Dalam arti lain, politik luar negeri Jokowi hanya didasarkan pada pemanfaatannya yang menguntungkan kepentingan domestik saja – seperti pembangunan infrastruktur. Inilah alasan mengapa Tiongkok menjadi aktor yang prominen di balik misi infrastruktur Jokowi.

Maka dari itu, Jokowi di sini bisa saja malah menjadi kunci bagi Biden untuk mengembalikan sentralitas ASEAN di Indo-Pasifik. Mungkin, mantan Wapres AS tersebut perlu “membujuk” Indonesia untuk mendorong politik luar negeri yang menempatkan ASEAN sebagai fokus – atau lingkaran konsentris – utama.

Bayangan ini sejalan dengan sebuah istilah yang pernah disebutkan oleh Mearsheimer, yakni penjaga malam (night watchman). Meski AS tidak bisa menjadi hegemon global, setidaknya negara adidaya ini mampu menjalankan fungsi penjaga malamnya – dengan membantu hegemon kawasan setempat untuk menghalau (balancing) negara hegemon potensial lainnya.

Tantangan Indonesia

Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, Biden bisa saja memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Seperti apa yang disebutkan oleh Joshua Kurlantzick dalam sebuah wawancara dengan PinterPolitik.com, Biden harus membawa aktor-aktor domestik AS – seperti Kongres – dalam perahu yang sama di tengah polarisasi politik yang tajam.

Belum lagi, AS belum tentu dapat menyamai kemampuan Tiongkok dalam memberikan manfaat yang sejalan dengan misi infrastruktur Jokowi. Apalagi, pemerintah Indonesia kini lebih menjalankan politik luar negeri yang lebih pragmatis.

Di sisi lain, Indonesia belum tentu memiliki apa yang dibutuhkan untuk menjadi hegemon kawasan kembali – setidaknya selama Tiongkok hadir sebagai negara yang lebih kuat. Bila dibandingkan, negara kepulauan terbesar di dunia ini tidak memiliki kekuatan yang sebanding dengan negara Tirai Bambu.

Mungkin, kutipan dari Mearsheimer di awal tulisan mampu menggambarkan kondisi ini. Bagaimana pun juga, agar negara dapat menjadi hegemon, negara tersebut harus lebih kuat dibandingkan negara lawannya – baik dalam militer maupun ekonomi.

Dalam segi kekuatan militer, misalnya, Tiongkok memiliki teknologi senjata nuklir yang bisa saja digunakan sebagai deterrence terhadap Indonesia. Selain itu, di tengah dunia serba digital, medan perang baru – yakni teknologi – juga menempatkan Indonesia jauh di bawah Tiongkok.

Sementara, dalam segi ekonomi, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (USD 1,119 triliun) berdasarkan data Bank Dunia juga berada jauh di bawah Tiongkok (USD 14,34 trilun) pada tahun 2019. Ketimpangan ini juga eksis dalam PDB per kapita pada tahun yang sama – di mana Indonesia hanya pada nilai USD 4.135 sedangkan Tiongkok di nilai USD 10.261.

Dari sejumlah indikator kekuatan ini, bukan tidak mungkin hampir mustahil bagi Indonesia untuk menjadi hegemon kawasan yang mampu menyaingi Tiongkok. Lantas, alternatif apa yang akan dilakukan Biden? Menarik untuk diamati. (A43)

Baca Juga: Jokowi dan Ancaman Perang Teknologi

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?