Pada akhir Juli lalu muncul hoaks adanya acara deklarasi Budi Gunawan (BG) dan Tito Karnavian sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pilpres 2024. Meskipun hanya sekadar hoaks, dua sosok besar di tubuh Korps Bhayangkara ini memang pantas dan menarik untuk dipertimbangkan dalam Pilpres 2024. Bahkan jika benar mencalonkan diri, BG dan Tito dapat membuka sejarah baru perpolitikan Indonesia. Mungkinkah terjadi?
PinterPolitik.com
Tidak hanya melalui hoaks, masuknya nama BG dan Tito dalam bursa Pilpres 2024 juga sebelumnya sudah diprediksi oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Menurut LSI, BG dan Tito menjadi sosok capres yang potensial karena – seperti capres-capres sebelumnya – keduanya memiliki tingkat popularitas lebih dari 25 persen.
Kedua jenderal polisi tersebut memang beberapa kali diisukan akan menjadi RI-1 ataupun RI-2. Pada Pilpres 2019 misalnya, baik BG maupun Tito pernah diisukan akan mendampingi Jokowi sebagai Cawapres.
Lalu, seberapa mungkin keduanya maju dalam Pilpres 2024? Efek apa yang akan diberikan jika BG dan Tito benar-benar maju atau bahkan memenangkan Pilpres?
Modal Politik Bintang Empat
Jika memperhitungkan political capital alias modal politik yang dimiliki keduanya, rasa-rasanya cukup wajar jika BG dan Tito masuk ke dalam bursa Pilpres.
BG yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dikenal sangat dekat dengan dunia perpolitikan Indonesia, khususnya terhadap PDIP dan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri.
Dalam beberapa manuver politik besar belakangan ini, BG juga menjadi sosok yang selalu hadir atau setidaknya berada di balik layar.
BG misalnya, disebut sebagai sosok di balik terjadinya rekonsiliasi dan pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pasca Pilpres 2019.
Tidak hanya itu, BG juga disebut-sebut menjadi sosok penting di balik pertemuan Megawati-Prabowo yang membuat PDIP dan Gerindra semakin mesra.
Pengaruh BG terhadap PDIP dan Gerindra tidak bisa dianggap remeh, mengingat pada Pemilu 2019 keduanya menguasai total 32 persen suara pemilih nasional.
Dengan modal politiknya tersebut, BG juga memiliki potensi untuk menggeser tokoh politik lain seperti Luhut Binsar Pandjaitan ataupun Wiranto dari kursi Menkopolhukam, bahkan berpotensi menjadi Ketua Umum PDIP selanjutnya.
Lain BG, lain lagi Tito. Kapolri kelahiran Palembang, Sumatera Selatan ini tidak pernah secara terbuka terlibat dalam dunia perpolitikan Indonesia.
Ia juga pernah mengatakan bahwa dirinya belum tertarik untuk terjun ke dunia politik yang menurutnya banyak “sikut-sikutan” dan “sangat ribut”.
Ketika sudah keluar dari Polri, Tito sejauh ini selalu mengatakan bahwa dirinya ingin terjun ke dunia pendidikan, misalnya dengan menjadi pengajar di tingkat internasional khususnya dalam bidang teorrisme.
Kemampuan dan prestasi Tito di dunia kepolisian dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mendorongnya maju pada gelaran seperti Pilpres.
Memiliki sosok presiden dan wapres yang memiliki kemampuan penanggulangan terorisme secara akademik maupun praktik akan sangat bermanfaat, mengingat saat ini radikalisme dan terorisme menjadi salah satu ancaman terbesar bagi Indonesia.
Saat ini hubungan Tito dengan BG sendiri nampaknya cukup baik, meskipun keduanya pernah menuai kontroversi.
Kontroversi yang terjadi terkait dengan adanya dua jenderal (bintang empat) dalam tubuh Polri pada tahun 2016.Tito dinilai beberapa pihak “melangkahi” BG yang lebih senior dalam memegang jabatan Kapolri.
Tito sendiri secara terbuka mengakui BG sebagai sosok yang berjasa besar bagi Polri. Tito melihat adanya BG di pusat kekuasaan pemerintah – kala menjabat sebagai ajudan Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden – sebagai suatu hal yang menguntungkan bagi Polri, khususnya dalam hal reformasi kepolisian.
Kekuatan Politik Baru?
Mungkin hal paling menarik dari munculnya nama BG dan Tito dalam bursa Pilpres 2024 ada dalam konteks sejarah.
Sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, tidak pernah ada presiden ataupun wapres yang berasal dari barisan kepolisian. Bahkan di bursa resmi capres dan cawapres pun belum pernah ada tokoh dari Korps Bhayangkara.
Menurut Saiful Umam, pengamat politik asal UIN Syarif Hidayatullah, persepsi negatif masyarakat menjadi alasan kenapa selama ini polisi tidak masuk dalam bursa Pilpres.
Persepsi negatif yang dimaksud adalah adanya stigma di masyarakat bahwa polisi merupakan sosok yang korup, pungli, dan semacamnya.
Persepsi ini, lanjut Saiful, muncul karena masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari berhubungan langsung dengan Polisi, berbeda dengan TNI yang lebih fokus kepada pertahanan dan bukan pelayanan masyarakat.
Pandangan Saiful ini cukup masuk akal mengingat, berdasarkan survei Charta Politika tahun 2018, TNI merupakan institusi negara yang paling dipercaya masyarakat dengan angka 73,5 persen, sementara Polri ada di peringkat keempat dengan tingkat kepercayaan 50,4 persen.
Dengan demikian bisa saja selama ini parpol-parpol merasa lebih diuntungkan dan potensi menang akan lebih besar jika sosok yang didukung dalam Pilpres berasal dari barisan TNI dibandingkan Polri.
Namun, majunya capres dan cawapres dari Kepolisian juga berpotensi mempertajam kembali rivalitas antara TNI dan Polri.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, belum pernah ada sosok dari kepolisian yang benar-benar maju dalam Pilpres apalagi menjadi presiden atau wapres.
Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan TNI yang tokoh-tokohnya sudah lebih dahulu terjun dalam Pilpres, bahkan berhasil menduduki puncak kekuasaan.
Ada Soeharto yang sebelum mengambil alih kursi kepresiden, berkarier di militer dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Kemudian ada mantan Panglima ABRI Try Sutrisno yang menjadi wakil presiden.
Masuk ke era-reformasi, ada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial TNI dengan pangkat Letnan Jenderal.
Di luar tiga nama ini, masih ada nama purnawirawan TNI lain seperti Wiranto, Prabowo, dan Agum Gumelar yang mewarnai bursa Pilpres sejak tahun 2004 hingga 2019.
Dengan demikian masuknya tokoh Polri secara langsung akan menghadirkan kekuatan politik baru yang berpotensi berbenturan dengan tokoh-tokoh TNI yang juga maju dalam Pilpres.
Mengingat adanya sejarah rivalitas antara TNI dan Polri, sosok presiden yang berasal dari kepolisian juga dapat menimbulkan resistensi dari kelompok pro-TNI.
Dalam hal struktur atau alur birokrasi pemerintahan misalnya, Polri berada langsung di bawah presiden sementara TNI untuk urusan anggaran, administrasi, kebijakan dan strategi pertahanan harus berkoordinasi dengan Menteri Pertahanan (Menhan).
Kondisi inilah yang membuat beberapa pihak melihat adanya ketidakadilan antara TNI dengan Polri karena institusi terakhir dianggap memliki “akses langsung” kepada presiden.
Ketidakadilan atau kecemburuan inilah yang diduga kuat menjadi alasan kenapa muncul wacana agar Polri, seperti TNI, berada di bawah kementerian.
Jika struktur TNI-Polri di pemerintahan tidak berubah, sementara presiden-nya berlatar belakang kepolisian, kondisi ini akan semakin memperkuat posisi Polri.
Tidak berhenti di situ, presiden dengan latar belakang kepolisian dikhawatirkan akan menimbulkan kesan bahwa TNI berada di bawah Polri.
Bukan tanpa sebab, sebagai Panglima Tertinggi, presiden memang memiliki kontrol yang kuat terhadap TNI.
Mulai dari alokasi anggaran, pemilihan panglima, hingga pengerahan pasukan, semuanya – dalam batas tertentu – bergantung kepada keinginan sang presiden.
Terakhir, jika benar BG, Tito, ataupun tokoh Kepolisian lainnya maju bahkan menang pada Pilpres 2024, tidak menutup kemungkinan kondisi tersebut akan memperkuat lagi pandangan bahwa Indonesia sedang menuju ke arah police state alias negara polisi.
Negara polisi adalah suatu negara di mana pemerintahannya mengarah kepada totalitarianisme terutama dalam hal membatasi kebebasan berekspresi masyarakatnya.
Totalitarianisme ini dicapai dengan menggunakan kekuatan polisi yang memainkan peran sentral dalam perpolitikan.
Pandangan ini pertama muncul karena selama masa pemerintahan Jokowi, sudah ada 18 orang yang dituduh melakukan tindakan makar.
Penggunaan pasal makar ini juga diduga dilakukan pemerintahan Jokowi untuk menyingkirkan oposisi atau lawan-lawan politiknya dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Pandangan negara polisi ini juga muncul karena banyaknya jabatan-jabatan strategis pemerintahan diluar Polri yang dijabat oleh anggota aktif ataupun mantan anggota Polri.
Kondisi ini diperkuat dengan terpilihnya pejabat Polri aktif Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 yang menuai banyak kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan.
Dengan kondisi yang sudah ada, ditambah jika pimpinan pemerintahan dan negara juga dikuasai oleh barisan Kepolisian, Indonesia bisa benar-benar secara harfiah menjadi negara polisi, yaitu negara yang penjabat tingginya banyak berasal dari kepolisian.
Menarik untuk diikuti apakah BG-Tito ataupun tokoh kepolisian lainnya akan membuka babak baru dan menjadi awal semakin kuatnya campur tangan Polri dalam perpolitikan Indonesia. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.