Polemik terkait upaya pembungkaman terhadap TikToker bernama Bima Yudho Saputro alias Awbimax Reborn belum usai. Namun, narasi lain yang mempersoalkan orientasi seksual Bima mulai muncul di media sosial (medsos).
“Try and talk and they ain’t listenin’ but they’ll point it out when you get ignorant” – Dreezy, “Spar” (2017)
Mungkin, sudah menjadi sebuah klise ketika anak yang begitu baik lahir di kondisi sulit – seperti kondisi ekonomi yang kurang hingga keluarga yang kurang mendukung. Klise semacam ini kerap muncul dalam banyak kisah seperti kisah-kisah rakyat semacam Bawang Putih dan Cinderella.
Namun, alur kisah semacam ini sempat muncul kembali dalam sejumlah film populer Indonesia pada awal tahun 2000-an. Salah satunya adalah film populer yang berjudul Joshua Oh Joshua (2001).
Dalam film itu, Jojo dibesarkan oleh ibu tiri bernama Nani. Dalam kehidupan yang serba miskin, Jojo muncul sebagai siswa yang cerdas di sekolahnya tetapi harus pergi mengamen untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Di sisi lain, Nani sebagai seorang ibu tiri kerap meluapkan emosinya kepada Jojo. Nani sendiri adalah seorang ibu-ibu yang selalu marah dan lelah – mengingat tokoh Nani selalu digambarkan menggunakan koyok di banyak kesempatan.
Jojo yang selalu dijadikan korban oleh Nani ini mungkin mirip dengan apa yang dialami oleh banyak kelompok minoritas di berbagai lingkungan sosial. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, kelompok minoritas seperti warga keturunan Meksiko dan Muslim kerap dijadikan kambing hitam atas berbagai persoalan sosial di sana – khususnya pada era Presiden ke-45 AS Donald Trump.
Tidak hanya di AS, kelompok minoritas di Indonesia juga tidak jarang menjadi kambing hitam atas berbagai persoalan. Kini, mungkin, salah satunya terjadi dalam polemik kritik yang dilayangkan oleh TikToker bernama Bima Yudho Saputro alias Awbimax Reborn kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.
Bagaimana tidak? Belum usai persoalan upaya pembungkaman terhadap Bima – bahkan kepada keluarganya, muncul narasi lain yang malah mempersoalkan orientasi seksual Bima.
Diskusi dan perdebatan ini muncul di platform media sosial Twitter melalui cuitan seorang komika bernama Adriano Qalbi (@adrianoqalbi). “Kayanya sih lebih berani ama pemerintah daripada come out ke orang tua,” cuit Adriano pada 16 April 2023 kemarin.
Meski tidak menyebutkan siapa yang dimaksud secara langsung, banyak warganet langsung menangkap bahwa sosok yang dimaksud adalah Bima. Tidak sedikit warganet pun membela Bima dan menganggap cuitan itu malah membahas hal yang tidak bersifat substansial.
Fenomena untuk mengalihkan persoalan dan menyudutkan kelompok lain ini bisa dibilang sering terjadi di berbagai masyarakat. Upaya untuk mencari kambing hitam seakan-akan sudah menjadi sifat alamiah manusia.
Mengapa manusia dalam tekanan – seperti yang dialami oleh Nani dalam Joshua Oh Joshua – memiliki kecenderungan psikologis untuk melemparkan amarah dan kesalahan pada pihak yang lebih lemah? Lantas, mengapa pertanyaan orientasi seksual Bima ini bisa memunculkan konsekuensi lebih lanjut?
Bima dan “Menendang Kucing”
Bagi mereka yang lahir pada tahun 1990-an, bisa dibilang film Joshua Oh Joshua merupakan salah satu film nostalgia bagi geneari milenial akhir. Di tengah menurunnya industri perfilman Indonesia pasca-Reformasi, film bertemakan anak-anak ini – bersama Pertualangan Sherina (2000) – seakan-akan menjadi matahari terbit bagi industri layar lebar.
Film yang berpusat pada anak ceria nan cerdas bernama Joshua (Jojo) ini menceritakan bagaimana sulitnya kondisi ekonomi yang dialami sebagian masyarakat layaknya Nani. Dengan tekanan ekonomi yang begitu besar, Nani tampak selalu marah kepada Jojo.
Padahal, Jojo sendiri diceritakan tidak berbuat salah apapun. Jojo malah menjadi siswa pintar yang berprestasi di sekolah meski harus pergi mencari nafkah dengan mengamen dan menjadi buruh angkat barang di pusat-pusat perbelanjaan.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh karakter Nani ini bisa dibilang merupakan tindakan kicking the cat (menendang kucing). Ungkapan ini menggambarkan bagaimana seseorang justru meluapkan emosinya dengan menendang kucing – hewan yang tidak bersalah – atas kondisi sulit yang dialami orang tersebut.
Selain kicking the cat, terdapat juga sejumlah ungkapan lain yang memiliki makna mirip – kicking the wife (istri) atau kicking the dog (anjing). Intinya, maknanya sama, yakni “menendang” pihak yang lebih lemah atas ketidakmampuan seseorang untuk membalas ketika menerima tekanan atau amarah dari pihak lain.
Dalam psikologi, kicking the cat bisa juga disebut sebagai displaced aggression (agresi yang dipindahkan). Mengacu pada tulisan Amy Marcus-Newhall, William C. Pedersen, Mike Carlson, dan Norman Miller yang berjudul Displaced Aggression Is Alive and Well: A Meta-Analytic Review, terdapat sebuah anekdot yang kerap digunakan dalam menggambarkan displaced aggression.
Salah satunya adalah ketika seorang pria pulang ke rumah usai bekerja pada pagi dan siang hari. Pria tersebut justru menendang anjingnya yang menyambut kepulangannya karena sang pria dimarahi oleh atasannya di tempat kerja.
Karakteristik utama dari displaced aggression adalah ketidakmampuan individu untuk menyerang kembali aktor provokator – yakni pihak yang memberikan tekanan kepada individu. Meski begitu, terdapat sejumlah faktor lain yang turut mempengaruhi displaced aggression.
Dengan mengutip N.E. Miller, Amy Marcus-Newhall dkk dalam tulisannya menyebutkan faktor-faktor tersebut, yakni ketika aktor provokator tidak lagi ada di sekitar, ketika sumber frustrasi tidak berwujud (intangible), dan ketika aktor provokator memiliki kuasa lebih.
Nah, dari tiga faktor tersebut, bila diaplikasikan pada situasi Nani dalam Joshua Oh Joshua, bisa jadi faktor kedua – yakni ketika sumber frustrasi intangible – adalah faktor pemengaruh atas terjadinya displaced aggression-nya terhadap Jojo. Ini karena situasi ekonomi keluarga yang berada dalam tekanan konstan.
Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana displaced aggression juga terjadi pada kasus Bima. Mengapa displaced aggression ini bisa saja berdampak secara lebih lanjut – misal terhadap komunitas LGBT?
Kelompok LGBT Jadi “Kucing”?
Seperti yang diaplikasikan pada karakter Nani di Joshua Oh Joshua, displaced aggression kemungkinan besar turut terjadi pada kasus Bima. Ini terlihat dari bagaimana kritik Bima terhadap Pemprov Lampung berdampak pada kecemasan atas keselamatan orang tua Bima di Lampung.
Pelaporan Bima yang dilakukan oleh advokat bernama Gindha Ansori, misalnya, dapat menjadi jalan buntu dalam proses hukum atas Bima. Pasalnya, Bima kini berada di Australia – bahkan telah bersiap-siap untuk mengajukan visa pencari suaka (protection visa) di negara Kanguru tersebut.
Kondisi ini memenuhi faktor pemengaruh pertama, yakni ketika aktor provokator – dalam hal ini Bima – tidak lagi berada di lingkungan yang sama. Bukan tidak mungkin, displaced aggression yang dilakukan menyasar pada pihak yang lebih rentan, yakni keluarga yang masih berada di dalam batas negara Indonesia seperti orang tua Bima.
Namun, ketiadaan Bima di Indonesia juga membuat pihak lain terancam menjadi “kucing” yang bisa saja ikut “ditendang”. Kelompok ini adalah kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan sebagainya – biasa disingkat sebagai LGBT.
Hal ini bisa dilihat dari cuitan Adriano Qalbi yang malah membahas perihal orientasi seksual Bima. Narasi yang dimunculkan oleh Adriano bisa disebut sebagai ad hominem – upaya untuk mengkritik kondisi personal dalam sebuah debat.
Mengacu pada tulisan Douglas N. Walton berjudul The Ad Hominem Argument as an Informal Fallacy, argumen ad hominem bertujuan untuk menyerang inkonsistensi dari pemilik argumen. Dalam cuitan Adriano, misalnya, inkonsistensi Bima dimunculkan terkait keberaniannya, yakni berani mengkritik pemerintah tetapi tidak berani melela (come out) terkait orientasi seksualnya – meskipun orientasi Bima sendiri tidak bisa dipastikan.
Konsekuensi lanjutan yang kemudian bisa muncul adalah bagaimana diskusi yang ada malah lari ke arah identitas Bima daripada substansi utama dalam polemik kritik ini – memunculkan straw man. Straw man sendiri dapat dipahami sebagai upaya memunculkan topik lain di luar substansi utama tanpa disadari sepenuhnya oleh pihak-pihak yang berpartisipasi.
Dalam sejumlah tanggapan dan balasan (replies) atas cuitan Adriano, misalnya, diskusi justru mengarah ke persoalan tindakan melela dalam komunitas LGBT. Beberapa bahkan lebih mendiskusikan persoalan privilese untuk melela dalam komunitas tersebut.
Mengingat topik LGBT adalah isu yang sensitif, bukan tidak mungkin straw man ini malah berujung pada perdebatan norma dalam kerangka heteronormativitas – yakni norma gender seperti cara berperilaku yang didasarkan pada batasan-batasan heteroseksualitas (laki-laki dan perempuan).
Alhasil, layaknya Jojo dalam Joshua Oh Joshua, komunitas LGBT yang merupakan kelompok rentan bukan tidak mungkin akan menjadi “kucing” yang “ditendang” dalam straw man ini – entah siapa “Nani” sebenarnya dalam kisah ini. (A43)