Pernyataan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait 41 masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar paham radikalisme, tentu saja mengejutkan. Namun, dalam konteks kontestasi politik Pilpres 2019, banyak yang menilai ada batasan yang sangat tipis antara perang melawan radikalisme dengan perlawanan terhadap gerakan ganti presiden. Nyatanya, radikalisme telah mengalami pergeseran makna yang cukup jauh, dan belakangan cenderung linear dengan gerakan oposisi pemerintah. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution.”
:: Hannah Arendt (1906-1975), filsuf ::
[dropcap]B[/dropcap]IN beberapa hari lalu mengeluarkan pernyataan yang cukup menghebohkan. Lembaga yang dipimpin oleh Budi Gunawan (BG) itu menyebutkan bahwa ada sekitar 41 dari 100 masjid yang berada di lingkungan pemerintah, terpapar paham radikalisme.
Masjid-masjid itu berada di lingkungan kementerian, lembaga negara dan BUMN. Lembaga intelijen itu juga menyebutkan bahwa ada sekitar 50 penceramah yang berperan dalam penyebaran paham radikal tersebut.
Isu radikalisme pada titik ini memang terlihat sebagai “serangan” politik kepada oposisi, sama seperti isu komunisme yang digunakan untuk menyerang koalisi Jokowi. Share on XSontak, pernyataan tersebut mendatangkan tanggapan dari berbagai pihak. Dewan Masjid Indonesia (DMI) membantah hal tersebut. Wakil Ketua Umum DMI, Syafruddin menyebut masjid itu tempat suci, sehingga tidak mungkin bernuansa negatif.
Sementara, kubu oposisi pemerintah menganggap pernyataan BIN yang diungkapkan ke hadapan publik tersebut tidak pada tempatnya. Duo Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon dan Fahri Hamzah sama-sama menyebut pernyataan yang dikeluarkan BIN tersebut tidak seharusnya dipublikasikan.
Fadli misalnya, menilai kerja intelijen harusnya silent atau dalam diam. Selain itu, ia juga menyebutkan belum ada batasan yang jelas tentang radikalisme itu seperti apa dan kriterianya serta ajaran-ajarannya seperti apa.
Senada dengan Fadli, Fahri juga menyebut seharusnya temuan BIN itu langsung dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukannya dipublikasikan ke masyarakat. Menurut Fahri, BIN adalah single user dan menjadi penunjang keamanan negara, sehingga laporannya langsung kepada presiden.
Tanggapan “duo F” itu tentu saja menarik. Mengapa BIN harus mempublikasikan informasi tersebut ke publik? Apakah ini adalah bagian dari strategi besar – yang menurut cuap-cuap di media sosial – untuk menekan kelompok yang selama ini menyerukan “ganti presiden”?
Radikalisme, Sama dengan Ganti Presiden?
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul pasca penyataan BIN tentang masjid-masjid yang terpapar radikalisme itu – misalnya tentang relasinya dengan gerakan ganti presiden – memang wajar muncul. Namun, untuk sampai pada titik jawaban-jawabannya, tentu saja perlu ada pemahaman yang komprehensif tentang apa itu sebenarnya radikalisme.
Dalam konteks politik, Encyclopedia Britannica mengartikan paham ini sebagai gerakan yang ingin mengubah tatanan sosial masyarakat secara ekstrem. Karena berasal dari kata bahasa Latin “radix” yang artinya “akar”, maka radikalisme memang mencita-citakan sebuah perubahan yang fundamental dan mengakar dalam masyarakat, termasuk dalam konteks tatanan nilai-nilainya.
Jika hal itu berhubungan dengan entitas negara, maka radikalisme memang berhubungan dengan mengganti konteks fundamental negara itu sendiri, misalnya sistem negara, dasar negara, bentuk negara, dan lain sebagainya.
Namun, konteks kata radikalisme yang punya pertalian panjang sejak diperkenalkan pertama kali oleh Charles James Fox pada tahun 1797, mengalami pergeseran makna beberapa dekade terakhir.
Clark McCauley dan Sophia Moskalenko dalam tulisannya untuk American Psychological Association menyebutkan bahwa tragedi 11 September 2001 atau 9/11 adalah awal ketika kata radikalisasi diasosiasikan dengan kelompok terorisme.
Menurut keduanya, saat itu aparat kemananan Amerika Serikat (AS) kesulitan untuk melihat penyebab mengapa gerakan-gerakan terorisme dapat terjadi. Maka, kata radikalisasi dan radikalisme kemudian mendapatkan pemaknaan baru dan diidentikan dengan kelompok teroris tersebut.
Sementara, Rositsa Dzhekova dan rekan-rekannya dari Center for The Study of Democracy dalam tulisan berjudul Understanding Radicalisation menyebutkan bahwa sekalipun memiliki perubahan makna, radikalisasi tetap dipahami dalam sebuah kerangka proses mengembangkan ideologi ekstrem.
Yang jelas, konstruksi yang terjadi pasca 9/11 memang pada akhirnya membuat radikalisme dimaknai secara sempit sebagai gerakan teorisme yang terjadi karena faktor identitas – dalam hal ini agama – walaupun paham ini tidak hanya berbasis pada agama khususnya Islam saja, namun juga pada agama-agama lain dan identitas sosial lainnya.
Kemudian, jika hal tersebut dikaitkan dengan pernyataan BIN tentang masjid-masjid yang terpapar radikalisme, maka konteks tersebut mungkin berhubungan dengan radikalisasi Islam itu sendiri.
Angel Rabasa, Stacie L. Pettyjohn, Jeremy J. Ghez dan Christopher Boucek dalam risetnya untuk RAND Corporation – sebuah think tank nirlaba asal AS – menyebutkan bahwa radikalisasi Islam melibatkan keyakinan bahwa untuk kembali mendirikan negara Islam atau kekhilafahan, umat muslim tidak hanya berpegang pada interpretasi ultrakonservatisme – paham konservatisme paling ekstrem – semata, tetapi juga ikut dalam jihad yang dimaknai sebagai perlawanan bersenjata terhadap musuh-musuh Islam.
Artinya konteks radikalisasi yang terjadi sudah sampai pada ajakan untuk berjihad.
Sementara Omar Ashour dalam tulisannya untuk The International Center for The Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR) menyebutkan bahwa proses tersebut juga diindikasikan oleh penolakan terhadap nilai-nilai demokrasi – yang menjunjung pilihan-pilihan alternatif dan pluralisme dalam politik – dan melibatkan peningkatan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dengan demikian, jika BIN menggunakan kerangka pemikiran radikalisme seperti yang dijelaskan tersebut, maka setidaknya ada beberapa variabel yang bisa dijadikan patokan penilaian. Di antaranya adalah konteks wacana jihad untuk negara Islam dan penolakan nilai atau sistem yang fundamental seperti ideologi negara – yang bisa berujung katakanlah pada aksi-aksi terorisme atau kekerasan bersenjata – dan proses penolakan terhadap ide-ide demokrasi.
Pertanyaannya adalah apakah saat ini indikator-indikator tersebut telah terpenuhi?
Memang hal ini masih cukup sulit untuk dinilai. Saat ini kekhawatiran yang muncul memang beralasan, katakanlah jika melihat konteks perjuangan ormas seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang ingin menegakkan panji negara Islam, atau aksi-aksi teror bom yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu.
Terkait HTI, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai misalnya, pernah mengatakan bahwa ormas tersebut punya andil dalam radikalisme karena menyebarkan kebenaran yang diyakini oleh kelompoknya saja. “Kebenaran yang tertutup” itu saja, menurut Mbai, sudah menjadi salah satu variabel radikalisme karena menolak alternatif.
Menurutnya, hal ini berbahaya karena radikalisme adalah “ibu” dari terorisme. Konteks perjuangan mengubah radix atau hal-hal yang mendasar dari sistem bernegara – misalnya tentang ideologi Pancasila – pun pada akhirnya membuat HTI dianggap linear dengan radikalisme. Maka, istilah macam “ganti sistem” yang pernah disuarakan oleh petinggi HTI beberapa waktu terakhir, bisa jadi adalah wujud dari suara perubahan mendasar tersebut.
Lalu, apakah itu berarti pernyataan BIN secara spesifik menyinggung HTI yang walaupun sudah diumumkan “bubar” oleh Menkopolhukam, Wiranto, namun hingga kini belum jelas kelanjutannya?
Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, pasca diumumkan bubar oleh pemerintahan Jokowi, garis perjuangan ormas itu kemudian cenderung linear dengan kelompok oposisi yang menjadi lawan politik Jokowi. Gerakan #2019GantiPresiden misalnya, sempat dituduh “ditunggangi” oleh HTI.
Konteks tersebut kemudian membuat gerakan perjuangan HTI dan kelompok-kelompok sejenis menjadi sejalan dengan gerakan ganti presiden yang diusung oposisi. Konteks “ganti presiden” kemudian menjadi wahana politik baru yang – jika menggunakan pandangan bahwa gerakan HTI adalah radikal – menjadi asosiasi radikalisasi itu sendiri.
Asumsi tersebut tentu saja berbahaya. Namun jika benar, maka boleh jadi membuat perang terhadap radikalisme tidak lebih dari perang terhadap lawan politik pemerintah. Jika jalan pemikiran itu yang digunakan, maka sangat mungkin banyak orang yang kemudian melihat aksi BIN “memerangi radikalisme” tidak lebih dari aksi politis “menekan oposisi”. Tentu pertanyaannya adalah apakah benar demikian?
BIN dan Dimensi Politik Radikalisme
Konteks politik nasional yang penuh nuansa identitas belakangan ini, memang membuat membran atau selaput batasan antara kelompok yang disebut radikal dengan kelompok yang disebut oposisi pemerintah, menjadi sangat tipis.
Hal ini bisa terjadi karena dalam konteks masyarakat yang terpolarisasi – apalagi pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 – gerakan ultrakonservatisme cenderung berada di sisi yang sama dengan oposisi.
Kelompok yang ultrakonservatif seperti HTI dan yang sejenisnya yang mendapatkan represi lewat Undang-Undang Ormas, melihat gerakan politik yang berseberangan dengan pemerintah – sekalipun dalam platform yang berbeda – adalah kawan seperjuangan menghadapi musuh bersama atau common enemies.
Pada titik ini, kubu Prabowo Subianto sebagai oposisi kemudian secara tidak langsung menjadi identik dengan gerakan ultrakonservatif tersebut. Memang butuh studi khusus yang lebih spesifik untuk mendalami relasi kedua aliran tersebut, walaupun bisa dipastikan ada simbiosis saling menguntungkan yang terjadi di antara mereka.
Ron Chandler dari University of Florida menyebutkan bahwa konteks common enemies ini punya amplifikasi yang cukup efektif dalam kontestasi politik sekelas Pilpres 2019.
Apalagi, konteks common enemies juga linear dengan intisari politik identitas yang menggunakan logika us vs them – kita melawan mereka. Kita adalah oposisi dan kelompok-kelompok yang anti terhadap kebijakan pemerintah, dan mereka adalah pemerintah dan koalisi partai-partainya. Konteks yang demikian tentu saja berbahaya dan harus diatasi karena dapat menimbulkan perpecahan bangsa.
Publikasi yang dilakukan oleh BIN memang bisa dimaknai sebagai cara lembaga tersebut mendapatkan legitimasi dan dukungan melawan radikalisme. Hal ini juga bisa menjadi jalan BIN untuk menggalang kesadaran di masyarakat.
Namun, hal ini juga bisa saja berdampak politis. Protes Fahri dan Fadli misalnya, jelas menunjukkan bahwa ada kerugian politis yang bisa diderita oposisi dari pernyataan BIN, apalagi jika menggunakan logika us vs them tersebut. Isu radikalisme pada titik ini memang terlihat sebagai “serangan” politik kepada oposisi, sama seperti isu komunisme yang digunakan untuk menyerang koalisi Jokowi.
Pada akhirnya, hanya publiklah yang bisa menilai hal tersebut. Karena, dalam konteks politik yang seperti sekarang ini – mengutip kata Hannah Arendt di awal tulisan – batasan-batasan ideologis dan gerakan politik seringkali menjadi tidak jelas. (S13)