Pembatalan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) alias Bung Hatta Award menjadi pertanda suramnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Diketahui, Bung Hatta Award merupakan sebuah komunitas yang rutin menggelar ajang penganugerahan penghargaan bagi insan Indonesia atas integritasnya serta bebas dari praktik korupsi. Perkumpulan ini didirikan sejak April 2003.
PinterPolitik.com
Beberapa tokoh penting Indonesia yang pernah memperoleh penghargaan Bung Hatta Award di antaranya Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat Wali Kota Solo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ketika menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, dan terbaru pada tahun 2015 diberikan ke Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Sesuai jadwalnya yang rutin digelar 2 tahun sekali, pergelaran Bung Hatta Award sendiri semestinya dihelat di tahun ini. Namun, berbagai pertimbangan, salah satunya terkait kian maraknya praktik korupsi akhir-akhir ini membuat ajang perhelatan ini terpaksa ditiadakan.
Berdasarkan keterangan salah satu pengurus Bung Hatta Award, Natalia Soebagjo, keputusan meniadakan ajang BHACA di tahun ini lantaran melihat komitmen pemerintah yang sudah mulai “berbeda sikap” dalam mendorong semangat pemberantasan korupsi di tanah air.
Kabar mengenai peniadaan BHACA juga dikomentari Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah. Febri mengatakan pihak KPK sendiri menghargai keputusan itu. Dia mengaku sependapat dengan alasan peniadaan Bung Hatta Award disebabkan kondisi korupsi di tanah air yang kian mencemaskan.
Betolak pada alasan pembatalan BHACA ini patut dijadikan momentum bersama untuk merenungkan nasib republik ini seperti apa ke depan, terutama dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Seperti kita ketahui, persoalan korupsi sendiri di Indonesia termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime), selain masalah terorisme dan penggunaan narkotika.
Presiden Jokowi bahkan pada 2017 silam pernah mengatakan secara tegas kalau korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diperangi bersama.
Pelopor kajian Filsafat Indonesia Jacob Sumardjo menganalogikan korupsi ibarat kanker yang menggerogoti tubuh manusia. Jika ini dibiarkan, maka bahaya korupsi perlahan melenyapkan sebuah negara.
Mirisnya, Indonesia bahkan tidak sekadar dilanda korupsi. Lebih dari itu, level korupsi di Indonesia masuk dalam kategori negara darurat korupsi, di mana korupsi hampir dijumpai di setiap lembaga pemerintahan.
Indonesian Corruption Watch (ICW) misalnya merilis laporan yang menyebutkan bahwa untuk kasus korupsi dana desa saja antara 2015-2018 terdapat 252 kasus korupsi. Ini belum termasuk korupsi yang terjadi di instansi pemerintah pusat, daerah dan perusahaan negara.
Menimbang tingkat keparahan korupsi yang kian menghawatirkan, patut dipertanyakan bagaimana komitmen dan upaya pemerintah dalam menangani persoalan genting ini? Mengapa korupsi terjadi sedemikian parah?
Korupsi di Era Post-Soeharto
Department for International Development (DFID) yang berbasis di Inggris, mendefinisikan korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan sumber daya atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Jika pada era kepemimpan Soeharto korupsi hanya tersentral di lingkaran sahabat, family, dan kelompok loyalis Soeharto, maka di era reformasi konfigurasinya mulai mengalami perubahan akibat terjadinya pergeseran formasi kekuasaan ke bentuk oligarkis.
Meminjam istilah sosiolog politik berkebangsaan Jepang, Yuki Fukuoka, dalam tulisannya Politics, Business and the State in Post-Soeharto Indonesia, fenomena tersebut menandakan pergeseran dari hubungan bisnis-politik yang semula bercorak administrasi patrimonial ke oligarki patrimonial. Patrimonial itu sendiri adalah sebutan untuk kondisi ketika otoritas kekuasaan bertumpu pada kekuasaan personal pemimpin.
Memahami pergeseran kekuasaan tersebut sangat penting sebab tidak sekadar memberikan kita sebuah kerangka pembacaan baru dalam memahami dinamika kekuasaan pasca-Soeharto. Lebih dari itu, kerangka analisis tersebut juga memudahkan kita dalam membongkar modus operandi praktik korupsi yang berlangsung masif saat ini.
Menimbang begitu pentingnya analisis kekuasaan oligarkis, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa membaca mata rantai praktik korupsi di Indonesia pasca-Soeharto tidak akan lengkap kalau tidak disertai pemahaman terhadap dinamika kekuasaan oligarki itu sendiri.
Pasalnya, praktik korupsi di Indonesia pascareformasi tidak bisa dilepaskan dari dinamika tersebut. Fukuoka menyebut, terjadinya perubahan relasi kekuasaan ini turut mengubah pola hubungan bisnis-politik patronase gaya lama.
Para elite bisnis saat ini tidak lagi bergantung sepenuhnya terhadap elite birokratik sebab mereka kini memiliki kesempatan lebih terbuka untuk mengakses sumber daya politik. Atau, bisa juga disebut derajat ketergantungan tersebut sedikit mengalami penurunan.
Ini disebabkan reformasi menyediakan ruang lebih terbuka bagi para elite bisnis mengakses sejumlah kekayaan tanpa harus menjalin hubungan ekslusif dengan para birokrat. Meskipun, dalam beberapa kasus, seperti kasus suap impor ikan yang melibatkan mantan Dirut Perum Perikanan Indonesia, Risyanto Suanda, menunjukkan masih kentalnya korupsi yang timbul dari hubungan bisnis-politik yang melibatkan pengusaha dan elite birokratik.
Reformasi, singkatnya, menghadirkan peluang baru yang terbuka bagi siapa saja untuk menduduki posisi strategis melalui sarana formal yang jauh lebih terbuka dibandingkan pada masa sebelumnya.
Alhasil, kesempatan ini dimanfaatkan oleh para aktor-aktor baru yang semula tidak memiliki akses ke dalam (politik formal), kini peluangnya terbuka lebar untuk menjadi bagian dari elite birokrat melalui mekanisme formal yang diatur dalam demokrasi.
Dengan kata lain, semangat demokratisasi dan desentralisasi memberikan banyak kemudahan bagi aktor-aktor baru memasuki arena politik. Sebagian dari mereka merupakan pemain baru yang tidak memiliki ikatan atau hubungan langsung dengan rezim sebelumnya.
Sejumlah kasus korupsi yang menyeret para pejabat daerah, seperti dalam catatan KPK, sejak 2004-2019 yang jumlahnya mencapai 124 kasus, merupakan bukti kuat betapa korupsi tumbuh subur seiring berhembusnya keran desentralisasi dan kentalnya dinamika oligarki lokal.
Harus diakui bahwa sebagian besar para kepala daerah yang terjerat korupsi adalah mereka yang menikmati insentif demokratisasi dan desentralisasi – buah dari reformasi.
Bisa dibilang, muncul sebuah pola baru praktik korupsi yang jauh lebih masif di tubuh institusi publik melalui kanal-kanal yang difasilitasi langsung oleh saluran demokrasi.
Dengan demikian, politik elektoral (Pemilu/Pilkada) menjadi momentum penting bagi pembiakan koruptor-koruptor mulai dari pusat hingga daerah.
Jika kini ada istilah korupsi tidak lagi terpusat di Jakarta alias tersentral pada pemerintah pusat, melainkan telah menjalar ke mana-mana hingga ke daerah-daerah, maka hal itu tidak bisa dibaca terpisah sebagai dampak pergeseran lempeng kekuasaan itu sendiri.
Menagih Janji Jokowi Perangi Korupsi
Rimawan Pradiptyo dalam Dampak Sosial Korupsi mengemukakan, pola korupsi yang terjadi di Indonesia umumnya melibatkan para penyelenggara pemerintahan dan pihak swasta atau pengusaha.
Lebih jauh, Maira Martini dalam Causes of Corruption in Indonesia mengatakan, untuk kasus di Indonesia, korupsi terjadi disebabkan oleh beragam faktor, seperti kepentingan terselubung dan koneksi politik yang dimiliki koruptor, kualitas regulasi yang buruk, dan lemahnya independensi lembaga peradilan.
Terkait situasi ini, saat kampanye Pilpres 2014 silam, Presiden Jokowi yang kala itu masih menjadi calon presiden mengatakan berkomitmen memberantas korupsi di tanah air salah satunya lewat penguatan KPK. Hal itu tercermin dalam semangat Nawa Cita Jokowi.
Sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita ke-4, Jokowi menyatakan akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Banyak pihak yang selama ini merasa prihatin seakan terobati seketika mendengar salah satu poin Nawa Cita Jokowi yang ingin memerangi korupsi tersebut.
Sayangnya, dalam perjalanan pemerintahannya, janji tersebut seakan hanya hitam di atas putih. Faktanya bahkan nyaris bertolak belakang.
Jokowi misalnya sebelumnya mengatakan akan memperkuat lembaga antirasuah tersebut dengan menaikkan anggaran KPK, bahkan hingga 10 kali lipat.
Namun, faktanya anggaran KPK terus menyusut sejak periode pertama Jokowi menjabat presiden. Ini bisa dilihat dari pengucuran anggaran KPK yang cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan pada awal anggaran.
Pada 2016, anggaran KPK mencapai Rp 991,8 miliar. Namun anggaran tersebut menurun pada 2017 yang hanya Rp 734,2 miliar. Anggaran itu hanya sedikit mengalami kenaikan di 2018, yakni Rp 744 miliar. Pada anggaran 2019 angkanya pun tidak naik signifikan, yakni hanya Rp 813,5 miliar.
Mencermati porsi alokasi anggaran dari pemerintah untuk lembaga antirasuah tersebut dapat disimpulkan, selama menjabat presiden pada periode pertama, Jokowi sama sekali mengingkari janjinya untuk menaikkan anggaran KPK yang bahkan katanya sampai 10 kali lipat.
Di sisi lain, komitmen Jokowi di awal bahwa dirinya akan memperkuat KPK ternyata jauh dari realita. Alih-alih memperkuat KPK, Jokowi justru belakangan menghindar saat KPK diterpa prahara politik.
Jokowi justru memilih bungkam saat KPK sedang dikeroyok bahkan dilucuti peran dan kewenangannya sedemikian rupa melalui revisi UU KPK.
Tidak hanya itu, Jokowi juga dinilai turut mendukung Ketua KPK baru, Firli Bahuri, yang justru dituduh tersandung masalah pelanggaran kode etik saat masih menjadi penyidik. Yang terbaru, Jokowi bahkan tak hadir dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkordia) yang diadakan KPK. Ia justru lebih memilih menyaksikan para menterinya bermain drama di SMKN 57 Jakarta.
Berangkat dari rentetan indikasi tersebut bisa dikatakan ada penurunan semangat Jokowi dalam memperkuat lembaga antirasuah tersebut, berikut komitmennya memberantas korupsi. Dengan demikian, janjinya di awal akan memerangi korupsi di Indonesia layak dipertanyakan. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.