Badan Intelijen Negara (BIN) kembali menuai sorotan akibat tes swab yang diadakan lembaga telik sandi itu diduga tak akurat. Lantas, apakah ini merupakan momentum yang tepat bagi BIN untuk kembali ke habitat “tak terlihatnya” atau justru yang dibutuhkan adalah intervensi konstruktif dari kepala negara sebagai klien tunggal?
Dunia intelijen selalu menarik perhatian karena karakteristik misterius dan pekerjaan terhormatnya. Akan tetapi pada sisi berbeda, film aksi mata-mata garapan Matthew Vaughn berjudul Kingsman: The Secret Service, menyiratkan bahwa realitanya eksistensi sebuah entitas intelijen tak selalu lepas dari pengaruh minor politik dan birokrasi.
Hal ini dikatakan sosok Harry Hart yang menyebut bahwa Kingsman merupakan entitas intelijen independen yang beroperasi pada tingkat kebijaksanaan tertinggi, tanpa intervensi politik dan birokrasi yang merusak reputasi, kecerdasan, dan profesionalitas organisasi mata-mata yang selama ini dikelola pemerintah.
Konteks mengenai reputasi sebuah entitas intelijen sendiri tampaknya sedang menghantui Badan Intelijen Negara (BIN) yang sedang diterpa tudingan kurang positif.
Itu setelah tes swab atau usap massal yang memang telah jamak dilakukan BIN selama ini, kali ini diduga membuahkan hasil tes yang tak akurat. Ketidakakuratan tes yang dilakukan di Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan dua stasiun televisi swasta menjadi pangkal polemik yang diungkap Tempo pada pekan lalu.
Sontak Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN, Wawan Purwanto sepekan terakhir cukup sibuk tampil di berbagai media untuk mengklarifikasi persoalan tersebut.
Dirinya menjelaskan bahwa secara teknis ketidakakuratan tersebut memang berpotensi muncul dan tak dapat dihindari, seperti yang telah terjadi di sejumlah negara mulai dari Amerika Serikat (AS), Tiongkok, hingga Swedia.
Selain karena substansi polemik yang dinilai memiliki konsekuensi yang cukup mengkhawatirkan, satu hal menarik lainnya adalah di antara klarifikasi tersebut, Wawan kerap mengendorse semacam satuan tugas (satgas) bertajuk medical intelligence yang selama ini eksis di balik upaya keras lembaga telik sandi dalam membantu penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan keterangan pers, secara gamblang Wawan menyebut terbentuknya satuan tugas (satgas) medical intelligence merupakan arahan langsung dari Kepala BIN, Budi Gunawan.
Meski di satu sisi dinilai BIN memang harus diapresiasi atas berbagai upayanya sejauh ini, sentimen minor nyatanya tak lantas hilang begitu saja. Utamanya mengenai substansi spesifik seperti satgas medical intelligence yang sesungguhnya diharapkan banyak pihak akan jauh lebih baik untuk bergerak dalam senyap dan efektif.
Terlebih setelah polemik tes usap yang tak akurat menambah variabel keraguan pada agen rahasia nasional ini dalam keterlibatan penanganan Covid-19 sebelumnya, seperti prediksi puncak pandemi hingga pembuatan obat Covid-19 yang masih menyisakan tanda tanya.
Lantas, dengan inherensi kemungkinan cela dalam implementasi keterlibatannya yang dinilai tentu sudah dikalkulasi sebelumnya, mengapa sejak awal BIN memutuskan terlibat atau berkenan dilibatkan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia secara terang-terangan?
Kurangnya Kendali “Asli” Jokowi?
Tak dapat dipungkiri, diskursus mengenai keterlibatan yang dinilai di luar kelaziman dari sebuah agen rahasia dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia tak terlepas dari “inovasi” Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal Maret lalu.
Sebuah tulisan di Majalah Tempo daring edisi 26 September lalu yang berjudul Badan Intelijen Segala Urusan mengatakan bahwa kala itu merupakan pangkal dari peran BIN dalam penanganan pandemi yang justru kini dianggap berpotensi melanggar mandat sesuai peraturan perundang-undangan serta menimbulkan kebingungan dan kesimpangsiuran.
Jika selama ini BIN menganggap perannya dalam penanganan Covid-19 di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, tulisan dalam editorial tersebut justru menganggap sebaliknya.
Keterlibatan BIN dalam melakukan tes PCR massal, bagi-bagi masker, serta mendorong riset vaksin dan obat dalam tulisan tersebut dikatakan jauh dari rambu yang dimandatkan regulasi.
Analisa senada juga pernah disampaikan Tangguh Chairil dalam tulisannya di The Diplomat yang berjudul Indonesia’s Intelligence Service is Coming Out to Counter COVID-19, yang mana di balik apa yang disebut sebagai perluasan peran di luar apa yang seharusnya dilakukan oleh agen rahasia, Ia menduga ada kemungkinan sebuah implikasi kompleks dari peran sang Kepala BIN, Budi Gunawan atau BG.
Chairil melandasi argumennya dari kemunculan BG di konsolidasi antara Jokowi dan Prabowo pasca Pilpres 2019 lalu. Momentum itu dinilainya membuka probabilitas BG dalam membawa BIN untuk mengambil peran yang lebih besar dalam politik Indonesia secara umum, dan respons terhadap pandemi pada khususnya.
Korelasi antara entitas intelijen negara dan politik memang memiliki ruang tersendiri, seperti apa yang dikemukakan oleh Michael Handel dalam The Politics of Intelligence, Intelligence and National Security.
Handel menyebutkan keterkaitan frasa politik dalam dimensi intelijen yang ke dalam empat pengertian. Sayangnya, tiga di antaranya yakni, politics as interest, politics as bargaining process, dan politicization of the intelligence process memiliki konotasi yang kurang positif.
Politics as interest sendiri berangkat dari realita keterbatasan sumber daya yang membuat para aktor berusaha memaksimalkan kekuatannya sendiri dalam hal-hal seperti anggaran, personel, dan misi.
Sementara politics as bargaining process berlandaskan dari posibilitas tawar menawar yang dianggap kurang dari ideal dari sudut pandang profesionalitas intelijen karena hal itu mencerminkan kompromi politik dibandingkan keputusan rasional terbaik.
Terakhir, politicization of the intelligence process menjelaskan campur tangan dalam proses intelijen oleh para pemimpin maupun aktor lainnya. Intervensi semacam itu kemudian mendistorsi pertimbangan, perkiraan, prosedur analitis, dan penyebaran produk intelijen yang “murni profesional” dalam upaya untuk membuahkan hasil yang diinginkan.
Pada konteks BIN sendiri, publik dinilai telah memahami secara objektif bagaimana relasi antara BG, Presiden Jokowi, plus Megawati Soekarnoputri serta bagaimana pengaruhnya satu sama lain.
Dan jika mengacu pada tiga poin yang telah dikemukakan Handel sebelumnya, dikhawatirkan apa yang menjadi keputusan Jokowi dalam pelibatan BIN plus manuvernya sejauh ini dalam penanganan pandemi merupakan muara dari korelasi politik dan intelijen yang ada di antara ketiga aktor tersebut.
Namun demikian, tendensi politis atas peran BIN yang turut berdampak pada kinerja entitas intelijen itu dalam penanganan pandemi tentunya belum tentu benar adanya.
Yang pasti, penyesuaian tupoksi dan kejelasan koridor BIN atas keterlibatannya dalam penanganan pandemi Covid-19 dinilai memang harus diperjelas. Mengapa demikian?
Medical Intelligence Jadi Pertaruhan?
Arahan langsung orang nomor satu BIN yang menginisiasi satgas medical intelligence pada April lalu tampaknya merupakan salah satu usaha memperjelas relevansi BIN dalam penanganan Covid-19 yang sayangnya dinilai terlalu jamak diumbar ke publik.
Dalam sebuah tulisan di International Institute for Middle East and Balkan Studies (IFIMES) yang berjudul Security-Intelligence Activities at the Time of Covid-19 Pandemic, Konsep medical intelligence memang bukanlah hal baru karena AS pun telah memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI) yang merupakan komponen dari badan intelijen pemerintah federal, Defense Intelligence Agency (DIA).
Akan tetapi jika dikomparasikan, komprehensivitas payung hukum serta struktur antara NCMI dan medical intelligence milik BIN dinilai jauh berbeda. Cakupan mendasar yakni peran dan kewenangan entitas intelijen AS di level nasional, internasional, presidensial, hingga kabinet memiliki koridor yang jelas.
Entitas intel seperti FBI, CIA, DIA, intelijen militer, hingga intelijen geospasial sendiri memiliki tupoksi spesifiknya masing-masing di bawah payung United States Intelligence Community (IC), termasuk bagaimana koordinasinya dengan lembaga pemerintahan lain.
Oleh karenanya, Ken Dilanian dalam Spying on Coronavirus: A Little-Known U.S. Intel Outfit Has Its Most Important Mission Yet menyebut bahwa prinsip kerahasiaan, klandestin, dan profesionalitas tinggi membuat penafsiran adanya intervensi yang bersifat politis atas kinerja NCMI dalam penanganan pandemi di AS dapat dikatakan nihil.
Hal itulah yang tentu dapat menjadi refleksi pengorganisasian entitas intelijen oleh para pemangku kebijakan. Sementara refleksi konkret membutuhkan waktu, langkah awal BIN membentuk satgas medical intelligence memang tak lantas tak dapat diapresiasi.
Terlepas dari kinerja satgas di bawah naungan BIN yang masih diragukan oleh sejumlah pihak, paling tidak eksistensi satuan tersebut dapat menjadi embrio komprehensivitas tantangan intelijen di masa mendatang yang jauh lebih profesional dan sesuai marwahnya.
Pada tahap ini, peran secara langsung Presiden Jokowi pun dinilai menjadi sangat penting dan diharapkan tak hanya sebagai klien tunggal, tetapi juga aktif memberikan garis koridor yang jelas serta terstruktur dengan baik, atas mandatnya pada BIN dalam penanganan Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.