Site icon PinterPolitik.com

BG, Logika Perpetuasi Radikalisme

BG, Logika Perpetuasi Radikalisme

Kepala BIN menyebut 39 persen mahasiswa di Indonesia terpapar radikalisme. (Foto: Detik)

Gugatan HTI telah ditolak pengadilan. Sementara, di sebuah acara Kongres BEM Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU), Kepala BIN menyebut ada 39 persen mahasiswa yang terpapar radikalisme. Inikah bentuk perpetuasi (kekekalan) radikalisme?


PinterPolitik.com

“Terrorism has no nationality or religion.” – Vladimir Putin

[dropcap]K[/dropcap]isah Perang Dingin merupakan salah satu penggambaran benturan ideologi terbesar sepanjang sejarah, yang terjadi antara dua kutub besar: komunisme melawan liberalisme pasar bebas. Dua ideologi ini punya kemampuan menentukan arah peradaban masing-masing.

Namun kisah pertentangan dua kutub dalam peradaban semacam ini, sudah terjadi berabad-abad lamanya. Mulai dari kisah Athena dan Sparta yang menjadi panggung demokrasi vs oligarki, hingga kisah kerusuhan Nika (532 M) di Konstantinopel pada era kekuasaan Kaisar Justinian I, antara kelompok Hijau (greens) melawan kelompok Biru (blues) yang mewakili perbenturan fundamental parpol dan teologi.

Setelah bertahun-tahun kisah-kisah tersebut menjadi cerita pengantar tidur dan dikemas dalam film-film kolosal, dua dekade terakhir, benturan dua kutub besar kembali mewujud, terutama pasca tragedi 11 September 2001. Nine eleven – demikian peristiwa itu disebut – menjadi tonggak benturan kutub-kutub baru dengan tajuk “perang melawan terorisme”.

Pertentangan itu kemudian dikenal sebagai “perang peradaban” yang oleh Huntington disebut sebagai clash of civilization, sementara oleh Benjamin R. Barber diistilahkan dengan Jihad vs McWorld. Tragedi nine eleven menjadi awal perang-perang di abad ke-21, serta menjadi aksi melawan kejahatan lintas negara (trans-national crime) yang dikemas dengan cita rasa film-film Hollywood.

Apa yang terjadi secara global itu, kemudian akhirnya berdampak di Indonesia. Setelah menunjukkan diri melalui serangkaian aksi teror dalam beberapa tahun terakhir, kini Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) menyebut paham radikalisme berbasis agama sedang mengambil celah baru untuk menghidupi dirinya.

BG menyebut radikalisme mulai memasuki wilayah kampus-kampus sebagai basis persemaian ideologinya. Tidak tanggung-tanggung, mantan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) yang pernah menjadi Asisten Pribadi Presiden Megawati Soekarnoputri ini bahkan menyebut 39 persen mahasiswa di Indonesia terpapar paham radikalisme.

Jika demikian, dengan ditolaknya gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), apa benar sebegitu parahnya radikalisme di Indonesia?

Perpetuasi Radikalisme

Selalu ada perdebatan panjang mengenai apa benar radikalisme – dengan agama sebagai identitasnya – sedang menjadi bahaya di Indonesia? Untuk diketahui, radikalisme itu sendiri adalah gerakan yang menginginkan perubahan yang fundamental (dalam bahasa Latin, radix ­= akar) dalam masyarakat.

Jika berkaca dari survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada akhir 2017 lalu, setidaknya ada 4 persen orang Indonesia yang setuju dengan gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), di mana 5 persen di antaranya adalah mahasiswa. Artinya, ada sekitar 10 juta orang Indonesia yang setuju terhadap ISIS, dan 500 ribu di antaranya adalah mahasiswa.

Jumlah ini tentu saja tidak sedikit. Survei lain dari Saiful Mujani Research and Colsulting (SMRC), bahkan menyebut 9,2 persen warga negara Indonesia ingin mengganti NKRI dengan sistem “khilafah” – ide yang salah satunya diperjuangkan oleh HTI. Jika demikian, dengan menguatnya sentimen berbasis fundamentalis agama, separah itukah radikalisme di Indonesia, seperti yang disebut oleh BG?

Sabar dulu, nyatanya radikalisme itu tidak sesederhana demikian. Ada dimensi-dimensi lain yang membuat paham yang satu ini dianggap lebih kompleks dari sekedar fundamentalisme agama.

Sudah menjadi rahasia umum jika ISIS, Al-Qaeda, atau Taliban yang dianggap sebagai kelompok-kelompok teroris, memiliki latar panjang yang berhulu pada konflik kepentingan yang justru berbasis pada ekonomi.

Taliban misalnya, awalnya merupakan kelompok yang didanai dan dipersenjatai oleh Amerika Serikat (AS) untuk memerangi Uni Soviet di Afghanistan, sebagai perwujudan perebutan ladang migas dan pengaruh geopolitik.

Demikian juga halnya dengan ISIS yang diciptakan oleh AS untuk mengamankan kepentingan ekonomi-politiknya di kawasan Timur Tengah. Begitupun dengan Al-Qaeda yang didirikan oleh bekas anggota Mujahideen – kelompok yang dipersenjatai dan didanai AS.

Hal ini tentu kontradiktif dengan perjuangan AS yang justru menggembar-gemborkan perang melawan kelompok-kelompok itu – hal yang membuat pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menyebut aksi tersebut sebagai “kebohongan”.

Tidak ada yang meragukan bahwa ada dimensi ekonomi politik yang kuat dalam setiap perang yang digelorakan oleh negara adikuasa tersebut. Mulai dari perebutan ladang migas, hingga konflik geopolitik beralaskan perebutan hegemoni menjadi menjadi inti yang dibungkus dengan fundamentalisme agama.

Fakta ini bisa dilihat pada ISIS. Panji-panji khilafah yang ingin didirikannya nyatanya hanya menjadi bungkus dari sebuah korporasi bisnis yang menjalankan aktivitasnya dengan kedok ideologi agama. ISIS menjalankan bisnis konflik dan persenjataan dengan perputaran uang yang tidak sedikit.

Jumlah uang yang dihasilkan dari bisnis ISIS – mulai dari pengelolaan ladang minyak hingga penarikan pajak dan uang tebusan sandera – bahkan mencapai US$ 2 milliar pada tahun 2015. (Baca: Dahsyat, Ternyata ISIS adalah Korporasi)

Selain itu, ada bisnis persenjataan yang diuntungkan dengan tetap adanya konflik melawan kelompok-kelompok teroris ini. Menariknya, industri senjata tersebut justru ada di negara-negara besar, termasuk di AS sendiri.

Pada titik ini, terorisme tidak lebih dari sekedar bandul hukum ekonomi: permintaan dan penawaran, demand dan supply. Maka, tidak heran jika Vladimir Putin bertanya: “Do you know who is fighting there?” ketika dimintai komentar tentang ISIS.

Jika demikian, apakah bisnis konflik dengan kedok radikalisme ini juga terjadi di Indonesia?

Sangat mungkin demikian. Faktanya, radikalisme yang berbasis fundamentalisme agama selalu punya dimensi ekonomi-politik. Selalu ada pertanyaan: “Siapa yang mendanai”, atau “Siapa yang diuntungkan”, dan lain sebagainya, ketika suatu kejadian yang disebut “teror” terjadi.

Radikalisme mengambil tempat di panggung politik sebagai bagian dari “kelompok penekan” – entah terhadap pemerintah atau untuk tujuan yang lain. Tidak sedikit di antaranya menjadi bagian dari proxy war atau perang pengaruh yang melibatkan kekuatan asing. Jangankan gerakan harakiri atau bom bunuh diri, ormas-ormas yang disebut “radikal” seperti HTI tidak sedikit yang mendapatkan pendanaan dari luar negeri.

Selain itu dalam tataran praktis, ada kepentingan yang selalu diperjuangkan melalui aktivitas pemberantasan terorisme. Hal ini bisa dilihat dalam film dokumenter yang dibuat Stasiun TV SBS Australia berjudul Do Indonesian Terrorists Have Friends in High Places? yang dirilis tahun 2005.

Film tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana upaya pemberantasan terorisme melibatkan dana-dana bantuan, yang tidak sedikit masuk ke kantong-kantong para politisi dan penegak hukum. Pada titik ini, ideologi – dalam hal ini agama – tidak lagi berdiri sebagai faktor tunggal.

Jika demikian, tidakkah berlebihan BG menyebut radikalisme telah mencapai bentuk yang berbeda dan berbahaya di Indonesia? Toh pasar bebas lah yang mengondisikan kelahiran gerakan-gerakan yang demikian.

BG dan Bentang Jihad vs McWorld

Seperti sudah disinggung di awal tulisan, Benjamin Barber menyebut pertarungan antara dua identitas – terorisme atau radikalisme dengan tajuk “Jihad” melawan globalisasi pasar bebas yang demokratis dengan tajuk “McWorld” – adalah benturan yang tidak sederhana. Jihad mewakili “dunia lama”, sementara McWorld mewakili “dunia baru”.

Dalam argumentasinya, Barber menyebut baik Jihad maupun McWorld menjadi muara yang lahir dari demokrasi liberal. Jihad lahir karena semangat nasional, kesukuan, dan ideologis untuk mempertahankan diri dari hegemoni global yang dapat mengancam kedaulatan kelompoknya.

Sementara McWorld yang berdiri di sisi lain, dengan bebasnya ingin menciptakan world without border sehingga justru dapat mengancam kedaulatan pihak lain. Pertentangan dua kubu ini, merupakan akibat dari mata pedang globalisasi – yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai juggernaut atau raksasa yang dengan kekuatannya menyapu segala sesuatu di sekitarnya.

Dalam konteks radikalisme berbasis agama, seringkali Jihad menjadi konsepsi yang digunakan oleh McWorld untuk mencapai tujuannya, demikian pun sebaliknya. Yang jelas, keduanya bersumber dari demokrasi liberal, dan pada titik tertentu menjadi identitas ekonomi-politik global.

Hubungan tersebut bisa dilihat dari fakta bahwa kelompok Jihad yang mewakili dunia lama, menyerukan anti-Barat dan perang terhadap demokrasi, namun mereka masih tetap makan Burger King dan minum kopi Starbucks ketika sarapan, atau menyaksikan The Tonight Show Starring Jimmy Fallon di NBC – yang semuanya adalah produk McWorld.

Sementara dalam kasus ISIS, McWorld menggunakan Jihad untuk mencapai kepentingan-kepentingan ekonomi politik yang ingin dicapai, mulai dari penguasaan minyak dan gas, perdagangan senjata, hingga pasar dan hegemoni di lingkungan internasional.

Jika demikian, pernyataan BG tentang radikalisme tidak bisa semata-mata diarahkan pada bahaya yang lahir akibat fundamentalisme agama saja. Ormas seperti HTI memang ingin mengganti dasar negara dengan sistem khilafah. Namun, ada pertautan kepentingan yang kompleks di dalamnya, bahkan termasuk dalam hubungan dengan kepentingan politik, katakanlah menuju Pilpres 2019.

Yang menjadi pertanyaan terbesarnya adalah apakah ada motif lain dari BG mengeluarkan pernyataan yang demikian? Hanya BG yang tahu. Yang jelas, dengan saratnya kepentingan, sangat mungkin radikalisme akan menjadi persoalan yang abadi, dan seperti kata Putin di awal tulisan ini, terorisme itu tidak punya agama. (S13)

Exit mobile version