Site icon PinterPolitik.com

BIN Terbentur Demokrasi?

Kepala BIN Budi Gunawan (Foto: BeritaSatu.com)

Akhir-akhir ini berbagai produk intelijen, khususnya dari Badan Intelijen Negara (BIN) mendapat kritik. Ada persoalan ledakan kasus Covid-19, hingga demonstrasi Jokowi End Game. Apakah demokrasi menjadi hambatan BIN dalam melakukan aktivitas intelijen?


PinterPolitik.com

“I’ve always retained my privacy, but now I protect it even more” – Daniel Craig, pemeran karakter James Bond

Diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt, karakter Edward Joseph Snowden dalam film Snowden (2016) memperlihatkan tarikan antara misi keamanan dan hak-hak privasi. Bekerja di National Security Agency (NSA) dan Central Intelligence Agency (CIA), Snowden melakukan berbagai aktivitas intelijen yang pada dasarnya adalah memata-matai.

Ketika ditempatkan di Jenewa, Swiss, Snowden menyadari sebuah sistem bernama XKeyscore yang digunakan untuk mendapatkan informasi pribadi seseorang. XKeyscore sendiri berada di bawah naungan Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) yang memungkinkannya bertindak tanpa surat perintah dari pihak berwenang, serta tidak harus mengumumkan kepada publik.

Singkat cerita, Snowden keluar dari pekerjaannya dan membeberkan dokumen-dokumen rahasia negara kepada publik. Ia kemudian dicap pengkhianat, diburu, dan filmnya kita nikmati pada 2016 lalu. 

Cerita mengenai Snowden adalah gambaran aktivitas intelijen yang menerabas ruang-ruang privat. Guna mendapatkan informasi yang diinginkan, batasan informasi publik dan informasi pribadi mau tidak mau harus dihilangkan – setidaknya dianggap tidak ada.

Dalam buku Intelijen dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru, Ikrar Nusa Bhakti menjelaskan tarikan masalah tersebut juga menimpa aktivitas intelijen di Indonesia, khususnya di era Reformasi. Di satu sisi, terdapat kebutuhan menjaga keamanan melalui aktivitas intelijen yang bersifat tertutup dan rahasia. Namun, di sisi lain, terdapat pula kebutuhan menegakkan demokrasi yang bersifat terbuka dan melindungi hak-hak privasi.

Baca Juga: Pandemi, Kegagalan Budi Gunawan?

Secara sifat saja, intelijen dan demokrasi berposisi diametral. Terlebih lagi, di tengah kuatnya sentimen demokrasi pasca-Orde Baru, terdapat tambahan kerangkeng atas aktivitas intelijen yang dilakukan. Konteks ini tampaknya berkorelasi dengan berbagai kritik produk intelijen, khususnya dari Badan Intelijen Negara (BIN) akhir-akhir ini.

Tangguh Chairil dalam tulisannya Indonesia’s Intelligence Service is Coming Out to Counter COVID-19, misalnya, mengkritisi aktivitas dan produk intelijen yang dilakukan BIN semasa pandemi Covid-19. Menurutnya, terjadi pelebaran peran yang membuat BIN melakukan tugas di luar aktivitas intelijen, seperti membuat prediksi kasus Covid-19.

Ada pula dugaan produk intelijen yang kurang akurat, di mana ini terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai klien tunggal yang tidak sesuai dengan fakta dan data yang ada. Pada 22 April 2020, misalnya, Presiden Jokowi menyebut tidak ada negara yang berhasil menekan Covid-19 melalui lockdown. Faktanya, saat itu Vietnam mengumumkan keberhasilan meratakan kurva tanpa satu pun kematian melalui penerapan lockdown.

Selain pandemi, ada pula kasus demonstrasi Jokowi End Game yang membuat 3.385 personel gabungan bersiaga pada 24 Juli kemarin. Uniknya, aksi yang disebut besar itu ternyata tidak pernah terjadi. Berbagai pihak, seperti politisi Gerindra Fadli Zon kemudian mempertanyakan keakuratan informasi intelijen atas kasus tersebut.

Bertolak dari kasus-kasus yang ada, apakah mungkin demokrasi merupakan salah satu penghalang, atau setidaknya ganjalan bagi BIN dalam menjalankan aktivitas intelijen?

Kerangkeng Habitus

Muhamad Haripin, Ikrar Nusa Bhakti, dan Diandra Megaputri Mengko dalam tulisan Intelijen dalam Pusaran Demokrasi: Sebuah Pendahuluan menyebutkan terdapat perbedaan antara praktik intelijen saat ini dengan di masa Orde Baru. Dulunya aparat intelijen tidak hanya berperan membuat produk intelijen, melainkan juga menjadi aparat penindak atau eksekutor. Sementara, saat ini praktik intelijen hanya memberikan analisis dan pertimbangan kepada presiden sebagai klien tunggal.

Selain itu, pada era Orde Baru aktivitas intelijen Indonesia juga lekat dengan intelijen hitam (black intelligence) karena operasinya untuk menjaga kepentingan penguasa. Haripin dan rekan-rekan, menyebutkan penembakan misterius (petrus), peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), dan peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai contoh intelijen hitam. 

A.M. Hendropriyono dalam bukunya Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia menjelaskan intelijen hitam adalah praktik atau operasi intelijen yang meniadakan batasan etis. Seperti kasus petrus, dengan dalih menjaga keamanan, praktik non-etis melakukan penembakan kemudian dilakukan.

Filsuf Jerman Martin Heidegger memberikan penjelasan filosofis yang dapat kita gunakan untuk mengurai permasalahan intelijen saat ini. Menurut Heidegger, manusia yang terlahir ke dunia merupakan mereka yang terlempar – disebut thrownness atau keterlemparan. Kita tidak tahu lahir di mana, bersama siapa, atau menjadi apa. Kita terlempar dalam lingkungan yang tidak pernah kita pilih.

Atas keterlemparan yang ada, manusia yang hidup di dunia pada dasarnya terkerangkeng oleh faktisitas (facticity), yakni nilai-nilai atau kondisi-kondisi yang sudah ada dalam sosial. Tidak berhenti di situ, manusia yang hanyut ke dalam faktisitas kemudian membentuk habitus atau kebiasaan (habituasi) yang dilakukannya dalam kehidupan.

Baca Juga: Jokowi End Game, Kegagalan Intelijen?

Nah, terkait praktik intelijen yang saat ini berbeda, mengacu pada faktisitas atau kerangkeng habitus, mungkin dapat dikatakan praktik intelijen puluhan tahun di bawah kepemimpinan Soeharto sulit untuk dilepaskan. Seperti pernyataan Christian A. Klöckner dan Sunita Prugsamatz dalam tulisannya Habits as Barriers to Changing Behaviour, habituasi memegang peranan yang besar dalam membentuk tingkah laku dan turut menjadi pengambil keputusan otomatis.

Diandra Megaputri Mengko dalam tulisannya Intelijen dalam Keamanan Nasional: Stagnasi dalam Perubahan juga mengurai masalah ini. Menurutnya terdapat stagnasi perubahan (reformasi) intelijen karena dulunya intelijen lazim digunakan untuk melindungi rezim penguasa. 

Dulunya, kesan intelijen begitu mengerikan karena mengalami politisasi dan militerisasi. Dengan dalih menjaga stabilitas nasional, aktivitas intelijen ditujukan untuk menciptakan kontrol atas kebebasan sipil. Intelijen pun dapat bertindak dengan cepat dan bebas. 

Rasa-rasanya, tentu sukar mengubah cara kerja puluhan tersebut. Apalagi, intelijen saat ini tetap dituntut memberikan informasi secara tepat dan akurat (velox et exactus) tetapi juga dituntut berada dalam koridor demokrasi. 

Terbentur Demokrasi?

Pengamat militer Khairul Fahmi menyebutkan demokrasi merupakan faktor yang membuat aktor-aktor intelijen lambat melakukan deteksi masalah. Menurutnya, pemerintah sebagai penyelenggara keamanan nasional secara naluriah akan mengedepankan isu-isu seperti ruang gerak organisasi, kewenangan ekstra, hingga metode kerja khusus. 

Sementara masyarakat sipil, juga secara naluriah akan memunculkan kekhawatiran tentang kewenangan yang meluas, pemberangusan kebebasan sipil, hingga munculnya kembali institusi represif rezim otoritarian Orde Baru. Meminjam istilah dosen filsafat Universitas Indonesia (UI), Donny Gahral Adian, rezim Orde Baru telah membuat masyarakat mengalami “surplus kecurigaan” terhadap kekuasaan.

Terlebih di era digital saat ini, aktivitas intelijen juga mengalami paradoks keamanan. Di satu sisi ada kebutuhan menjaga keamanan yang membutuhkan berbagai data, namun di sisi lain  ada desakan agar negara tidak menerobos ruang-ruang digital sipil. Paradoks keamanan ini persis seperti yang ditunjukkan film Snowden.

Indria Samego dalam tulisannya Dilema Intelijen dan Demokrasi: Paradoks antara Kerahasiaan dan Keterbukaan memberi penjelasan penting yang dapat dijadikan jalan tengah. Menurutnya, aktivitas intelijen tidak boleh disempitkan pada persoalan menjaga keamanan semata, melainkan pula memberi input terhadap kebijakan publik.

Matteo Bulzomi dalam tulisannya Intelligence as a Diplomatic Tool: An Israeli History memberikan contoh penting atas hal ini. Sejak awal berdiri, Israel selalu dilanda embargo diplomatik yang keras karena masalah Palestina, khususnya dari negara-negara Muslim. Dengan kondisi seperti itu bagaimana Israel bisa bertahan, bahkan mengembangkan teknologi mutakhir?

Menurut Bulzomi, untuk mengatasi masalah ini, para pemimpin Israel membentuk strategi tiga dimensi. Pertama, mereka berusaha untuk memastikan keunggulan militer Israel atas musuh-musuhnya. Kedua, mereka menjaga hubungan dekat dengan kekuatan Barat, terutama yang memiliki kursi tetap di Dewan Keamanan PBB.

Ketiga, Israel banyak menginvestasikan sumber daya dalam mendirikan jaringan diplomatik formal dan informal agar mampu mematahkan isolasi yang dialami. Nah, badan intelijen memiliki peran yang sangat penting dalam strategi ini, khususnya yang ketiga. Untuk menjalankan strategi, Israel membutuhkan informasi-informasi akurat dari badan intelijennya. 

Baca Juga: Kenapa BIN Menjadi Terbuka?

Menurut Indria Samego, informasi yang merupakan hasil kerja intelijen memang harus bersifat rahasia. Namun, ketika akan dijadikan sebagai sumber pembuatan kebijakan publik, informasi itu menjadi barang publik (public goods) yang harus dipertanggungjawabkan. 

Sama seperti keberhasilan Israel menggunakan intelijen sebagai alat diplomasi. Informasi-informasi intelijen yang didapatkan haruslah dapat dipertanggungjawabkan agar tidak menjadi alat gertak tak bertaring.

Pengawasan Intelijen

Sri Yanuarti dalam tulisannya Dinamika Pengawasan Intelijen di Indonesia menegaskan pengawasan intelijen, khususnya negara yang mengalami transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi seperti Indonesia merupakan suatu keharusan.

Model pengawasannya terbagi dua, pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan internal terkait harus adanya undang-undang yang jelas mendefinisikan peran dan lingkup intelijen. Jika tidak demikian, ini akan menciptakan garis akuntabilitas yang kabur dan risiko penyalahgunaan kewenangan oleh institusi-institusi intelijen.

Sementara pengawasan eksternal meliputi pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Pihak eksekutif memberikan penugasan dan pembuatan prioritas kerja-kerja intelijen yang dilakukan badan-badan intelijen.

Pihak legislatif atau parlemen memberikan legitimasi dan akuntabilitas demokratik agar organisasi intelijen melayani negara secara keseluruhan dan melindungi konstitusi. Sementara, pengawasan masyarakat meliputi kontrol informasi oleh publik agar praktik-praktik intelijen bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan menguntungkan partai politik atau kelompok tertentu. 

Sebagai penutup, mengutip Indria Samego, apabila aktivitas intelijen disempitkan pada peran menjaga keamanan semata, maka akuntabilitas dan keterbukaan khas demokrasi telah membuat intelijen kehilangan kredonya sebagai aktivitas senyap dan rahasia.

Namun, apabila aktivitas intelijen juga diperuntukkan sebagai alat diplomasi dan pembuat kebijakan publik, intelijen dapat bergandengan tangan dengan demokrasi. Oleh karenanya, peran BIN sebagai koordinator badan-badan intelijen harus diperjelas dan diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih operasi intelijen dan memudahkan pengawasan. (R53)

Exit mobile version