HomeNalar PolitikBilal, Jokowi dan Negara Penjaga Malam

Bilal, Jokowi dan Negara Penjaga Malam

Kecil Besar

Seorang tukang becak berusia 84 tahun terjangkit Covid-19 dan meninggal di atas becaknya di Yogyakarta. Ia sebatang kara dan tak mampu memenuhi kebutuhan pengobatannya. Sementara pada saat yang sama, kekayaan Elon Musk naik 540 persen sepanjang pandemi. Di Indonesia sendiri, dalam 1 tahun terakhir ada penambahan 65 ribu orang kaya baru dengan kekayaan di atas US$ 1 juta atau lebih.


PinterPolitik.com

“In a country well governed, poverty is something to be ashamed of. In a country badly governed, wealth is something to be ashamed of.”

:: Konfusius, Filsuf Tiongkok ::

Bagi orang-orang yang pernah berwisata ke Yogyakarta dan berkesempatan jalan-jalan di Malioboro atau sekitaran keraton, cerita tentang becak selalu jadi rindu. Ibarat melodi lagu di setiap kayuh seiring lantunan suara Katon Bagaskara: “…pulang ke kotamu…”, becak jadi romansa orang-orang dari ibu kota misalnya, yang penat akan jalanan macet berderu.  

Namun, sepanjang pandemi Covid-19, cerita tentang becak lebih banyak jadi sendu. Karena sepi pelanggan, banyak tukang becak memilih alih profesi ketimbang menunggu. Beberapa bahkan kini menangkap belalang hanya untuk menyambung hidup.  

“Itu (menangkap belalang) satu-satunya jalan. Hanya sekedar (untuk) lauk sendiri. Ada juga dijual. Sedapat mungkin bisa untuk beli sayur,” demikian kata Purwanto, salah seorang tukang becak yang sudah mangkal di sekitaran Taman Pintar sejak tahun 1990. Kini hari-harinya dihabiskan dengan menangkap belalang bersama beberapa rekannya. Memang, hidup sudah lebih dari cukup sulit untuk sekedar ditangisi.

Kisah pilu juga kembali terdengar beberapa hari lalu. Adalah Bilal, seorang pengayuh becak berusia 84 tahun, meninggal dunia dalam diam di atas becaknya yang terparkir di Jalan Magangan Kulon, Patehan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta.

Bilal meninggal sebatang kara dan setelah dilakukan swab test, ia dinyatakan positif Covid-19. Sehari-hari hidupnya dihabiskan di atas becak merahnya itu, mengais rezeki dari geliat pariwisata Yogyakarta. Apa daya, garis tangan berkata lain tentangnya di tahun ini.

Bilal sebetulnya punya seorang putri. Namun, karena masalah keluarga, anaknya tak lagi menengoknya. Sekalipun ia sempat dibantu seadanya oleh warga sekitar ketika sakit, pada akhirnya kisah Bilal yang sudah mengayuh becak selama hampir 50 tahun itu hanya akan jadi penghias lembaran koran-koran berdebu.

Nah, bicara soal koran, beberapa waktu lalu ramai diberitakan bahwa pandemi Covid-19 memang menyumbang peningkatan angka kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebut angka kemiskinan sepanjang pandemi naik 2,7 juta jiwa. Pandemi bukan hanya membuat banyak yang terdampak secara kesehatan saja, namun juga melahirkan semakin banyak sosok-sosok seperti Bilal atau Purwanto.

Menariknya, di lembar-lembar koran lain, pemandangan yang kontras justru terjadi. Lembaga keuangan asal Swiss, Credit Suisse, justru menyebutkan adanya peningkatan jumlah orang kaya hingga 61,69 persen year on year (yoy) sepanjang pandemi. Di tahun 2019, jumlah penduduk Indonesia dengan kekayaan bersih US$ 1 juta (Rp 14 miliar) atau lebih ada di angka 106.215. Jumlah ini naik menjadi 171.740 di tahun 2020.

Baca juga :  Nge-Audit Kerjaan Para Menko Santuy

Fenomena ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Benarkah ini menjadi gambaran bahwa ekonomi yang kapitalistik mencapai puncaknya justru di situasi sulit seperti pandemi ini dan negara pada akhirnya semakin menuju ke titik Nachtwächterstaat alias “negara penjaga malam”?

Tragedi Kemiskinan di Indonesia

Fenomena kontras Bilal dan data peningkatan kekayaan dari Credit Suisse memang menggambarkan bagaimana kapitalisme bekerja maksimal dan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dari perspektif peningkatan jumlah orang kaya misalnya, pandemi Covid-19 menghancurkan pasar – mulai dari saham, properti, dan lain sebagainya. Akibatnya, orang-orang dengan kapital kuat bisa melakukan belanja aset dengan harga murah.

Ketika nilai-nilai aset itu perlahan kembali, total kekayaannya tentu menjadi berlipat ganda. Elon Musk misalnya, kini telah jadi orang terkaya nomor 2 di dunia dengan peningkatan kekayaan mencapai 540 persen sepanjang pandemi.

Terkait hal tersebut, penulis buku How To Win in a Winner Take All World, Neil Irwin dalam salah satu tulisannya di The New York Times, menyebut pandemi menunjukkan bagaimana kapitalisme bekerja secara maksimal menghasilkan keuntungan bagi kelompok tertentu, namun juga pada saat yang sama tidak mampu menjadi jalan keluar persoalan masyarakat.

Pandemi adalah momen ketika maksimalisasi ekonomi bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kemampuan kapital kuat. Sementara orang-orang yang bisnisnya berjalan di titik menengah ke bawah justru yang paling banyak terdampak secara negatif. Tidak heran, pertanyaan-pertanyaan soal moral dalam ekonomi dan politik kemudian kembali jadi pergunjingan utama.

Hal ini wajar terjadi, mengingat di satu sisi ada orang seperti Bilal dan Purwanto yang sangat menderita akibat kondisi ini. Sementara, di sisi lain ada sosok seperti Elon Musk atau 65 ribu orang kaya baru di Indonesia yang “diuntungkan” selama pandemi.

Walaupun demikian, untuk mengatakan bahwa kapitalisme itu tidak bermoral, sesungguhnya agak kurang tepat. Pasalnya, walaupun kapitalisme saat ini punya beberapa perbedaan dengan kapitalisme yang digagaskan Adam Smith, yang jelas Bapak Ekonomi Modern itu adalah seorang filsuf moralis.

Ia memikirkan kapitalisme sebagai jalan pemberdayaan masyarakat agar keluar dari kungkungan kemiskinan. Tujuannya agar masyarakat yang miskin sekalipun, bisa menorobos keluar dari status sosialnya jika mampu berusaha dan diberikan kesempatan untuk berjuang.

Jokowi dan Ancaman Negara Penjaga Malam

Secara keseluruhan, bisa dibilang kondisi kapitalisme yang terjadi saat ini adalah model yang memberikan sektor bisnis dan swasta kebebasan yang besar untuk “mengontrol” masyarakat. Pemerintah bisa dibilang hanya dianggap sebagai semacam “penjaga malam” – meminjam istilah yang pernah digunakan oleh aktivis sosial asal Jerman, Ferdinand Lassalle, disebut sebagai Nachtwächterstaat.

Pemaknaan istilah “penjaga malam” ini memang punya cakupan yang luas karena bisa juga diterapkan dalam konsep relasi negara di dunia internasional. Namun, dari sisi hubungan masyarakat, negara atau pemerintah dan sektor bisnis, kondisi ini bisa dimaknai sebagai hilangnya peran negara terhadap aspek-aspek sosial dan ekonomi masyarakat.

Baca juga :  Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Fenomena ini seharusnya bisa dicegah efeknya lewat pemaksimalan peran pemerintah untuk menjembatani persoalan ketimpangan-ketimpangan yang ada.

Dalam konteks penanganan kesehatan misalnya, sekalipun di Indonesia sudah ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pada pelaksanaannya, akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai – terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini – masih sulit didapatkan oleh banyak pihak. Artinya memang butuh penyempurnaan terus menerus terhadap sistem yang sudah ada.

Jika berkaca dari Inggris, Skotlandia dan Wales misalnya, National Health Service (NHS) menjadi salah satu fokus apresiasi penanganan pandemi di negara-negara tersebut. Masyarakat mereka bisa mengakses layanan kesehatan secara cuma-cuma.

Sekalipun khusus di Inggris, untuk mendapatkan obat orang tetap harus membayar, setidaknya telah ada keringanan biaya akses kesehatan. NHS di Inggris pun masih tetap memberikan layanan obat gratis juga untuk lansia serta mereka-mereka yang mendapatkan jaminan sosial dari negara.

Harus diakui, sistem layanan kesehatan nasional di negara-negara ini telah ada sejak selesai Perang Dunia II. Artinya, telah ada penyempurnaan-penyempurnaan yang terus terjadi.

Dalam konteks Indonesia, hal ini tentu saja akan menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk bisa terus menyempurnakan layanan kesehatan di Indonesia. Tujuannya tentu saja agar kasus Bilal dan yang lainnya tidak terjadi lagi. Hal yang serupa juga bisa dilakukan dalam bidang-bidang yang lainnya juga.

Kemudian, kata kunci dari kasus Kakek Bilal adalah keluarga. Kakek Bilal sebatang kara. Dengan demikian, peran posisi keluarga itu harus dibawa ke level negara. Negara atau pemerintah harus memposisikan diri dalam kerangka nurturing atau pengasuhan – seperti dalam keluarga – terhadap masyarakatnya.

Ini sebetulnya bukan konsep yang asing karena telah menjadi salah satu buah pemikiran ahli lunguistik kognitif Amerika Serikat, George Lakoff dalam bukunya Moral Politics. Ia menegaskan bahwa fungsi pengasuhan harus juga dilakukan oleh negara.

Argumentasi yang sama dalam bahasa yang berbeda juga pernah dituliskan oleh John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government ketika berbicara soal metafora nation as family. Intinya, negara atau pemerintah sudah selayaknya memberikan perhatian yang lebih ke masyarakat dalam konteks relasi masyarakat dan kelompok bisnis.

Pada akhirnya, jika hal-hal tersebut bisa dilakukan, bukan tidak mungkin kondisi pemenuhan kesejahteraan masyarakat bisa terwujud. Yang paling penting, semoga kasus-kasus seperti Kakek Bilal tidak terjadi lagi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

► Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.