Tindakan pencegahan kejahatan yang dilakukan Kepolisian dan menewaskan 15 orang, mendapat sorotan tajam dari aktivis HAM di dalam dan luar negeri.
PinterPolitik.com
“Keadilan utama merupakan moderasi, sebagaimana yang telah diatur secara bijaksana.” ~ Aristoteles
[dropcap]K[/dropcap]egiatan olahraga yang diikuti oleh negara-negara se-Asia atau Asian Games, akan segera digelar pada 18 Agustus hingga 2 September mendatang. Berbagai persiapan telah dilakukan agar dapat menjamu sekitar enam belas ribu partisipan yang terdiri dari sebelas ribu atlet, lima ribu tenaga ofisial, dan diperkirakan lebih dari seratus ribu penonton.
Oleh karena itulah, penting bagi Kapolri Tito Karnavian untuk menjamin keamanan para tamu negara tersebut selama berada di tanah air. Diberitakan, kepolisian bahkan telah menyiapkan sekitar enam puluh ribu personel gabungan Polri dan TNI untuk menjaga keamanan demi terjaminnya kelancaran kegiatan yang akan diadakan.
Berhubung kegiatan olahraga ini dilakukan di tiga provinsi berbeda, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan, maka koordinasi pengamanan di ketiga wilayah ini pun menjadi tantangan tersendiri bagi Kapolri. Terlebih Presiden Jokowi menginstruksikan untuk melakukan langkah antisipatif dalam penanganan area-area rawan keamanan.
Area yang rawan terorisme, kejahatan di jalan (street crime), kemacetan, dan kebakaran hutan, diakui Tito, merupakan prioritas utama perhatiannya. Terutama penanggulangan terorisme dan kejahatan di jalanan seperti pencopetan, penjambretan, begal, dan lainnya yang telah mulai dijalankan melalui Operasi Cipta Kondisi 2018.
Peningkatan pengamanan ini dirasakan perlu, terkait masih adanya ancaman aksi terorisme dari jaringan kelompok radikal di tanah air. Oleh karena itulah, Tito memerintahkan aparatnya untuk menindak tegas siapa pun yang dianggap mampu mengganggu stabilitas keamanan negara, termasuk para penjahat jalanan.
Tindakan tegas yang melegalkan aksi tembak di tempat ini, akhirnya membuat puluhan penjahat tewas di tangan petugas, termasuk tiga pelaku pengeboman di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Walau dianggap efektif dan menimbulkan efek jera, namun tindakan main tembak Polri ini mendapat respon keras dari aktivis HAM di dalam dan luar negeri.
Baik Komnas HAM, Amnesty Internasional Indonesia, dan organisasi HAM lainnya, menuding Kapolri telah melakukan extrajudicial killing atau pembunuhan tanpa persidangan. Bagi mereka, tindakan penembakan seharusnya merupakan upaya preventif dengan tujuan melumpuhkan, bukan membunuh.
Tudingan keras kelompok HAM ini, kemudian menjadi polemik saat Kepolisian maupun Pemerintah yang juga didukung oleh anggota DPR, menyatakan kalau penembakan yang dilakukan oleh aparat merupakan upaya preventif agar menciptakan efek deterensi atau efek jera. Namun, seberapa efektifkah pencegahan kejahatan menggunakan metode ala ‘koboi’ ini?
Upaya Pengamanan Preventif
“Keadilan merupakan kontrak kebijakan, dimaksudkan untuk mencegah seseorang melakukan kejahatan maupun dijahati.” ~ Epicurus
Menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat dari kejahatan dan perilaku kejahatan, seperti yang dikatakan oleh Filsuf Helenistik pendiri mazhad Epicureanisme di atas, juga merupakan tugas utama dari kepolisian. Apalagi sebagai tuan rumah, Pemerintah tentu sangat mengandalkan kepolisian agar acara empat tahun sekali tersebut berjalan aman.
Sebagai pihak penyelenggara, Indonesia tentu akan mendapat sorotan dunia. Sehingga wajah dan harga diri bangsa, akan sangat bergantung dari keberhasilan maupun kegagalan penyelenggaraannya. Dengan demikian, terjaminnya situasi yang kondusif, terutama dari segi keamanan peserta, merupakan unsur yang sangat vital.
Oleh karena itulah, serangan teroris yang belakangan sempat gencar dilakukan kelompok radikal di sejumlah tempat, menjadi salah satu ancaman terbesar yang dapat mengacaukan perhelatan akbar tersebut. Agar tidak ‘kecolongan’, sesuai instruksi Presiden, Kapolri pun menerapkan pendekatan situational crime prevention (pencegahan kejahatan yang bersifat situasional) untuk meminimalisir risiko.
Menurut Ronald V. Clarke, situational crime prevention pada dasarnya lebih menekankan pada bagaimana caranya mengurangi kesempatan pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan waktu tertentu. Menggunakan metode ini, Kepolisian berupaya untuk memahami pikiran rasional pelaku kejahatan.
Clarke menjelaskan, kalau metode ini umumnya diarahkan pada bentuk-bentuk kejahatan yang lebih spesifik seperti terorisme. Meski sifat pencegahan ini umumnya dilakukan hanya untuk jangka pendek, namun terbukti Kepolisian mampu sedikitnya mengamankan 242 terduga pelaku teroris, di mana 21 di antaranya tewas akibat melakukan perlawanan.
Walau aksi Kepolisian yang juga mendapat dukungan penuh dari TNI ini dapat dianggap sebagai sebuah prestasi, di sisi lain juga menjadi catatan buruk dari segi HAM. Akibat cukup banyaknya jumlah korban jiwa yang tewas inilah, organisasi HAM dalam dan luar negeri menuding kalau Kepolisian telah melakukan extrajudicial killing.
Polemik akibat adanya kontroversi terhadap tindakan tegas kepolisian dalam melawan terorisme, diakui David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights, memang menjadi tantangan berat. Menurutnya, dilema terkait perlindungan dan promosi HAM akan terus ditemui dalam berbagai bentuk di seluruh dunia.
Mengacu pada tujuannya yaitu melakukan pencegahan terhadap tindakan terorisme, terang Whittaker, aparat Kepolisian juga dilindungi oleh hukum saat melakukan penyergapan bersenjata. Izin penggunaan senjata ini pun, dari sisi HAM diperbolehkan atas alasan untuk melindungi nyawa manusia, hanya saja dengan batasan tertentu. Nah pertanyaannya, apakah Kapolri telah melewati batasan tersebut?
Dilema HAM dan Efek Jera
“Mari kita ingat kalau keadilan itu harus ditegakkan hingga ke kelompok terbawah sekalipun.” ~ Marcus Tullius Cicero
Filsuf Romawi Kuno ini, namanya besar sebagai seorang ksatria yang terjun ke dunia politik. Meski begitu, pemikiran-pemikirannya tak lepas dari kemampuan akademisnya di bidang hukum. Sebagai Platonis, pernyataan Cicero di atas memperlihatkan kalau ia sangat peduli dengan penegakan keadilan di segala golongan masyarakat.
Diakui filsuf Stoa Romawi tersebut, untuk menegakkan keadilan terkadang harus melalui peperangan yang bisa menyebabkan kematian. Meski sebagai Platonis, Cicero tidak setuju dengan tindakan pembunuhan, tapi bila kematian bersifat patriotisme demi negara, maka kematian itu hanyalah pada tubuh semata, bukan pada jiwanya.
Sebagai seorang patriot, baik TNI maupun Polri pun tentu rela mengorbankan jiwa raganya demi bangsa. Namun bukan berarti mereka tidak boleh membela diri atau melakukan serangan balik, apabila berhadapan dengan penjahat bersenjata. Kalau perlu, tembak mati pun diizinkan Kapolri bila memang melakukan perlawanan.
Kembali seperti yang dikatakan oleh Whittaker sebelumnya, di sinilah persoalan yang kerap menjadi dilema dalam HAM. Kalaupun Kapolri mengatakan bahwa penembakan yang dilakukan untuk mendapatkan efek deterensi atau efek jera bagi penjahat maupun teroris lainnya, namun dari jumlahnya yang mencapai puluhan orang, tentu ditakutkan efek jera tersebut hanya sebagai upaya pembenaran semata.
Meski begitu, ketakutan para aktivis HAM tersebut juga bisa saja dianggap sebagai hal yang berlebihan. Berkaca pada Filipina, India, Bangladesh, Thailand, dan Kamboja yang terbukti melakukan extrajudicial killing dengan jumlah korban ratusan hingga ribuan jiwa. Sebenarnya jumlah terduga teroris yang terbunuh oleh TNI Polri, dapat dikatakan sangat sedikit. Tapi mengapa begitu diributkan?
Apalagi faktanya, dalam peraturan PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme juga dikenal sebagai asas fleksibilitas dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency), PBB mengizinkan negara mengurangi HAM dalam batasan tertentu dan sifatnya hanya sementara, apabila ada ancaman yang nyata.
Terkait izin tersebut, kondisi tanah air yang tengah mengalami ancaman teror serta akan dilangsungkannya kegiatan internasional, sebenarnya dapat dikatakan sebagai keadaan darurat publik. Sehingga jangan sampai hanya atas alasan HAM, TNI-Polri tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan maksimal, sehingga memberi peluang bagi kelompok radikal untuk melaksanakan aksi biadabnya.
Merujuk dari pernyataan Aristoteles di awal tulisan, inti keadilan adalah moderasi yang dilakukan secara bijaksana. Artinya, menembak mati penjahat begitu saja tanpa peradilan, memang tidak bijak. Namun apabila penjahat tersebut dibiarkan hidup, sehingga bisa membunuh aparat serta orang-orang tak berdosa, apakah juga dapat dikatakan bijak? Jadi selama masih mengetahui batasannya, semoga saja Kapolri tak menjadi ‘koboi’ liar. (R24)