Site icon PinterPolitik.com

Biden Menang, JK Berjaya?

Biden Menang, JK Berjaya ?

Pertemuan JK (kiri) dan Joe Biden (kanan) di Gedung Putih, 2009 (Foto: Istimewa)

Sejumlah analis dan pengamat politik memprediksi kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) akan menguntungkan posisi mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Ini lantaran keduanya diketahui memiliki hubungan yang cukup akrab. Mampukah JK mengikuti jejak Biden?


PinterPolitik.com

Pergantian tampuk kepemimpinan Gedung Putih memang merupakan fenomena yang tak hanya menjadi perhatian nasional Amerika Serikat (AS), melainkan global. Miliaran pasang mata tentu tak mau ketinggalan menyaksikan bagaimana negeri adidaya itu memilih pemimpinnya, tak terkecuali Indonesia. 

Meski berada sisi lain dunia, namun euforia pergantian Presiden AS dari Donald Trump ke Joe Biden nyatanya tetap menjadi diskursus yang cukup gurih untuk didiskusikan oleh pengamat-pengamat politik tanah air. 

Pakar hukum tata negara sekaligus pengamat politik Refly Harun misalnya. Lewat kanal YouTube-nya, Refly mencoba menebak bagaimana kira-kira dampak kemenangan Biden terhadap dinamika politik nasional. 

Ia memprediksi kemenangan Biden ini akan menjadi preseden yang akan mempopulerkan kembali tokoh-tokoh politik senior untuk terlibat langsung sebagai peserta di Pilpres  2024 mendatang. Analisis Refly ini bisa dibilang cukup menarik sebab hingga hari ini, hampir semua survei-survei yang mencoba memetakan calon-calon potensial di Pilpres 2024 masih menjagokan kandidat-kandidat yang relatif lebih muda. 

Dari sekian banyak tokoh politik senior, Refly menyebut dua nama yang paling berpeluang besar untuk maju mencalonkan diri, yakni Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, dan Wakil Presiden ke-10 dan 12, Muhammad Jusuf Kalla (JK). Eks Komisaris Utama PT Pelindo I itu menilai kedua tokoh tersebut punya alasan yang cukup kuat untuk maju sebagai capres. 

Refly menilai 2024 dapat menjadi titik balik kembalinya Mega ke panggung politik praktis. Sebab, di pemilu yang akan datang, Mega tak begitu banyak memiliki saingan yang punya modal politik sekelasnya. Sementara JK, menurutnya bahkan bisa menjabat sebagai Presiden dua periode lantaran Ia memang belum pernah menjabat di posisi tersebut seperti layaknya Mega. 

Selain itu, Refly juga menyebut bahwa kemenangan Biden juga membawa keuntungan bagi JK di 2024 nanti  karena hubungan dekatnya dengan Presiden AS tersebut. Dengan mempertimbangkan faktor kedekatan ini, Ia berasumsi bahwa JK akan menjadi tokoh penting dalam perhelatan Pilpres 2024 nanti. 

Menyikapi hal itu, maka pertanyaannya, mampukah JK memanfaatkan momentum kemenangan Biden untuk keuntungan politiknya sendiri?

JK dan Pragmatisme AS

Salah satu momen yang menggambarkan kedekatan JK dengan Biden terjadi pada  2009 lalu. JK yang masih menjabat sebagai Wakil Presiden (Wapres) mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertandang ke Gedung Putih untuk menemui Biden yang baru saja terpilih sebagai Wapres AS mendampingi Barack Obama. 

JK yang sudah santer diberitakan akan maju pada Pilpres 2009 disebut-sebut merupakan Wapres pertama yang diterima Biden di Gedung Putih. Pertemuan hangat keduanya itu bahkan berlangsung lebih lama dari jadwal yang seharusnya. 

Selain kedekatan personal, asumsi bahwa kemenangan Biden akan memperkuat posisi JK di pilpres mendatang agaknya juga bisa dibaca dari kebijakan politik luar negeri AS yang cenderung semakin pragmatis. 

John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail menjelaskan bahwa situasi geopolitik yang kini memunculkan penantang serius bagi AS, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT) membuat tatanan liberal yang selama ini dibangun Washington bisa saja tidak lagi benar-benar diterapkan. Alhasil, AS akan bersedia untuk menurunkan idealismenya dan menjadi lebih pragmatis.

Dengan adanya pragmatisme semacam ini, AS yang belakangan terlibat ketegangan dengan Tiongkok, misalnya di Laut Cina Selatan (LCS) tentu akan memandang Indonesia sebagai mitra potensial yang sangat strategis. Manuver AS yang mencoba merayu Indonesia untuk berpihak pada Washington di LCS faktanya sudah terjadi bahkan sebelum Biden merebut Gedung Putih dari Donald Trump. 

Gelagat itu terbaca misalnya dari kunjungan eks Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo ke Indonesia di ujung masa pemerintahan Trump, hingga getolnya Washington merayu Indonesia untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. 

Ivan Levingston, dalam laporannya di Bloomberg bahkan menyebut bahwa pemerintahan Trump saat itu bersedia mengucurkan dana bantuan pembangunan senilai US$ 2 miliar jika Jakarta mau membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. 

Meski kerap diisukan memiliki romantisme dengan Beijing, namun sejumlah analis berpandangan bahwa kebijakan Biden dalam konteks Perang Dagang AS dan Tiongkok dinilai tak akan jauh berbeda dengan Trump. 

Jim Zarolli dalam tulisannya yang berjudul Trump Launched A Trade War Against China. Don’t Look To Biden To Reverse It menyebut bahwa selama masa kampanye Pilpres AS, Biden kerap mengkritisi pendekatan Trump yang memainkan strategi ‘lone wolf’ ketika menyulut Perang Dagang dengan Tiongkok. 

Sebaliknya, menurut Biden, seharusnya AS merangkul sekutu-sekutunya di Eropa dan Asia untuk memaksa Beijing mematuhi aturan perdagangan internasional. Berangkat dari sini, Jim memandang bahwa secara fundamental, Biden sebenarnya memiliki pemahaman yang sama dengan Trump dalam memandang kebangkitan Tiongkok. Hanya saja, pendekatan keduanya memang berbeda. 

Berangkat dari sini, maka patut diduga bahwa pragmatisme AS yang ingin mendekati Indonesia bisa saja masih akan terus berlanjut sepanjang masa kepemimpinan Biden. Hal ini kemudian mungkin saja mendorong Washington untuk turut campur dalam dinamika politik Jakarta, termasuk agenda Pilpres 2024 mendatang.  

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, lantas apakah ini benar-benar jadi momentum kebangkitan JK?

Belum Tentu

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti tak menampik bahwa kedekatannya dengan Biden akan menjadi salah satu modal politik penting bagi JK. Namun Ia menilai kedekatan tersebut tidak lantas serta merta akan menciptakan dukungan. JK bisa saja gagal mendapat dukungan Biden bila kepentingan AS tak bisa diakomodir.  

Dalam konteks tersebut, sepertinya posisi JK agak kurang diuntungkan. Tanpa memegang jabatan penting di pemerintahan, tentu Ia akan kesulitan untuk memastikan arah kebijakan Indonesia akan seiring dengan kehendak AS. 

Apalagi, dalam konteks hubungan luar negeri, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) selama ini dikenal pragmatis, dan akan cenderung berpihak kepada mereka yang mampu memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia. 

Di sini persoalannya menjadi menarik. Pasalnya, Ben Bland dalam bukunya yang berjudul Man of Contradictions menilai justru Tiongkok lah yang dianggap mampu memberikan banyak keuntungan bagi pemerintahan Jokowi, misalnya saja pinjaman murah hingga investasi di bidang infrastruktur.

Kedekatan dengan Tiongkok tersebut nyatanya juga tergambar dari gelagat pemerintah yang tak segan-segan menunjukkan kemesraan dengan Beijing, misalnya saja melakukan vaksinasi Covid-19 perdana dengan produk buatan Tiongkok, Sinovac, hingga pertemuan hangat antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dengan Menlu Wang Yi di Danau Toba beberapa waktu lalu. 

Selain tak memiliki jabatan di pemerintahan, pengaruh JK di Partai Golkar pun agaknya mulai memudar. Indikasi ini tercermin dari susunan kepengurusan baru Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto yang disebut tak lagi menyertakan loyalis-loyalis JK di dalamnya. 

Dengan tidak berkutiknya JK dalam memastikan kebijakan Indonesia searah dengan kemauan AS, maka bisa saja Ia akan gagal memperoleh dukungan Biden. Didorong oleh sikap pragmatisnya, Biden justru mungkin memberikan dukungan kepada kandidat lain yang masih memiliki posisi untuk mengontrol arah kebijakan negara. 

Tak hanya perlu memastikan dukungan dari Biden, JK seperti juga masih memiliki pekerjaan rumah lain jika ingin memenangkan kontestasi Pilpres 2024. Berkaca pada Pilpres AS, kemenangan Biden sendiri disebut-sebut terjadi karena adanya dukungan dari Silicon Valley. Maka untuk memastikan kemenangannya itu, JK kiranya juga perlu menempuh langkah yang sama. 

Clare Duffy dalam tulisannya yang berjudul Why Big Tech May Be Hoping for a Joe Biden Presidency menyebut bahwa salah satu alasan para raksasa teknologi (Big Tech) ramai-ramai mendukung Biden dikarenakan mereka merasa dirugikan dengan kebijakan ekonomi Trump. 

Meski di satu sisi, kebijakan pemotongan pajak perusahaan menguntungkan Silicon Valley, namun di sisi lain mereka keberatan dengan kebijakan imigrasi yang diterapkan Trump. Kebijakan tersebut disebut-sebut menyulitkan raksasa teknologi dalam mendatangkan pekerja asing yang terampil ke AS.

Dalam konteks Indonesia, pemerintahan Jokowi sendiri sejauh ini bisa dibilang cukup akrab dengan perusahaan-perusahaan teknologi. Pada Pemilu 2019 lalu misalnya Jokowi bahkan berhasil membujuk Facebook untuk bekerja sama dalam menyisir konten-konten hoaks di media sosial. 

 Oleh karenanya, jika mampu merangkul Big Tech, bukan tidak mungkin JK akan mendapatkan keuntungan seperti Biden saat ini. Belum lagi, pada tahun 2024 mendatang, AS sendiri juga akan kembali menggelar pilpres. Ini mungkin saja membuat Biden tak akan terlalu fokus untuk memperhatikan dinamika politik di Indonesia.

Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dapat dikatakan sekalipun JK memiliki kedekatan personal dengan Biden, hal itu belum tentu akan memastikan dukungan Washington terhadapnya. Dan yang terpenting, mampukah JK membuat partai politik yang ada untuk mendukungnya?

Kendati demikian, apakah nantinya JK akan berhasil merebut momentum di Pilpres 2024 mendatang hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Namun yang jelas, kontestasi Pilpres 2024 sendiri masih sangat cair dan apa pun masih bisa terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

Exit mobile version