Sejak Perang Dunia II dan Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) telah memainkan peran sebagai polisi dunia. Lantas, dengan meletusnya perang di Ukraina, apakah itu menjadi indikasi melemahnya hegemoni AS? Mungkinkah Joe Biden “terlalu tua” untuk menekan ambisi invasi Vladimir Putin?
“Kekuatan-kekuatan otoritarian percaya bahwa ini saatnya melawan Amerika Serikat dan membentuk ulang dunia,” – Michael Schuman, Peneliti Senior di Global China Hub
Salah satu sejarawan paling terkenal saat ini, Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century memberikan penegasan penting yang sekiranya patut direnungkan. Tulisnya, “Sayangnya, bahkan jika perang tetap menjadi bisnis yang tidak menguntungkan di abad ke-21, itu tidak akan memberi kita jaminan mutlak akan perdamaian. Kita seharusnya tidak meremehkan kebodohan manusia.”
Senada dengan Harari, ilmuwan politik Francis Fukuyama dalam tulisannya 2034 juga memberi penegasan bahwa perang adalah probabilitas yang mungkin untuk terjadi. Bahkan, secara khusus Fukuyama membantah asumsi bahwa perang tidak akan terjadi karena besarnya biaya yang diperlukan.
Fukuyama mencontohkan hal ini ketika Jepang menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Menurut Fukuyama, serangan itu berdiri di atas asumsi bahwa AS tidak akan mengambil risiko dan cost besar menyeberangi Laut Pasifik untuk menyerang balik. Namun, seperti yang diketahui, kalkulasi itu keliru besar. AS bahkan mengambil harga besar dan menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki. Tegas Fukuyama, Jepang terperangkap dalam prediksinya.
Apa yang ditegaskan Fukuyama adalah penantang bagi rasionalitas manusia, khususnya kalkulasi prediksi. Konteks ini yang menjadi jantung buku Nassim Nicholas Taleb yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, yakni manusia kerap merasa mampu memprediksi masa depan.
Apa yang diwanti-wanti Harari, Fukuyama, hingga Taleb jelas terjadi pada keputusan Vladimir Putin menyerang Ukraina saat ini. Mengejutkan, mungkin begitu pikir berbagai pihak. Bagaimana mungkin, di tengah globalisasi yang membuat ekonomi dunia menjadi begitu terikat, terdapat negara yang mau mendeklarasikan perang berdarah.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sampai 3 Maret, sedikitnya 227 warga sipil tewas dan 525 lainnya terluka di Ukraina sejak invasi Rusia dimulai pada 24 Februari.
Selain bantahan atas asumsi ketidakmungkinan perang berdarah di era modern, apa lagi yang dapat dimaknai dari invasi Putin ini?
Kalkulasi Putin?
Yuval Noah Harari dalam tulisannya Why Vladimir Putin has already lost this war pada 28 Februari, memberikan penjelasan menarik mengapa Putin melakukan invasi. Menurut Harari, Putin memiliki impian untuk membangun kembali kekaisaran Rusia.
Sebagai negara yang dulunya bagian dari Uni Soviet, Ukraina dinilai bukanlah negara yang nyata. Ukraina bukanlah bangsa yang nyata. Penduduk Kyiv, Kharkiv, dan Lviv tengah mendambakan pemerintahan Moskow.
Menurut Harari, Putin telah bertolak pada asumsi sejarah yang benar-benar keliru. Jika acuannya adalah sejarah, maka legitimasi Ukraina sebenarnya lebih besar karena memiliki sejarah lebih dari seribu tahun. Menurut Harari, Kyiv telah menjadi kota metropolis besar ketika Moskow bahkan belum menjadi sebuah desa.
Selain bundelan sejarah yang semu, Harari juga memaparkan berbagai kalkulasi Putin, sehingga memutuskan untuk menyerang Ukraina. Pertama, kita semua mengetahui bahwa militer Rusia jelas di atas Ukraina. Rusia memiliki lebih dari 4.100 pesawat, dengan 772 pesawat tempur. Sementara Ukraina hanya memiliki 318 pesawat, dengan hanya 69 pesawat tempur. Kemudian, 12.500 tank Rusia jelas jauh di atas tank Ukraina yang hanya sekitar 2.600 unit. Di atas kertas, ini jelas pertarungan mudah.
Kedua, seperti yang terbukti saat ini, NATO tidak mengirim pasukan untuk membantu Ukraina. Menurut Harari, Putin sangat paham bahwa Eropa memiliki ketergantungan pada minyak dan gas Rusia. Mengacu pada data Directorate-General for Energy EU, Rusia memasok 41 persen gas di Uni Eropa.
50 persen kebutuhan gas dan batu bara Jerman datang dari Rusia. Dan sekitar 30 persen kebutuhan minyak Jerman juga dipenuhi oleh Rusia. Disebutkan, Eropa kini mengalami kenaikan harga sumber energi menyusul invasi Rusia ke Ukraina. Menurut Harari, dengan ketergantungan itu, Putin percaya Uni Eropa tidak akan memberikan sanksi keras ke Rusia.
Selain alasan-alasan yang disebutkan Harari, ada lagi satu poin yang harus diperhatikan, di mana Amerika Serikat saat ini? Bukankah AS telah menjadi polisi dunia sejak Perang Dunia II dan Perang Dingin? Di mana Paman Sam si polisi dunia?
AS Melemah?
Michael Beckley dalam tulisannya Enemies of My Enemy memberikan jawaban penting. Menurutnya, setelah menjadi kekuatan utama dan penjaga liberalisme sejak Perang Dingin, saat ini hegemoni AS tengah mendapat tantangan hebat seiring dengan kebangkitan luar biasa ekonomi Tiongkok.
Kendati pada 2021 produk domestik bruto (PDB) AS masih di atas Tiongkok (US$ 16,9 triliun banding US$ 22,9 triliun), menurut lembaga think tank asal Inggris, Center for Economics and Business Research (CEBR), PDB Tiongkok akan melampaui AS pada tahun 2031. PDB Tiongkok ditaksir mencapai US$ 27,5 triliun, sementara AS hanya sebesar US$ 25,9 triliun.
Seperti pernyataan Michael Schuman di awal tulisan, kekuatan-kekuatan otoritarian, seperti Tiongkok dan Rusia, percaya bahwa ini adalah waktunya untuk melawan AS dan membentuk ulang dunia. Bhadrakumar dalam tulisannya Biden actually wants to engage Russia and China juga menyebutkan, dengan melemahnya posisi AS di tatanan global, Tiongkok dan Rusia tidak lagi menganggap Paman Sam memenuhi syarat untuk berbicara dengan mereka dari posisi yang kuat.
Anasir-anasir di atas selaras dengan salah satu teori hubungan internasional yang disebut dengan hegemonic stability theory (HST). Teori ini menunjukkan bahwa sistem internasional akan lebih mungkin untuk tetap stabil ketika terdapat satu negara yang menjadi kekuatan dominan yang disebut hegemon. Pembuktian teori ini misalnya dirujuk pada meletusnya Perang Dunia II akibat hegemoni Britania Raya yang melemah.
Charles P. Kindleberger dalam bukunya The World in Depression: 1929-1939 juga menyebutkan, kekacauan ekonomi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II disebabkan karena tidak adanya negara yang berperan sebagai pemimpin dunia dengan ekonomi dominan.
Mengacu pada HST, pecahnya perang di Ukraina tampaknya disebabkan oleh melemahnya peran AS sebagai hegemon. Hal ini pula yang membuat Michael Beckley menulis, bahwa AS perlu mendeklarasikan dan menunjukkan kembali dirinya sebagai penjaga tatanan global.
Lantas, apakah AS mampu kembali menjadi hegemon dan mengakhiri invasi Rusia?
Biden Terlalu Tua?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat fenomena politik penting yang terjadi pada Perang Dunia II. Saat itu, berbagai pihak mengkritik pendekatan lunak Perdana Menteri Britania Raya Neville Chamberlain terhadap Adolf Hitler. Ini kemudian mendorong Winston Churchill untuk terpilih sebagai Perdana Menteri karena dinilai memiliki karakter kuat yang tepat untuk menghadapi ancaman invasi Hitler.
Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace juga menjelaskan fenomena tersebut. Menurut Morgenthau, Chamberlain memiliki motif yang baik dengan bersikap lunak terhadap Hitler untuk menghindari letusan Perang Dunia II.
Namun, seperti yang dicatat sejarah, langkah lunak Chamberlain justru membuat Hitler yakin untuk melakukan invasi. Sementara Churchill, meskipun motifnya tidak sebaik Chamberlain, ketegasannya dengan jelas merupakan langkah penting dalam menekan ambisi invasi Jerman Nazi.
Dengan demikian, ada satu poin penting yang harus dipahami. Pada situasi genting seperti saat ini, AS tampaknya membutuhkan pemimpin yang memiliki karakter seperti Winston Churchill. Sejauh ini, meskipun kerap memberi ancaman sanksi, Presiden AS Joe Biden terlihat hanya bermain kata-kata. Bahkan dalam berbagai keterangannya, Biden menyebut AS tidak akan menurunkan prajuritnya untuk membantu Ukraina.
Sebagai penutup, mungkin dapat disimpulkan, jika AS ingin mengembalikan statusnya sebagai pemimpin dan polisi dunia, serta mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina, ketegasan Biden sekiranya menjadi faktor yang begitu penting.
Melihat retorika-retorika kedamaian yang disampaikan Biden selama ini, politisi Partai Demokrat itu mungkin sudah “terlalu tua” dalam menangani ketegangan internasional saat ini. Namun tentu harapannya, kesimpulan tulisan ini tidak menjadi kenyataannya. (R53)