Site icon PinterPolitik.com

Billy Mambrasar dan Kebisingan Politik

Billy Mambrasar dan Kebisingan Politik

Staf-staf khusus milenial Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: Setkab)

Setelah beberapa waktu menjabat, beberapa Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tergolong dalam kelompok usia milenial telah membuat sebuah gebrakan. Terkait dengan hal itu, setelah mengadakan rapat mengenai program penanaman nilai-nilai Pancasila, Gracia Billy Mambrasar – salah satu stafsus milenial Jokowi – menjadi buah bibir di masyarakat.


PinterPolitik.com

“You fu**ing with my emotions. The f**k is all this noise about?” – Tyler, The Creator, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa jadi ingin menciptakan gebrakan-gebrakan baru dalam bekerja. Beberapa waktu lalu, mantan Wali Kota Solo tersebut mengungkapkan wajah-wajah para Staf Khusus Kepresidenan yang muda dan baru.

Sambil melakukan pengumuman, Jokowi dan sosok-sosok muda tersebut duduk di beanbag-nya masing-masing. Satu per satu figur-figur milenial itu diperkenalkan oleh presiden kepada para awak media.

Beberapa minggu setelah diangkat, para stafsus milenial mulai tampak bekerja. Pemuda dan pemudi tersebut telah melakukan rapat guna membuat inovasi dan program tertentu, khususnya dalam hal penanaman dan pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila.

Mungkin, saking girangnya bekerja, beberapa stafsus milenial ini melakukan update di media sosial. Belva Devara – pendiri dan CEO Ruangguru – misalnya, mendedikasikan progres kerjanya dalam sebuah utasan yang panjang di akun Twitternya.

Selain Belva, Gracia Billy Mambrasar – pendiri Yayasan Kitong Bisa – juga tampak sangat bersemangat. Stafsus milenial yang berasal dari Papua ini turut mencuitkan aktivitasnya.

Mungkin, sebagai stafsus milenial, Belva dan Billy ingin menyampaikan bahwa mereka juga bekerja untuk masyarakat di tengah-tengah polemik fungsi dan gaji stafsus milenial yang terbilang cukup besar. Cuitan mereka bisa jadi penting dengan karakteristik ekspresi diri yang memang banyak ditemukan di generasi milenial.

Namun, ekspresi diri melalui cuitan ini tampaknya kini menimbulkan polemik. Cuitan Billy misalnya, dianggap memecah-belah dengan frase-frase seperti “kubu sebelah”.

Sontak, banyak pihak lain akhirnya mempermasalahkan fungsi stafsus milenial Jokowi. Di Twitter misalnya, dengan adanya narasi yang memecah-belah dalam cuitan Billy, para warganet mempertanyakan para stafsus milenial dan meramaikan tagar #StafsusRasaBuzzeRp.

Merespons hal tersebut, Billy akhirnya meminta maaf atas cuitannya. Beberapa pihak – termasuk Jokowi – juga telah memaklumi tindakan Billy yang dianggap masih anak muda.

Namun, terlepas dari itu, gambaran apa yang terefleksikan oleh fenomena cuitan Billy ini di balik pemerintah? Apa dampak lanjutannnya pada masyarakat?

Salah Ucap?

Apa yang dilakukan Billy melalui cuitan-cuitannya bisa jadi merupakan bentuk komunikasi pemerintah pada publik. Meski begitu, cuitan tersebut bisa saja malah menjadi noise (kebisingan) yang dapat mengganggu komunikasi.

John Velentzas dan Georgia Broni dari Yunani dalam tulisan mereka yang berjudul Communication Cycle menjelaskan bahwa komunikasi dilakukan untuk menyalurkan informasi melalui pertukaran pemikiran, pesan, atau informasi itu sendiri via lisan, visual, sinyal, tulisan, atau perilaku. Dalam siklus komunikasi, terdapat tiga komponen, yakni pengirim pesan, pesan itu sendiri, dan penerima pesan.

Dalam siklus komunikasi, pengirim pesan akan melalukan proses encoding terhadap pesan yang disalurkannya. Di sisi lain, penerima pesan akan melalukan decoding terhadap pesan yang didapatkannya.

Salah satu bentuk hambatan dalam komunikasi adalah noise (kebisingan). Hambatan semacam ini dapat mendistorsi atau memengaruhi makna inti pesan yang disampaikan. Share on X

Cuitan Billy beberapa waktu lalu dapat tergolong dalam komunikasi eksternal – yakni ditujukan pada pihak di luar organisasi atau institusinya. Velentzas dan Broni menjelaskan bahwa komunikasi semacam ini dapat dilakukan melalui berbagai medium, seperti internet dan media sosial.

Namun, dalam siklus komunikasi, tantangan dan hambatan biasanya juga menyertai. Radhika Kapur dari University of Delhi dalam tulisannya yang berjudul Barriers to Effective Communication menjelaskan bahwa hambatan akan selalu mengikuti proses komunikasi, terlepas sebaik apa sistem komunikasi yang dimiliki.

Salah satu bentuk hambatan dalam komunikasi adalah noise (kebisingan). Hambatan semacam ini dapat mendistorsi atau memengaruhi makna inti pesan yang disampaikan. Kebisingan dapat terjadi dalam dua bentuk, yakni kebisingan fisik (physical noise) dan kebisingan psikologis (psychological noise).

Jika kebisingan fisik dapat dihasilkan oleh suara-suara seperti orang-orang lain yang tengah berbicara, musik, mesin kendaraan bermotor, dan lain-lain, kebisingan psikologis lebih dihasilkan oleh pengirim pesan (atau encoder) itu sendiri. Valentzas dan Broni menjelaskan bahwa kebisingan psikologis berasal dari gagasan-gagasan yang didasarkan pada prasangka.

Stereotip, bias, dan asumsi biasanya akan menimbulkan kebisingan komunikasi dalam bentuk psikologis. Akibatnya, perhatian penerima pesan akan teralihkan pada kebisingan ini daripada kepada pesan utamanya.

Kebisingan yang tercipta dari cuitan Billy ini bisa jadi disebabkan oleh adanya kesalahan ucapan – biasa disebut sebagai infelicitous talk. Ian Hutchby dari University of Leicester dalam tulisannya yang berjudul Infelicitous Talk menjelaskan bahwa ucapan-ucapan seperti dapat dipahami sebagai ucapan yang diungkapkan oleh politisi atau pejabat dalam ruang publik (public sphere) yang dianggap salah dan keliru.

Kesalahan ucapan seperti itu biasanya akan dianggap sebagai hal yang problematis bagi publik dan media. Melalu berbagai medium, ucapan itu akan disebarkan dan diinterpretasikan sehingga menimbulkan kontroversi di publik.

Lantas, apa dampak kebisingan ini terhadap dinamika diskursus politik? Bagaimana kebisingan politik terbentuk?

Kebisingan Politik

Dalam politik, kebisingan komunikasi ini juga sering kali terjadi. Bisa jadi, kebisingan politik sebenarnya juga tidak diinginkan oleh masyarakat.

Justin Patch dalam tulisannya yang berjudul The Art of Noise – dengan membandingkan dengan produksi suara yang dibangun dalam musik-musik orkestra – menjelaskan bahwa kebisingan politik terbangun dalam opini publik dari retorika-retorika politik. Sensasi-sensasi politik seperti kebisingan, retorika, dan emosi dapat berdampak pada masyarakat – seperti dengan mengubah persepsi mereka, pemaknaan (reception), hingga hubungan sosial di antara mereka.

Apa yang dijelaskan oleh Patch ini bisa jadi turut menggambarkan kebisingan yang berasal dari kesalahan ucap dalam cuitan Billy. Apalagi, Billy bukanlah satu-satunya pejabat atau politisi yang melakukan infelicitous talk.

Ali Mochtar Ngabalin – Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Presiden – misalnya, dianggap kerap melontarkan pernyataan yang dianggap blunder. Pakar komunikasi Ade Armando pernah menyebutkan bahwa tudingan Ngabalin yang menganggap gerakan #2019GantiPresiden sebagai makar merupakan pernyataan yang dapat merugikan Presiden Jokowi – karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan sipil.

Selain Ngabalin, Kepala Staf Presiden Moeldoko juga dinilai kerap melontarkan pernyataan blunder. Mengenai persoalan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi beberapa bulan lalu di Riau misalnya, Moeldoko malah meminta masyarakat untuk bersabar atas musibah yang terjadi.

Kesalahan-kesalahan ucap oleh pejabat-pejabat pemerintah seperti ini bukan tidak mungkin turut berkontribusi pada kebisingan politik di masyarakat. Mengacu pada penjelasan Patch, retorika-retorika semacam ini juga membangun kebisingan.

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap diskursus politik di masyarakat?

Seperti kebisingan fisik yang sempat disebutkan sebelumnya, kebisingan politik yang terakumulasi bisa saja menumpuk menjadi polusi suara (noise pollution) – istilah yang digunakan untuk menggambarkan dampak buruk kebisingan terhadap kesehatan – di masyarakat.

Boleh jadi, polusi suara yang berasal dari kebisingan politik dapat mengganggu ketenangan masyarakat. Pasalnya, dalam psikologi, kebisingan kerap diasosiasikan dengan kemarahan, ketegangan, kegugupan, dan kegelisahan.

Di sisi lain, polusi semacam ini boleh jadi terjadi karena adanya distorsi fokus masyarakat pada diskursus politik yang ada. Patch dalam tulisannya menjelaskan bahwa, sebesar atau sekecil apapun kebisingan yang ada, kebisingan selalu bertentangan dengan kejelasan (clarity).

Mungkin, seperti yang dijelaskan oleh Edward Antonio Rogers – pendiri konsultan komunikasi BGR Group – dalam tulisan opininya di Washington Post, kebisingan politik merupakan hal yang memang kerap mewarnai demokrasi di masa kini, seperti di Amerika Serikat (AS). Hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah bertahan dan tidak membiarkan kebisingan politik mengaburkan isu dan fokus utama dalam diskursus politik.

Namun, bukan tidak mungkin dampak kebisingan politik ini akan tetap terasa ke depannya. Seperti lirik rapper Tyler, The Creator di awal tulisan, makna dari kebisingan akan membuat emosi masyarakat terbawa, entah disengaja atau tidak disengaja. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version