Site icon PinterPolitik.com

Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

biden setengah hati selamati prabowo

Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto saat melakukan pertemuan bilateral dengan Menhan Amerika Serikat (AS) Lloyd J. Austin III di Pentagon, AS, pada Agustus 2023 silam. (Foto: Instagram/@prabowo)

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akhirnya memberikan ucapan selamat kepada calon presiden (capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto. Namun, dalam diplomasi, ucapan selamat seperti ini bisa saja bermakna lain.


PinterPolitik.com

“Tak perlu ragu lagi. Cukup jalani dan rasakan” – Rizky Febian, “Ragu” (2018)

Rasa ragu memang sulit untuk dijelaskan. Di saat dia menyatakan cinta, misalnya, ada banyak pertimbangan untuk dipikir-pikir kembali untuk memasuki sebuah hubungan.

Mungkin, keraguanlah yang dirasakan oleh kasih Rizky Febian dalam lirik lagunya yang berjudul “Ragu” (2018). Akhirnya, Rizky-pun berusaha meyakinkannya.

Meski begitu, tak jarang, banyak orang akhirnya menghindar apabila menerima pernyataan cinta. Ada yang akhirnya hilang dan menjauh begitu saja – alias ghosting. Ada juga yang akhirnya menjawab dengan kata-kata yang tidak memberikan kepastian – alias ngalor-ngidul.

Namun, buat yang tidak memberikan kepastian, jawaban seperti itu sebenarnya bisa dibilang merupakan jawaban yang mencari aman. Bagaimanapun, jawaban seperti itu tidak menghilangkan kemungkinan akan penerimaan maupun penolakan.

Mungkin, inilah yang dirasakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden saat akhirnya menulis sebuah surat resmi yang ditujukan kepada calon presiden (capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto.

Pasalnya, dalam surat itu, Biden tidak secara terang-terangan mengatakan bahwa pemerintahannya memberikan selamat atas terpilihnya Prabowo – meskipun menteri pertahanan (menhan) RI tersebut unggul di hasil hitung cepat (quick count) maupun hasil sementara hitung resmi (real count) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Biden hanya mengatakan selamat atas suksesnya pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan atas unggulnya Prabowo dalam real count.

Ini berbeda dengan ucapan-ucapan para pemimpin dunia lainnya. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, misalnya, menyebut Prabowo sebagai presiden terpilih (president-elect) dalam suratnya.

Senada dengan Erdoğan, Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sánchez juga menyebut Prabowo sebagai Presidente electo dalam suratnya. Selain Spanyol dan Turki, PM Britania (Inggris) Raya Rishi Sunak-pun mengucapkan selamat ke Prabowo atas kesuksesannya dalam Pilpres 2024. 

Perbedaan kontras dalam pemilihan kata dan diksi yang disampaikan dalam ucapan selamat ini bukan tidak mungkin mengundang tanya. Mungkinkah Biden ‘setengah hati’ dalam memberikan ucapan selamat kepada Prabowo?

Mengapa Biden harus menggunakan kata-kata yang berbeda – bahkan termasuk yang belakangan dalam memberikan ucapan dibandingkan negara-negara besar lainnya? Apa yang sebenarnya menjadi kepentingan Biden dan AS atas dinamika Pilpres 2024 di Indonesia?

Biden “Main Hati”?

Ternyata, bukan hanya dalam hubungan asmara saja, seseorang bisa bermain hati. Dalam diplomasi, upaya “bermain hati” seperti inipun juga umum dijumpai.

Dalam hubungan asmara, keraguan biasa terjadi bila seseorang dihadapkan dengan dua pilihan orang terkasih. Mungkin, situasinya mirip seperti lagu The Rock yang ditulis oleh Ahmad Dhani yang berjudul “Aku Cinta Kau dan Dia” (2007). 

Situasi yang sama biasa mengikuti kebijakan luar negeri, apalagi kebijakan luar negeri AS. Ini bisa dilihat jelas dalam kebijakan luar negeri Paman Sam terkait Republik China – alias Taiwan.

Taiwan tidak bisa dipungkiri merupakan mitra strategis AS di kawasan Asia Pasifik. Bahkan, AS-pun membutuhkan Taiwan dengan industri semikonduktornya yang sangat strategis – dibutuhkan dalam banyak manufaktur produk-produk teknologi.

Tidak hanya dalam hal industri dan perdagangan, Taiwan juga dinilai penting secara geostrategis bagi AS. Guna menghalau Republik Rakyat Tiongkok (RRT), AS memiliki strategi yang disebut sebagai strategi rantai pulau (island-chain strategy).

Bila peta Asia Pasifik dibentangkan, rantai pulau-pulau ini akan terlihat. Dari utara menuju selatan, terdapat wilayah atau negara sekutu AS yang siap menghadang pengaruh Tiongkok di Samudra Pasifik, mulai dari Korea Selatan (Korsel), Jepang, Taiwan, hingga Filipina.

Meski Taiwan secara jelas adalah negara sekutu Paman Sam, pemerintah AS tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa Tairan adalah sebuah negara. Pasalnya, Tiongkok sendiri mengakui Taiwan sebagia bagian dari integritas wilayah kedaulatannya.

Alhasil, AS kerap kali menggunakan bahasa-bahasa yang mungkin bisa dibilang untuk “bermain hati”. Dalam arti lain, AS ingin menjaga hubungan baiknya dengan Taiwan tanpa harus memperburuk hubungan diplomatiknya dengan negara terbesar di Asia Timur, Tiongkok.

Apa yang dilakukan oleh AS sebenarnya adalah perwujudan sebuah konsep yang disebut oleh Olaf Hoffjan dalam tulisannya yang berjudul “Between Strategic Clarity and Strategic Ambiguity – Oscillating Strategic Communication” dalam Corporate Communications: An International Journal sebagai strategic ambiguity (ambiguitas strategis). Ini adalah sebuah konsep komunikasi strategis – di mana ditujukan untuk mencapai kepentingan tertentu.

Hal yang sama mungkin juga dilakukan Biden dalam ucapan selamatnya kepada Prabowo. Bisa jadi, ada upaya untuk menjaga ambiguitas strategis dalam hubungan AS dan Indonesia.

Secara tidak langsung, AS masih membutuhkan Indonesia dalam kepentingan-kepentingan geopolitiknya di kawasan Indo-Pasifik. Namun, bukan tidak mungkin juga, pemerintah AS memiliki preferensi lain soal dinamika Pilpres 2024 di Indonesia.

Kira-kira, apa yang membuat Biden akhirnya harus menggunakan kata-kata yang berujung pada ambiguitas? Mengapa Biden perlu “bermain hati”?

“Cinta Segitiga” Prabowo-Biden?

Biasanya, keraguan menyertai hubungan yang tidak berbalas atau tidak sejalan dengan ekspektasi. Inipun juga berlaku dalam hubungan antarnegara.

Dalam cinta segitiga, biasanya satu orang akan berusaha menjaga hati agar tidak terlalu terlihat berusaha, apalagi ketika orang yang dicintainya mencintai orang lain. Dalam arti lain, banyak ketidakpastian menyertai usaha untuk memenangkan hati orang tersebut.

Dalam hubungan internasional, situasi yang penuh dengan ketidakpastian juga eksis. Apalagi, dalam anarki internasional, tidak ada otoritas atau entitas yang memiliki kekuatan absolut untuk menerapkan keteraturan.

Bayangkan jika AS ingin ‘memenangkan hati’ Indonesia. Ada banyak faktor yang memunculkan ketidakpastian atas hubungan AS dengan negera kepulauan terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Banyak dinamika yang memengaruhi apakah Indonesia mau atau tidak mau melanjutkan ‘hubungan yang lebih jauh’ dengan AS. Salah satunya mungkin adalah ketidakinginan Indonesia untuk terikat dalam ‘hubungan yang lebih jauh’ dengan negara manapun.

Namun, di sisi lain, Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Tiongkok. Salah satunya adalah besarnya jumlah investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) dari Tiongkok, khususnya di industri nikel.

Di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel dan mensyaratkan agar nikel diolah terlebih dahulu di dalam negeri sebelum akhirnya dijual ke luar negeri. Investasi dalam industri pemrosesan nikel ini banyak datang dari Tiongkok.

Pada tahun 2014, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), besaran investasi nikel dari Tiongkok dan Hong Kong hanyalah sebesar 5,1 persen. Namun, pada tahun 2022, porsi itu meningkat signifikan hingga 30,1 persen.

Bukan tidak mungkin, ini menjadi alasan AS dan negara-negara Eropa disebut-sebut tidak menyukai kebijakan hilirisasi nikel ala pemerintahan Jokowi. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bahkan mengklaim bahwa AS dan Eropa sempat menggunakan International Monetary Fund (IMF) untuk menekan Indonesia agar tidak meneruskan kebijakan tersebut.

Lebih lanjut lagi, Prabowo adalah salah satu capres yang paling mendorong kebijakan hilirisasi. Selain karena menjargokan diri sebagai capres yang melanjutkan kebijakan-kebijakan Jokowi, Prabowo dan calon wakil presidennya (cawapres), Gibran Rakabuming Raka, kerap menyebutkan gagasan hilirisasi di banyak kesempatan, mulai saat dari debat capres-cawapres hingga di forum-forum akademik.

Boleh jadi, kebijakan hilirisasi nikel adalah lanjutan dari bagaimana peningkatan investasi Tiongkok dapat terjadi lagi di bawah Prabowo nantinya. Layaknya, hubungan yang penuh dengan ketidakpastian, AS bisa saja berusaha “menjaga hatinya” sendiri dengan tidak mengekspresikan kesukaannya pada Indonesia di masa kini.

Well, pada akhirnya, AS dan Indonesia tampaknya perlu membicarakan lebih lanjut soal hubungan mereka bagaimana. Mungkin, dengan masih berkomunikasi baik dengan Prabowo, ruang bicara akan masa depan keduanya akan tetap terus ada. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version