Seri pemikiran Fareed Zakaria #24
Efektivitas vaksin asal AS yang menjanjikan tampaknya dapat menjadi salah satu peluang bagi Presiden terpilih Joe Biden untuk mengembalikan kepemimpinan global negeri Paman Sam. Namun, mampukah Biden melakukan itu dengan segala tantangan dan kendala yang ada?
Hanya tinggal menunggu waktu bagi bergantinya tampuk kepemimpinan Amerika Serikat (AS) dari Donald Trump kepada Joe Biden. Dalam prosesnya, proyeksi dan ekspektasi terus bergulir, utamanya bagi perubahan apa yang kiranya akan dibawa oleh sang penakluk petahana.
Dalam sebuah tulisan di The Wall Street Journal yang berjudul The World Needs American Idealism Again, Fareed Zakaria pun menyoroti hal tersebut. Menyongsong era kepresidenan baru dan post-pandemic world atau dunia pasca pandemi, AS disebutnya punya kesempatan untuk memperoleh kembali optimisme dan idealismenya dalam tatanan global.
Secara historis, AS telah menunjukkan kepemimpinan terbaik dalam melalui berbagai macam krisis seperti Perang Dunia II maupun Perang Dingin. Yang mana AS tak melulu bertindak atas ambisi pengaruh dan kepentingannya sendiri, namun juga demi common good atau kebaikan bersama negara-negara lainnya.
Kendatipun diliputi reputasi yang tidak sempurna dalam perjalanannya seperti eksistensi konflik, penderitaan, maupun preseden hypocrisy, nyatanya hanya AS yang Fareed sebut berhasil membuat tatanan dan fundamental sistem kerja sama global yang memiliki nilai konstruktif.
Tantangan kekinian seperti kebangkitan Tiongkok dan pandemi Covid-19, disebut justru membuat sangat memungkinkan bagi AS untuk meninggalkan legacy dan kepemimpinan global yang lebih segar. Terkhusus melalui kepemimpinan baru, Joe Biden.
Hal ini juga disinggung oleh Samantha Power dalam acara GPS di CNN yang dipandu Fareed. Eks duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyebutkan sejumlah hal konkret yang bisa dilakukan AS dan Biden untuk memulihkan kembali kepemimpinan global, salah satunya melalui global vaccine distribution atau distribusi vaksin global.
Apa yang disampaikan Samantha agaknya memang memiliki landasan kuat. Produsen vaksin asal AS, seperti Pfizer dan Moderna, belakangan ini menghembuskan optimisme saat anti-virus buatan mereka diklaim memiliki efektivitas di atas 90 persen.
Chairman dan CEO Pfizer Dr. Albert Bourla bahkan mengatakan estimasi efektivitas itu menjadi “hari yang luar biasa bagi sains dan kemanusiaan”.
Urgensi vaksin Covid-19 sendiri tampaknya memang tidak main-main. Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani, bahkan memastikan bahwa tidak akan ada pemulihan ekonomi di seluruh dunia sampai seluruh negara mendapatkan akses vaksin.
Dan konteks Presiden AS saat ini, Donald Trump yang pada KTT G-20 pekan lalu tak menyebut komitmen AS pada distribusi vaksin Covid-19 global, dinilai membuka peluang bagi Biden untuk mengambil alih kekosongan itu. Namun pertanyaannya, mampukah Biden mengembalikan kepemimpinan global AS melalui urgensi distribusi vaksin ke seluruh dunia?
Temui Kendala Besar?
Di bawah administrasi Trump, dengan retorikanya, AS menarik diri dari organisasi kesehatan dunia (WHO) dan rencana kerja distribusi vaksin yang disebut COVAX. Hal yang cukup kontras dari komitmen yang dilakukan rival AS – yakni Tiongkok dan Rusia – paling tidak dalam gelagat yang ditunjukkan dalam pertemuan KTT G-20 pekan lalu dari ketiga negara tersebut.
Dalam sebuah tulisan di Politico, Carmen Paun menyebut terpilihnya Biden telah membawa harapan bahwa AS akan merebut kembali kepemimpinan dan pengaruhnya dalam global health atau urusan kesehatan global.
Perkara vaksin Covid-19 dikatakan akan menjadi ujian penting bagi kepemimpinan global AS di bawah Biden. Paun melihat peluang AS untuk kembali aktif secara multilateral di era Biden akan ditentukan dari bergabungnya AS ke dalam COVAX.
Berkaca pada progres positif dari Pfizer dan Moderna, dan jika haluan Trump selama ini dapat diubah oleh Biden pasca disumpah kelak, agaknya akan mengawali impresi dan signifikansi berbeda atas peran AS dalam skala global. Tak terkecuali dalam aspek lain ke depannya.
Dari sisi domestik pun, angin seolah berpihak pada Biden dalam proyeksi misi global vaccine distribution. Selama kampanyenya, eks Senator negara bagian Delaware itu disokong oleh para bohir kelas kakap, mulai dari para donatur yang terkait dengan perusahaan teknologi hingga farmasi, di antaranya AmgenInc., Merck & Co., hingga Pfizer.
Ekspektasi pada Biden untuk mereformasi harga produk farmasi, menjadikan simbiosis dalam hal ekonomi politik tampaknya akan menjadi kunci yang dipegang sepenuhnya oleh Biden, termasuk dalam hal mendukung misi global vaccine distribution kelak.
Namun vaksin menjanjikan asal negeri Paman Sam memiliki kendala besar jika berbicara distribusi global. Secara teknis, vaksin Moderna dan Pfizer sama-sama membutuhkan penanganan dan distribusi yang sangat rumit, kompleks, dan menantang.
Vaksin Moderna membutuhkan suhu minus 20 derajat celsius untuk penyimpanannya, sementara Pfizer lebih ekstrem lagi dengan membutuhkan suhu minus 70 derajat celsius. Perkara teknis yang disebut sebagai cold chain atau rantai dingin ini sendiri wajib hukumnya untuk dikelola agar efektivitas dan keamanan vaksin terjaga hingga proses injeksinya.
Sejumlah perusahaan logistik besar memang telah mengumumkan komitmen untuk terlibat dalam jaringan distribusi dalam penanganan pandemi. UPS, FedEx dan DHL, misalnya, telah melakukan investasi besar dalam membangun fasilitas baru di pusat distribusi mereka yang dirancang untuk menyimpan ribuan dosis vaksin yang telah disepakati.
Untuk mengatasinya dalam konteks domestik, Biden memang mungkin saja dapat berhasil melalui skema public–private partnership (PPP) jika berkaca pada koneksinya dengan para donatur pemenangan.
Kendati demikian, proyeksi misi besar global vaccine distribution dalam merebut pengaruh pada level global tampaknya akan menemui jalan terjal. Hambatan vital distribusi seperti yang dijelaskan sebelumnya dinilai akan mempersulit suplai vaksin, khususnya bagi negara-negara berkembang dengan fasilitas yang terbatas.
Selain itu, kendala teknis yang ada pada vaksin asal AS itu, tak ditemui pada vaksin Sinovac asal Tiongkok, maupun vaksin Sputnik V asal Rusia. Hal tersebut menjadikan peluang merebut global leadership melalui misi global vaccine distribution yang disebutkan Samantha Power, tampaknya masih cukup berat untuk diimplementasikan Biden.
Lantas, dengan kondisi tersebut plus dinamika vaksin Covid-19 di tanah air yang sampai saat ini masih bergantung pada vaksin asal Tiongkok, apakah akan membuat Indonesia terjebak dalam pengaruh negeri Tirai Bambu ke depannya?
Masih Tanda Tanya?
Dengan pengumuman efektivitasnya, sejumlah negara telah mempersiapkan secara serius rantai distribusi bagi vaksin asal AS. Prancis misalnya, telah mempersiapkan pesawat, alat transportasi, dan tempat penyimpanan khusus demi “menyambut” vaksin asal negeri Paman Sam.
Sebuah hal yang agaknya cukup sulit dilakukan Indonesia dan telah diafirmasi pula oleh Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir. Hal ini tercermin saat pemerintah tampak tak antusias dengan vaksin asal AS seperti Pfizer dan Moderna.
Indonesia disebut Honesti belum memiliki kemampuan infrastruktur penyimpanan dan distribusi se-kompleks yang disyaratkan oleh vaksin asal AS. Akhirnya, kandidat vaksin yang dipilih menjadi terbatas, meskipun efektivitasnya dinilai sejumlah kalangan lebih besar.
Anggaran sebesar Rp 34 triliun sendiri telah dialokasikan oleh Menkeu Sri Mulyani, khusus untuk berbelanja vaksin yang paling tokcer. Akan tetapi, sekelumit dinamika yang ada membuat agenda vaksinasi pada bulan November oleh pemerintah molor ke waktu yang tak dapat ditentukan hingga saat ini.
Hal tersebut dikarenakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan tidak akan menerbitkan izin penggunaan dalam kondisi darurat atau emergency use authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19 Sinovac asal Tiongkok pada tahun ini, karena ada syarat yang tak bisa dipenuhi.
Pada titik ini, diskursus mengenai “kompetisi” global vaccine distribution dan perebutan pengaruh di baliknya, sesungguhnya tampak masih abu-abu. Vaksin Tiongkok tampak masih menemui kendala efektivitas dan keamanan, sementara vaksin AS terkendala prasyarat yang begitu kompleks.
Jika memaknai pernyataan Sri Mulyani bahwa tidak akan ada pemulihan ekonomi tanpa vaksin yang tepat dan terdistribusi dengan baik, Indonesia agaknya memang benar-benar harus cermat menempatkan diri untuk memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19.
Pemerintah dalam hal ini diharapkan pula untuk terus berupaya meningkatkan kualitas infrastruktur distribusi vaksin domestik.
Harapannya tentu agar kandidat vaksin Covid-19 terbaik dapat diperoleh, dan prioritas pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dapat terlaksana sesegera mungkin saat vaksin terbaik itu ditemukan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)