Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) jadi bahan perbincangan publik setelah mengatakan aura Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpindah ke Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo. Lantas, bagaimana ini akan mempengaruhi perjalanan politik Prabowo di 2024 nanti?
“There comes a time when one must take a position that is neither safe, nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right,” – Martin Luther King Jr.
Kalau kalian gemar menonton pertandingan olahraga, pastinya kalian memiliki satu tim atau satu atlet yang dijagokan untuk memenangkan kompetisi. Dan terkadang, karena saking inginnya kalian melihat tim atau atlet itu menang, kalian tanpa sadar membuat pernyataan-pernyataan yang cenderung bias kepada mereka.
“Pokoknya tim gue yang paling jago!”. Mungkin kalimat seperti ini yang kalian sering katakan. Dan jujur, hal ini sebenarnya wajar-wajar saja karena toh mereka memang jagoan kalian.
Nah, di dalam politik, hal demikian juga kerap terjadi saat kita sedang dalam masa pemilihan umum (pemilu). Di 2024 nanti, kalian berhak ikut menyuarakan dukungan pada kandidat presiden yang bertanding, dan bahkan mengajak kerabat kalian untuk mendukung orang yang sama.
Yang jadi masalah adalah kalau kalian melakukan hal serupa tapi kalian terlibat dan diidentikkan sebagai tokoh penting dalam salah satu instansi pemerintah.
Yap, belakangan ini publik ramai membincangkan pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan (BG), yang menyebutkan bahwa Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto “tertular” aura Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski tidak secara gamblang menyebutkan bahwa pernyataan tersebut adalah dukungan pada Prabowo, selaku salah satu bakal calon presiden (bacapres) yang paling sering diperbincangkan, publik langsung berkesimpulan bahwa ini adalah indikator Prabowo telah mendapatkan restu sekaligus dukungan dari BIN, dan mungkin kubu petahana secara luasnya.
Sejumlah pengamat sudah mengeluarkan pendapat mereka bahwa apa yang dilakukan berpotensi mencoreng kredibilitas BIN. Pakar Hukum Tata Negara, Herlambang P. Wiratraman, misalnya, menilai semestinya BIN sebagai lembaga pemerintahan harusnya punya pembatas yang mampu menghindarkan mereka terlihat terlibat dalam pusaran politik praktis.
Apa yang dilakukan BG, menurutnya, cenderung berdampak buruk pada kredibilitas BIN sebagai lembaga intelijen negara yang seharusnya netral secara politik.
Namun, dari sekian diskursus tentang BG yang muncul, tidak banyak yang mencoba menakar bagaimana dampak pernyataan Kepala BIN tersebut pada Prabowo. Lantas, apakah gagasan “dukungan BIN” akan berdampak positif pada Prabowo, atau justru sebaliknya?
BIN Jadi ‘Benalu’ Prabowo?
Banyak yang melihat apa yang dikatakan BG selaku orang nomor satu dalam dunia intelijen Indonesia merupakan bukti bahwa Prabowo sudah dapat backingan yang kuat untuk memenangkan kompetisi pemilihan presiden (pilpres) nanti.
Namun, kalaupun ternyata itu memang benar, maka sepertinya itu justru akan berdampak negatif pada karier politik Prabowo.
Khairul Fahmi, pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menilai bahwa dampak dari munculnya persepsi publik tentang BIN yang secara terbuka “cawe-cawe” dalam urusan politik adalah berpotensi akan membuat prestasi politik Prabowo diremehkan oleh publik. Contohnya, kalau di 2024 nanti Prabowo menang, maka orang cenderung akan mengatribusikan kemenangan tersebut pada “jasa” BIN, bukan pada Prabowo.
Pencapaian terbesar Prabowo dalam pesta demokrasi Indonesia pada akhirnya hanya akan dilihat sebagai sesuatu yang artifisial, karena sudah didesain oleh lembaga intelijen negara. Apresiasi publik pun hampir bisa dipastikan akan sangat minim karena mereka akan memandang bahwa kemenangan Prabowo adalah hal yang lumrah karena dibantu oleh BIN, padahal bisa saja BIN sebenarnya tidak membantu memenangkan Prabowo.
Sentimen yang meremehkan seperti itu juga berpotensi akan semakin parah dampak negatifnya bila ternyata di 2024 nanti Prabowo kalah oleh capres lain. Kalau Prabowo kalah, publik akan sangat bertanya-tanya kenapa dirinya masih kalah, padahal Prabowo sudah terindikasi mendapatkan dukungan dan bantuan dari BIN.
Pandangan itu kemudian juga bisa terakumulasi menjadi bentuk ketidakpercayaan yang begitu tinggi pada BIN sebagai lembaga intelijen. Bisa saja publik akan melihat BIN sebagai sebuah lembaga yang “tidak sakti” lagi karena gagal memenangkan Prabowo. Kalau sudah demikian, maka kredibilitas BIN akan sangat buruk di mata masyarakat. Bagi Prabowo, jelas ini juga akan jadi hal yang akan sangat merusak karier politiknya.
Fenomena tersebut akan sangat mungkin terjadi karena pada dasarnya manusia memiliki kebiasaan mengatribusikan suatu kesuksesan atau kegagalan seseorang pada faktor-faktor yang dianggap paling berpengaruh di sekitarnya. Kebiasaan ini di dalam dunia psikologi disebut sebagai fundamental attribution error, atau kesalahan atribusi mendasar.
Patrick Malone dan Daniel Gilbert dalam tulisan mereka The Correspondence Bias, menyebutkan bahwa fenomena psikologi ini dapat terjadi karena hal pertama yang terlintas di pikiran manusia ketika melihat sebuah berita besar, seperti kemenangan pemilu misalnya, adalah mencari rasa aman psikologis. Agar manusia bisa merasa aman atau tahu alasan kenapa berita besar itu dapat terjadi, mereka biasanya mencocokkan variabel-variabel di sekitarnya yang kira-kira punya pengaruh paling besar.
Nah, dalam konteks pernyataan BG sebagai kepala BIN kepada Prabowo, ketika misalnya Prabowo menang nanti, tidak heran bila top of mind atau anggapan pertama yang muncul di benak banyak orang adalah peran BIN. Hal ini karena BIN sudah terlebih dahulu dipandang publik sebagai instansi yang memiliki kekuatan untuk merekayasa sebuah peristiwa politik, yang kemudian ditambah anggapan umum bahwa badan intelijen memang kerap terlibat dalam pemilu sebuah negara.
Pernyataan BG yang disinyalir publik sebagai dukungan pada Prabowo mampu menjadi semacam konfirmasi bahwa BIN memang akan mendukung Prabowo. Ketika digabungkan dengan faktor penyebab fundamental attribution error tadi, lengkaplah alur kesalahan atribusi yang akan terjadi di 2024 terhadap Prabowo.
Di satu sisi, dengan pernyataan BG ini, bisa dikatakan perjuangan politik Prabowo di Pemilu 2024 secara tidak sengaja telah ‘tersabotase’.
Lantas, bagaimana caranya BIN mencegah munculnya perspektif publik seperti ini?
Mutlak, BIN Harus Klarifikasi?
Pernyataan seorang pejabat tinggi negara memiliki dampak yang luar biasa. Satu orang petinggi instansi mungkin hanya mengeluarkan sepatah kalimat saja pada media, akan tapi interpretasi yang muncul setelahnya bisa sangat beragam dan tidak jarang tertanam begitu lama di benak masyarakat.
Kembali mengutip Khairul Fahmi, semua orang harus menyadari bahwa pernyataan BG tentang Prabowo menyimpan dampak yang begitu besar karena seorang Kepala BIN secara dasarnya memang memiliki kapasitas untuk melakukan upaya propaganda, penggalangan, hingga pembentukan persepsi maupun kontra intelijen.
Ditambah dengan respons negatif dari beberapa politisi, yang salah satunya adalah dari Partai Demokrat, BG akan dilihat gagal menghilangkan kesan dan keterkaitan pernyataannya dengan kepentingan politik tertentu. Dengan kapasitasnya sebagai orang tertinggi di BIN, ini berpotensi menjadi sinyal yang sangat tidak baik untuk kalangan sipil biasa atau kalangan elite di Indonesia.
Oleh karena itu, persis seperti apa yang dikatakan Martin Luther King Jr., dalam bagian pembuka tulisan ini, sebelum pernyataan BG semakin membuat keresahan lebih lanjut, ada baiknya mantan Wakil Kepala Kepolisian (Wakapolri) tersebut mengundang para media dan berusaha mengelaborasi apa yang sebenarnya dimaksud dengan “aura Jokowi pindah ke Prabowo”.
Elaborasi tersebut pun tidak perlu berupa permintaan maaf, bisa hanya sebagai klarifikasi saja, atau bahkan justru berkelakar bahwa itu sekadar bahan bercandaan belaka. Intinya, BG harus bisa menyadari bahwa apa yang dikatakannya adalah hal yang sangat abstrak dan rawan multi-interpretasi, dan ia pun perlu merasa bertanggung jawab.
Pada akhirnya, keinginan BG untuk memberikan klarifikasi atau tidak akan menjadi momentum puncak bagi instansi negara sepenting BIN untuk membuktikan bahwa mereka adalah badan yang netral secara politik.
Di waktu-waktu sebelumnya publik sudah dibuat was-was dengan adanya wacana tiga periode Jokowi, jangan sampai dengan adanya polemik aura Jokowi ini publik semakin dibuat merasa curiga pada pemerintah. (D74)