Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dikabarkan tengah menjalin kerja sama dengan perusahaan BIGO Technology yang dimiliki oleh YY, Inc. asal Tiongkok. Apa implikasi politik yang dapat timbul dari kerja sama tersebut?
PinterPolitik.com
“Y’all got me under surveillance, huh? All eyes on me, but I’m knowin’” – Tupac Shakur, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Di balik upaya-upaya pembatasan internet oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), terdapat kerja sama yang dikabarkan terjalin bersama BIGO Technology – perusahaan Singapura yang menyediakan berbagai layanan aplikasi daring seperti BIGO Live, Likee, dan Imo.
Meski produk-produknya sebagian besar merupakan layanan media sosial, perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan lain asal Tiongkok – YY, Inc. – ini menjual layanan daring yang berbeda dengan kebanyakan perusahaan media sosial lainnya, yakni jasa untuk membatasi konten-konten yang tersebar di internet. Kabarnya, perusahaan yang produknya sempat diblokir oleh Kominfo kini malah membantu upaya pemblokiran pemerintah.
Teknologi penyaringan konten berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) milik perusahaan tersebut kini digunakan oleh Kominfo untuk mendeteksi, mengawasi, hingga memblokir konten-konten negatif di dunia siber. Konten-konten negatif yang menjadi sasaran AI tersebut merupakan konten yang mengandung pornografi, kekerasan, penipuan, perjudian, hingga informasi-informasi yang berhubungan dengan terorisme.
BIGO Technology – the Singaporean company selling content moderation services, starting with Indonesia. #BIGO’s #AI-powered content moderation system boasts 99 per cent accuracy in identifying illegal content such as pornography & violence https://t.co/AO2kbGJmgI
— Carles Dijous (AAlb) (@carlesdijous) August 27, 2019
Mungkin, seperti perusahaan-perusahaan media sosial yang terus berkembang, layanan pemblokiran, BIGO Technology bisa saja semakin laku di pasaran dengan adanya perkembangan dunia digital. Pertanyaannya, mengapa layanan yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut dapat muncul di pasar? Lalu, apa implikasi politik yang disebabkan oleh jasa yang dijualnya?
Tren Global
Seperti kebanyakan produk yang laku akibat tren, jasa yang disediakan oleh BIGO Technology bisa saja semakin laku dengan tren global saat ini. Pasalnya, banyak negara kini disinyalir memiliki tendensi untuk melakukan pemblokiran terhadap ruang digital.
Jonathan Zittrain bersama kawan-kawan penulisnya dalam suatu tulisan yang berjudul The Shifting Landscape of Global Internet Censorship menjelaskan bahwa pemerintah di berbagai dunia telah menggunakan berbagai taktik guna meregulasi konten-konten di dunia maya – dari strategi legal hingga ekstralegal.
Zittrain menilai bahwa upaya untuk membatasi konten digital berkaitan dengan dinamika politik yang terjadi. Politik dinilai dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan sensor agar dapat memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu, termasuk untuk melemahkan lawan politik.
Selain itu, Zittrain menilai bahwa kebijakan sensor digital juga terjadi akibat ketegangan dan konflik politik. Tren seperti ini dapat dilihat dari kasus ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Arab Saudi dan negara-negara kawannya berupaya untuk memblokir situs-situs yang berasal dari Qatar. Selain Arab Saudi, terdapat juga Mesir yang memblokir 21 situs pada tahun 2017 karena situs-situs tersebut dianggap menyebarkan konten-konten yang berhubungan dengan terorisme dan informasi bohong.
Uniknya, menurut Zittrain, alasan untuk melawan terorisme kerap digunakan sebagai justifikasi oleh negara untuk memperluas kebijakan sensor internetnya. Sering kali, negara menyasar kritik-kritik politis yang dianggap terlalu ofensif dengan memberikan label “berita bohong” atau “hoaks.”
Lalu, bagaimana dengan pemerintah Indonesia?
Pemerintah Indonesia bisa jadi memiliki motif serupa dalam upaya-upaya pembatasan internet yang diberlakukan pada kerusuhan Papua beberapa waktu lalu. Seperti yang telah dijelaskan oleh Zittrain, ketegangan sosial dan politik juga akan mendorong kehadiran kebijakan sensor oleh negara.
Namun, pembatasan internet di Papua tersebut bisa saja menandakan ketidakmampuan pemerintah untuk mengontrol seluruh konten daring yang tersebar di berbagai platform. Pasalnya, tidak semua konten daring berada dalam wilayah yurisdiksinya. Sebagian besar penyedia jasa konten terpusat di perusahaan-perusahaan yang berbasis di luar negeri.
Mungkin, itulah sebabnya konten-konten negatif yang tidak dihapus tepat waktu membuat beberapa negara kerepotan dalam mengatasi dampak-dampaknya. Australia misalnya, kini menerapkan regulasi baru yang berupaya menghukum perusahaan media sosial yang tidak dapat menghapus konten negatif dalam waktu yang dibutuhkan.
Pemerintah belum tentu mampu mengontrol seluruh konten daring yang tersebar di berbagai platform yang terpusat di luar negeri. Share on XSelain Australia, Selandia Baru kini juga tengah berupaya mencari akal untuk menyaring konten digital yang dianggap mengandung kekerasan melalui kerja sama dengan perusahaan teknologi. Negara tersebut merasa perlu untuk membatasi konten daring akibat adanya insiden penembakan Masjid di Christchurch, Selandia Baru.
Seperti Selandia Baru, Indonesia kini mungkin merasa perlu untuk menggandeng BIGO Technology dengan adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki negara dalam upaya pemblokirannya. Kabarnya, teknologi kecerdasan buatan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dapat menyaring berbagai konten yang tersebar di internet, termasuk platform besar seperti Facebook dan Instagram.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bila pemerintah Indonesia merasa perlu untuk menggandeng BIGO Technology, apa implikasi lanjutannya dalam politik?
Politik Pengawasan
Tentunya, dengan penggunaan teknologi milik BIGO Technology, kemungkinan implikasi lainnya pun muncul. Penyaringan konten tersebut bisa saja memunculkan upaya pengawasan terhadap masyarakat, baik oleh pemerintah maupun oleh perusahaan yang digandengnya.
David S. Wall dalam tulisannya yang berjudul Surveillant Internet Technologies and the Growth in Information Capitalism menjelaskan bahwa terdapat dua jenis pengawasan, yakni pengawasan personal dan pengawasan massal. Pengawasan personal dilakukan dengan menyebarkan spyware secara tersembunyi.
Dengan spyware, pemilik sistem dapat mengakses surel, percakapan, transaksi, dan berbagai data lainnya di komputer. Cara ini pernah digunakan di Libya. Berdasarkan laporan milik Reporters Without Borders, melalui spyware yang diciptakan oleh perusahaan Hacking Team dan Gamma, pemerintah-pemerintah di berbagai negara dapat mengawasi jurnalis dan masyarakat umum.
Selain pengawasan personal, Wall juga menyebutkan adanya pengawasan massal – di mana pengawasan dilakukan melalui computer profiling terhadap sebagian besar populasi. Biasanya, pengawasan jenis ini juga dilakukan bersama sistem pihak ketiga.
Wall mencontohkan program rahasia ECHELON milik Amerika Serikat (AS) dan Inggris sebagai upaya pengawasan massal. Melalui program tersebut, negara-negara tersebut dapat mendengarkan berbagai komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat guna mendeteksi ancaman terorisme.
Selain ECHELON yang merupakan hasil kerja sama antarpemerintah, terdapat juga perusahaan Trovicor – berbasis di Jerman – yang dianggap turut menyediakan jasa pengawasan massal. Jasa ini pernah digunakan oleh keluarga kerajaan Bahrain.
Tentunya, penggunaan jasa Trovicor oleh Bahrain tersebut memiliki beberapa dampak politik. Berdasarkan laporan Reporters Without Borders, jasa tersebut membuat kerajaan Bahrain memiliki kemampuan untuk memata-matai media dan menangkapnya.
Lalu, bagaimana dengan BIGO Technology di Indonesia?
Dengan teknologi dari BIGO Technology, pemerintah bisa jadi tengah melakukan pengawasan massal terhadap masyarakat. Berkaca pada kasus Trovicor, kemampuan pengawasan serupa bisa saja kini berada di tangan pemerintah.
Kemampuan pengawasan tersebut mungkin dapat tergambarkan dalam konsep network society milik Manuel Castells yang dapat didefinisikan sebagai struktur sosial yang didasarkan pada teknologi komunikasi dan informasi yang menciptakan, memproses, dan mendistribusikan informasi melalui jaringan.
Dalam tulisan Castells yang berjudul A Network Theory of Power, dijelaskan bahwa terdapat beberapa kekuatan politik yang tercipta melalui masyarakat jejaring. Salah satunya adalah network-making power.
Kekuatan network-making tersebut didapatkan dengan adanya kemampuan untuk membangun dan memprogram jaringan berdasarkan tujuan tertentu. Permasalahannya, pihak-pihak yang mengontrol tersebut tidak hanya berada pada satu aktor. Castells menjelaskan bahwa kontrol tersebut dilakukan melalui sistem yang dinegosiasikan.
Apa yang dijelaskan Castells bisa saja benar. Pasalnya, kehadiran BIGO Technology bisa saja membagi kontrol jejaring yang dimiliki oleh pemerintah tersebut. Artinya, bukan hanya pihak pemerintah yang dapat melakukan pengawasan, melainkan bisa juga pihak BIGO.
Dalam kasus lain, perusahaan Huawei asal Tiongkok juga dikhawatirkan akan melebarkan kemampuan pengawasannya melalui teknologi 5G. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh pemerintahan Donald Trump di AS. Menurut negara tersebut, penggunaan teknologi 5G dicemaskan akan diikuti dengan fasilitas pengumpulan data oleh Tiongkok.
Meski terdapat kekhawatiran tersebut, pemerintah Tiongkok belum pasti benar-benar memiliki akses terhadap teknologi pengawasan Huawei. Begitu juga dengan BIGO Technology, belum tentu juga dapat dipastikan bila kekhawatiran serupa eksis atau tidak di balik kerja sama tersebut.
Yang jelas, dengan adanya kerja sama dengan BIGO Technology, bisa jadi pemerintah maupun pihak lainnya menjalankan pengawasan kepada masyarakat. Seperti lirik rapper 2Pac di awal tulisan, mungkin kini terdapat mata-mata yang mengamati aktivitas kita di dunia digital, entah pihak mana saja yang memiliki akses tersebut. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.