Site icon PinterPolitik.com

Biden “Kampanye Pilpres” di Korut? 

u.s. president joe biden visits south korea

South Korea's Foreign Minister Park Jin greets U.S. President Joe Biden as he arrives at Osan Air Base (ROK) in Pyeongtaek, South Korea, May 20, 2022. REUTERS/Jonathan Ernst

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan kerja sama keamanan lebih intensif featuring Korea Selatan (Korsel) dengan mengerahkan kapal selam bertenaga nuklir ke Semenanjung Korea untuk menangkal agresivitas Korea Utara (Korut). Lalu, apakah dengan kerja sama itu Biden masih bisa menegaskan supremasi militer AS yang berpengaruh di sisa masa jabatannya? 


PinterPolitik.com 

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol baru-baru ini mengumumkan Deklarasi Washington, yang mana menjadi deal pertahanan lebih intensif di Semenanjung Korea untuk membendung Korea Utara (Korut). 

Salah satu poin kerja sama itu adalah pengerahan kapal selam bertenaga nuklir milik AS sebagai langkah agresif pertama sejak tahun 1980-an. 

Deklarasi itu disebut akan menjadi semacam perisai keamanan AS dan Korsel dalam menghadapi peningkatan aktivitas uji coba rudal sporadis Korut. 

Pejabat AS menggambarkan kerja sama ini mirip dengan langkah AS saat mengawasi pertahanan Eropa dari Uni Soviet di era Perang Dingin. 

Kedua negara juga menyetujui untuk memperkuat badan tetap, termasuk Kelompok Konsultasi dan Strategi Pencegahan yang diperluas, di mana Presiden Korsel memastikan negaranya akan menerapkan “jangkauan penuh kemampuannya” untuk postur pertahanan gabungan aliansi AS-Korsel. 

Namun, berbagai pihak masih meragukan fungsi praktis kerja sama itu karena sampai saat ini AS belum berencana untuk menempatkan senjata nuklir “semi permanen” mereka di Korsel. 

Di sisi lain, jelas, kerja sama ini menuai kecaman dari Korut dan sekutu terdekat mereka, Tiongkok. Korut yang diwakili oleh adik perempuan Presiden Kim Jong Un, yakni Kim Yo Jong mengatakan pakta keamanan itu dapat membahayakan perdamaian di Asia. 

Dia juga menyebut pernyataan Biden yang mengancam akan memusnahkan Korut merupakan tanda-tanda “pria tua yang sudah pikun”. 

Yo Jong menambahkan pembentukan Kelompok Konsultatif Nuklir di mana AS mengerahkan aset strategis nuklir secara teratur dan terus menerus serta latihan militer yang sering dilakukan oleh Washington dan Seoul, telah menciptakan lingkungan di mana Korut terpaksa mengambil tindakan yang lebih tegas. 

Sementara itu, Tiongkok melalui juru bicara (Jubir) Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) mereka Mao Ning juga mengecam pakta keamanan AS dan Korsel tersebut. Mao mendesak AS dan Korsel agar tak dengan sengaja meningkatkan ketegangan, memicu konfrontasi, dan mengeluarkan ancaman-ancaman. 

Lantas, melihat dinamika keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur, mengapa Joe Biden sampai melihat ada urgensi yang membuat AS mengerahkan kapal selam bertenaga nuklir ke Korsel? 

Korsel “Diperalat” Biden? 

AS akan mengerahkan kapal selam bertenaga nuklir untuk pertama kalinya sejak 1981 silam. AS rencananya akan mengerahkan kapal selam dengan julukan ‘boomers‘ berkekuatan nuklir kelas Ohio 14 dari Angkatan Laut. 

Senjata yang paling menakutkan dimiliki kapal selam kelas Ohio adalah rudal balistik Trident II sebanyak 20 buah. Daya jangkau rudal yang bisa membawa hulu ledak nuklir itu bisa mencapai 7.400 kilometer. 

Meskipun Biden mengatakan cara tersebut bertujuan untuk membendung Korut, namun pengerahan kapal selam itu agaknya hanya akan menekankan dan menambah kredibilitas AS di kawasan tersebut. Selain itu, ada beberapa pengamat yang mengatakan skenario pengerahan kapal selam itu akan bermuara pada mimpi buruk perang nuklir. 

Selain pengerahan kapal selam bertenaga nuklir, salah satu poin menarik lainnya yang di sepakati oleh AS dan Korsel dalam pakta pertahanan Deklarasi Washington adalah mengenai pertukaran informasi keamanan antar kedua negara. 

Poin pertukaran informasi antara AS dan Korsel sendiri dapat dilihat sebagai bagian dari revolutions in military affairs (RMA) yang terjadi di dunia militer serta pertahanan dan keamanan. 

Jerry Indrawan dalam bukunya Studi Strategis Dan Keamanan menjelaskan bahwa RMA adalah sebuah teori tentang peperangan masa depan. 

Peperangan masa depan yang dimaksud adalah peperangan informasi, network-centric warfare, hingga komando terintegrasi yang semuanya berbasis teknologi informasi. 

Jerry juga menjelaskan RMA yang muncul pasca Perang Dunia II menandakan era “perang baru”. RMA meningkatkan perkembangan informasi, terutama terkait informasi peperangan (information warfare)

Informasi menjadi bagian paling vital dalam sebuah perang, baik dalam informasi intelijen maupun organisasi militer. Ini kemudian menjadikan informasi sebagai sebuah aset strategis dalam peperangan. 

Menurut Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave menjelaskan informasi akan menjadi landasan bagi kekuatan sebuah negara, apalagi bagi negara-negara yang disebut “gelombang ketiga”. 

Toffler menjelaskan lebih lanjut bahwa “gelombang pertama” adalah negara yang melakukan perang untuk memperebutkan atau mempertahankan suatu wilayah. Sedangkan, “gelombang kedua” dimana kegiatan industri mulai mendominasi, perang menjadi soal siapa yang punya dan siapa yang tidak punya (the have and the have not). 

Pada “gelombang ketiga” perang adalah soal bagaimana menghancurkan cara musuh dalam upayanya untuk mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menyampaikan informasi. 

Berkaca dari penjelasan tersebut, dalam konteks pakta pertahanan terbaru di antara AS dan Korsel dan mengingat Korut adalah negara yang tertutup, boleh jadi Biden ingin memanfaatkan Korsel sebagai informan untuk AS dalam mencari tahu kekuatan militer dan perkembangan senjata nuklir Korut. 

Oleh karena itu pertukaran informasi termasuk poin krusial yang disepakati dalam Deklarasi Washington selain pengerahan kapal selam nuklir yang tampaknya hanya akan menjadi “simbol” dukungan AS kepada sekutunya tersebut di Semenanjung Korea. 

Selain itu, dalam aspek politis, Deklarasi Washington kiranya juga akan menjadi “senjata” Biden untuk menghadapi Pilpres AS tahun depan. 

Biden seolah ingin menunjukkan supremasi AS dalam politik dan keamanan global masih tetap terjaga selama kepemimpinannya. 

Biden yang kalah start dari Tiongkok dalam upaya perdamaian konflik Rusia dan Ukraina tampaknya ingin mengalihkan perhatian mereka ke konflik di Semenanjung Korea untuk menunjukkan AS di masa pemerintahannya masih menjadi “polisi dunia”. 

Terlebih lagi, hal itu dilandasi Korut yang memang sedang aktif melakukan uji coba rudal yang membuat negara-negara di kawasan itu yang merupakan sekutu AS menjadi tidak nyaman. 

Meski begitu, RMA kemugninan tidak mudah untuk diaktualisasikan. Williamson Murray dalam bukunya Thinking About Revolutions in Military Affairs menjelaskan RMA membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang, bahkan di masa perang sekalipun. 

Lalu, kembali, mengapa Biden seakan terus menekankan perhatian untuk mempertegas pengaruh supremasi militer AS ke kawasan Asia? 

Asia Pasar Senjata Menarik? 

Felix K. Chang dalam tulisannya yang berjudul A Salutation to Arm: Asia’s Military Build Up, Its Reasons and Its Implications menjelaskan perkembangan militer di Asia ini telah melebihi perkembangan militer negara-negara Eropa. 

Negara seperti Tiongkok, Jepang, India, bahkan Indonesia mengalami perkembangan dalam dunia militer mereka dengan memperkuat angkatan perang dengan berbagai alutsista dan teknologi untuk melindungi dari ancaman keamanan global atau regional. 

Perkembangan dalam dunia militer ini juga didasari oleh kepentingan nasional masing-masing negara. 

Menurut data laporan terbaru lembaga penelitian Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), tahun 2022 ada kenaikan tahunan sebesar 3,7 persen di sektor belanja anggaran pengeluaran militer seluruh dunia. 

Menurut laporan tersebut juga, dua negara teratas yang mengalami peningkatan anggaran belanja militer selama satu dekade terakhir paling banyak adalah negara Asia, yaitu Tiongkok dan India. 

Kenaikan anggaran belanja mereka bahkan menyentuh dua digit, Tiongkok di angka 63 persen dan India di angka 47 persen. 

Berdasarkan penjelasan tersebut, tak mengherankan kiranya jika Joe Biden mengalihkan perhatian AS ke Asia. 

Bisnis senjata di Asia kiranya lebih menjanjikan bagi AS, dibandingkan kawasan lain. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan ketidakstabilan keamanan kawasan tersebut membuat AS tergiur untuk semakin menancapkan cengkramannya di Asia. 

Apalagi, baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) AS Janet Yellen mengatakan pemerintah AS terancam gagal bayar tagihan utang mereka dan kas Gedung Putih terancam kosong. 

John J. Mearsheimer dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics menjelaskan dalam situasi politik internasional yang anarki, negara-negara akan fokus memperkuat dirinya agar tidak terancam. Alhasil, akan ada upaya mempersenjatai diri (armament) dari negara tersebut. 

Berkaca dari penjelasan Mearsheimer tersebut, keadaan seperti itu lah yang sedang dialami oleh negara-negara Asia. Kawasan yang tidak stabil kemudian menuntut mereka untuk mempersenjatai diri. 

Solusi dari hal itu adalah menciptakan dan membeli senjata dari negara-negara produsennya, termasuk AS. 

Kembali, pada ujungnya bisnis senjata AS lah yang kemudian diuntungkan dalam ketidakstabilan kawasan Asia tersebut. 

Menarik untuk melihat sejauh mana efektivitas Deklarasi Washington antara AS dan Korsel terhadap kepentingan mengembalikan supremasi militer AS oleh Joe Biden yang kembali dilancarkan di Asia dengan berkaca bahwa negara Paman Sam tampak sudah “kehilangan panggung” di perang Ukraina. (S83) 

Exit mobile version