Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #22
Kemenangan Joe Biden pada Pemilu Amerika Serikat (AS) beberapa hari lalu masih menjadi tajuk utama pemberitaan di banyak negara. Bukan tanpa alasan, banyak pihak memang melihat peristiwa ini sebagai pembalikan arah politik AS setelah beberapa waktu terakhir membuat “panas-dingin” kondisi politik global akibat kebijakan-kebijakannya, katakanlah misalnya dalam konteks perang dagang dengan Tiongkok. Nyatanya, mulai muncul perangkap kebangkitan persaingan global yang menjadi perulangan kisah yang pernah ditulis oleh Thucydides dan berpengaruh bagi semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
“Trump’s erratic policies towards China, especially putting countries in a difficult position having to choose between China and the US, made everybody very, very uncomfortable”.
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat asal Singapura::
Pendekatan Presiden Donald Trump yang konfrontatif terhadap Tiongkok bahkan kemudian merembet ke banyak hal, mulai dari tuduhan sebagai dalang di balik Covid-19 yang kini mengguncang seluruh dunia, hingga kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo beberapa hari jelang Pemilu yang disebut-sebut berkaitan dengan permintaan agar negara-negara di Asia – termasuk Indonesia – menyatakan stand point yang tegas terkait posisi Tiongkok.
Oleh karena itu, kekalahan Trump dari Biden dianggap akan mengubah pendekatan politik internasional tersebut.
Hal inilah yang kemudian disoroti oleh mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani. Ia menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Donald Trump, AS terlihat berusaha “memaksa” negara-negara di Asia untuk memilih antara dirinya dan Tiongkok sebagai sekutu.
Dalam analisisnya, kondisi ini menempatkan negara-negara tersebut dalam posisi yang sulit dan cenderung tidak nyaman. Apalagi, banyak negara-negara di Asia – khususnya di Asia Tenggara – yang tetap ingin mempertahankan strong links atau ikatan kuat dengan AS, sekalipun pada saat yang sama menjalin hubungan dekat dengan Tiongkok.
Konteks ini menurutnya memperburuk hubungan AS dan Tiongkok sendiri dan merupakan sebuah kerugian bagi AS, mengingat benturan antara keduanya justru menegaskan makin kuat dan menanjaknya pengaruh politik dan ekonomi Tiongkok.
Nyatanya, jika ditarik ke belakang, benturan antara AS dan Tiongkok ini mewakili perulangan fenomena yang telah terjadi sejak sejarawan Athena, Thucydides menulis kisah The History of Peloponnesian War – yang oleh beberapa penulis dibahasakan sebagai “perangkap Thucydides”. Lalu, seperti apa dampak benturan ini terhadap dunia secara keseluruhan dan Indonesia secara spesifik?
When Empires Collide: Sebuah Kutukan
Think tank nomor 1 di AS, Center for Strategies and International Studies (CSIS) pada November hingga Desember 2019 lalu – sebelum Covid-19 menyebar di seluruh dunia – melakukan sebuah survei unik untuk mencari tahu persepsi global tentang AS dan Tiongkok.
Survei ini menargetkan para ahli dari lembaga-lembaga non pemerintah dan kala itu dilakukan terhadap 188 orang responden dari berbagai negara, terutama dari negara-negara Asia Tenggara. Hasilnya adalah sebuah gambaran besar bagaimana pengaruh Tiongkok sudah sangat besar di negara-negara ini dan menjadi semakin kompleks dampaknya terhadap strategi kompetisi yang dilakukan oleh AS.
Untuk kekuatan politik saat ini di Asia Tenggara misalnya, sekitar 94,5 persen responden memilih Tiongkok sebagai 1 dari 3 negara yang punya kekuatan politik di kawasan, sementara sekitar 92 persen memasukkan AS dalam pilihan mereka. Sedangkan untuk proyeksi kekuatan politik di kawasan dalam 10 tahun ke depan, 94,5 persen memasukkan Tiongkok dalam pilihannya, sementara hanya 77 persen yang memilih AS sebagai pilihan.
Jabaran lebih menarik bisa dilihat dari sisi kekuatan ekonomi. Terkait kekuatan ekonomi saat ini misalnya, 98 persen responden menganggap Tiongkok sebagai yang terkuat di kawasan dari sisi pengaruh kekuatan ekonominya, sementara AS hanya punya 70,6 persen pengaruh kekuatan ekonomi tersebut.
Sedangkan untuk proyeksi kekuatan dan pengaruh kekuatan ekonomi tersebut dalam 10 tahun ke depan, 96 persen responden menempatkan Tiongkok sebagai salah satu pilihannya, sementara hanya 56,7 persen yang memilih AS.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa negara seperti Singapura dan Malaysia menjadi yang tertinggi dalam melihat pengaruh Tiongkok ini sebagai hal yang cenderung positif. Sementara, Vietnam dan Filipina sebagai dua negara yang melihat hal ini dari sisi yang cenderung negatif – besar kemungkinan karena masih banyaknya konflik batas wilayah dengan Tiongkok. Adapun Indonesia ada pada posisi yang cenderung berimbang, sekalipun persepsi positif terhadap Tiongkok juga masih lebih tinggi.
Dari survei tersebut, setidaknya kita menyaksikan bagaimana perebutan pengaruh yang terjadi di antara dua negara ini pada akhirnya bisa melahirkan ketegangan dalam politik internasional pada skala yang lebih besar, apalagi jika AS masih menggunakan pendekatan politik yang konfrontatif.
Selain itu, survei tersebut juga membuktikan bahwa pengaruh Tiongkok juga terus membesar dan sangat mungkin terus meningkat seiring penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara. Bukan rahasia lagi jika Tiongkok saat ini menggunakan vaksin Covid-19 sebagai alat politik untuk mengukuhkan pengaruhnya di banyak negara.
Artinya, AS harus memutar haluan untuk mengubah pendekatan politiknya atas Tiongkok. Menurut Mahbubani, sejak Trump mengambil alih kekuasaan pada 2017 lalu, praktis politik konfrontatif adalah pilihan yang diambil oleh AS. Padahal, sekalipun pengaruh Tiongkok terus meningkat di kawasan, persepsi negara-negara di Asia Tenggara terhadap AS cenderung sangat positif.
Dengan demikian, ketimbang mengkonfrontasi, AS bisa menggunakan pengaruhnya untuk melahirkan suatu “global rules” – demikian istilah yang digunakan oleh Mahbubani – yang mengatur seluruh dunia dan semua negara bisa nyaman dengan peraturan tersebut, termasuk Tiongkok. Pendekatan politik yang demikian ini penting agar menjamin semua kubu tetap mendapatkan benefit dari politik internasional dan tidak terjebak dalam politik konfrontasi antara dua kekuatan besar – dalam hal ini AS dan Tiongkok.
Konteks benturan dua kekuatan ini sebetulnya bisa dianggap sebagai pengulangan sejarah yang darinya semua pihak harus mengambil pelajaran. Sejak sejarawan Athena, Thucydides menulis kisah tentang perang Peloponnesian antara Sparta dan Athena, ada semacam “perangkap” benturan antara dua negara atau kerajaan.
Zihad Azad dalam reviewnya untuk buku karya Kishore Mahbubani yang berjudul “Has China Won”, menyebutkan bahwa perangkap benturan kekuatan ini terjadi ketika ada negara yang sedang naik posisi politiknya secara global, kemudian berbenturan dengan negara lain yang sebelumnya sudah menjadi penguasa global – dalam hal ini misalnya yang terjadi pada the rising Tiongkok vs the Mighty AS.
Benturan-benturan yang demikian ini memang tidak terhindarkan, namun sudah selayaknya dipetik pelajaran darinya agar tidak berdampak buruk terhadap keseluruhan peradaban manusia. Benturan yang demikian ini setidaknya sudah terjadi sebanyak 16 kali dalam 500 tahun terakhir, mulai dari Romawi vs Persia, Inggris vs Jerman, dan lain sebagainya. Kebanyakan akhir dari benturan tersebut adalah perang terbuka dan kerusakan.
Jika tak mengambil pelajaran darinya, bukan tidak mungkin benturan antara AS dan Tiongkok kali ini juga akan melahirkan ketegangan-ketegangan terbuka, yang bisa berujung pada kehancuran jika perang terbuka terjadi di kemudian hari.
Lalu, seperti apa dampaknya untuk Indonesia?
Jokowi dan Pengulangan Sejarah
Di bawah kekuasaan Presiden Jokowi, Indonesia memang dihadapkan pada pilihan sulit tersebut. Sepanjang setengah bagian dari periode pertama kekuasaannya, Jokowi menikmati kedekatannya dengan Tiongkok tanpa gangguan. Berbagai pinjaman, proyek dan investasi yang dilakukan oleh negara tersebut, berjalan beriringan dengan apa yang diinginkan oleh Jokowi.
Namun, setelah Trump mengambil alih kekuasaan, AS mulai berupaya bertarung pengaruh dengan cara yang konfrontatif, katakanlah lewat perang dagang. Kunjungan Mike Pompeo beberapa waktu lalu adalah penegasan bahwa negara tersebut akan melakukan segala cara agar Indonesia misalnya, menegaskan posisi politiknya secara lebih jelas.
Dengan kata lain, AS meminta negara seperti Indonesia untuk memilih kubu – apakah berkawan dengan Tiongkok atau dengan dirinya. Pilihan ini tentu saja bisa merugikan Indonesia yang nota bene selama ini menjalankan politik bebas aktif dengan tidak mengikatkan diri pada hubungan dengan satu negara tertentu.
Posisi Indonesia yang strategis secara geografis – dekat dengan Laut China Selatan – juga menjadi titik acuan perebutan pengaruh tersebut. Apalagi, baik Tiongkok maupun AS sama-sama punya keinginan membangun pangkalan militer di wilayah Indonesia. Proposal ini sifatnya sangat konfrontatif dan harus dilihat dengan kritis agar Indonesia tidak terjebak pada gejolak yang timbul akibat perangkap Thucydides seperti yang disebutkan Azad.
Garis politik Presiden Jokowi memang cenderung melihat hubungan internasional sebagai ajang pemenuhan kebutuhan ekonomi Indonesia. Namun, dalam hal hubungan antara AS dan Tiongkok, jangan sampai Indonesia terjebak dalam kubu-kubuan yang pada akhirnya bisa merugikan negara ini.
Well, tetap hati-hati juga dengan politik vaksin Tiongkok, pun dengan determinasi AS yang ingin mengembalikan posisinya di kawasan. Soalnya Soekarno pernah menjadi korban benturan antara Uni Soviet dan AS di masa lampau. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.