Site icon PinterPolitik.com

Bersua HRS, Bumerang Bagi Anies?

Bersua HRS, Bumerang Bagi Anies

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. (Foto: spf.org)

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menjadi sosok elite pemerintahan pertama yang mengunjungi Habib Rizieq Shihab pasca kepulangannya dari Arab Saudi. Lantas, apakah langkah tersebut menguntungkan secara politik baginya atau justru sebaliknya?


PinterPolitik.com

Menjadi yang pertama seringkali bermakna istimewa dalam konteks apapun. Keistimewaan itu yang kemungkinan besar ingin diimpresikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ketika pada Selasa malam lalu mengunjungi Habib Rizieq Shihab (HRS).

Bagaimana tidak, siang hari itu Habib Rizieq baru saja touchdown di tanah air pasca menetap di Arab Saudi sejak April 2017. Dan malam harinya, Anies menjadi pejabat pemerintah pertama yang gercep berkunjung ke kediaman HRS di Petamburan.

Pertemuan itu sendiri disebut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain (Tengku Zul) – yang tak sengaja kebetulan datang bersamaan dengan Anies – sama sekali tidak membicarakan politik.

Ya, dalam unggahan foto Tengku Zul di instagram, Anies yang mengenakan jas hitam memang tampak terlibat dalam interaksi hangat dalam sebuah jamuan teh oleh HRS yang didampingi menantunya, Hanif Al-Athos.

Akan tetapi pernyataan Wasekjen MUI itu tak lantas meredam reaksi beragam dari berbagai kalangan. Politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno misalnya, mengatakan ada kemungkinan pertemuan itu merupakan penjajakan menuju Pileg-Pilpres mendatang.

Sementara politisi kawakan PKS yang juga anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, menyebut langkah eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu merupakan contoh yang baik dari pemimpin yang menghormati ulama.

Mardani kemudian berspekulasi bahwa dalam pertemuan tersebut semua kemungkinan pembicaraan ada, akan tetapi jika mengenai konteks Pilpres Ia menyebut masih cukup lama dan sangat dinamis.

Kemudian hal berbeda yang juga menjadi perhatian substansial sesungguhnya datang dari anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Ima Mahdiah. Dirinya menyebut bahwa Anies sebagai Gubernur menunjukkan sikap abai terhadap protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19.

Ima menganggap bahwa HRS yang seharusnya menjalani isolasi dan tidak dikunjungi, membuat preseden buruk seolah terpampang dari kunjungan Anies tersebut.

PDIP bahkan meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi Anies karena dinilai telah melanggar Perda wilayahnya sendiri tentang penanggulangan covid plus Surat Edaran (SE) Satgas COVID-19 Nasional.

Anies tentu bukan tidak memahami sorotan dari kubu PDIP tersebut, yang secara otomatis juga menimbulkan pertanyaan tersendiri perihal mengapa dirinya tetap melakukan langkah tersebut, yang bahkan membuat torehan tersendiri sebagai pejabat pemerintah pertama yang berkunjung?

Penetrasi Simbolis Awal?

Interaksi simbolik tampaknya dapat menjadi salah satu perspektif yang tepat untuk memaknai langkah atau manuver Anies dibalik sowannya ke Petamburan. Teori interaksi simbolik sendiri merupakan perspektif interaksional dan pertama kali dikemukakan oleh sosiolog sekaligus filsuf asal Amerika Serikat, George Herbert Mead.

Elvinaro Ardianto dan Bambang Anees dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu Komunikasi, menyebut interaksi simbolik dalam perspektif interaksional menganggap bahwa setiap individu memiliki esensi kultural atau kebudayaan dalam berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya akan menghasilkan makna tertentu.

Secara aplikatif khususnya dalam konteks politik, Graeme Gill dalam Symbolism and Politics menyebut bahwa untuk dapat berhasil mencapai makna dan tujuannya, simbol-simbol yang ada harus dapat beresonansi dengan perspektif masyarakat.

Bagi penguasa, simbol itu harus dapat selaras dengan dasar intelektual dan emosional masyarakat serta diarahkan untuk mendapatkan dukungan bagi rezim, plus, menjadi elemen kunci bagi proses politik yang berkelanjutan.

Sementara bagi oposisi, keselarasan tersebut diimplementasikan dan berlaku sebaliknya, yakni sebagai upaya untuk menentang status quo politik yang ada.

Ihwal ini yang juga menjadi simpulan awal dari Refly Harun atas kunjungan gercep Anies dengan Habib Rizieq selasa lalu. Refly menyebut bahwa pembahasan dalam pertemuan awal tersebut sesungguhnya tak terlampau penting dibanding pesan simbolik yang berusaha diejawantahkan.

Signifikansinya tentu terkait ketokohan vital Habib Rizieq, yang oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, disebut merupakan keistimewaan tersendiri.

Menurutnya, ketika ada tokoh publik seperti ulama maupun habaib yang pengikutnya banyak dan menjadi idola, biasanya banyak politisi yang cenderung ingin mengidentifikasikan dirinya dekat atau menjadi bagian dari tokoh itu.

Kendatipun dikatakan Tengku Zul tak membicarakan politik dalam pertemuannya, Anies memang mungkin saja berusaha menunjukkan simbol yang signifikan bahwa secara dasar intelektual dan emosional memiliki esensi yang lebih terhadap Habib Rizieq.

Terlebih secara momentum Anies menjadi pejabat pemerintah dan tokoh politik pertama yang menyambangi kediaman Habib Rizieq.

Dan meski saat ini Anies di DKI adalah penguasa, pada konteks nasional dan secara umum tak bisa dipungkiri bahwa eks Mendikbud tersebut acapkali tercermin sebagai oposisi. Terbukti dari kritik kepadanya selama ini yang datang dari kubu politik arus utama, bahkan yang datang dari level nasional.

Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon juga pernah berujar mengapa pemerintah pusat alias Istana seperti menempatkan dirinya sebagai oposisi Anies.

Variabel lainnya tentu tak bisa dilepaskan dari dinamika politik saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Kala itu, Anies juga pernah menyambangi markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan sebagai bagian dari kampanyenya dan tampak cukup hangat dengan HRS.

Dengan kata lain, Anies bisa saja ingin menyimbolkan bahwa secara politik dirinya “tak sendiri”, mengingat HRS notabene jamak diidentifikasikan juga kerap berseberangan dengan pemerintah.

Selain itu, romansa pertemuan di Petamburan juga kemungkinan dapat bermanfaat sebagai deposit tersendiri bagi Anies andai kata dirinya akan maju pada kontestasi elektoral, baik Pilkada DKI Jakarta 2022 ataupun Pilpres 2024. Artinya, makna simbolik bernuansa politis mendalam agaknya memang tampak dari inisiatif Anies yang sowan kepada Habib Rizieq pada Selasa lalu.

Langsung Diuji

Kendati hubungan Anies-HRS tampak cukup menjanjikan, relasi keduanya tampak langsung mendapat tantangan. Ya, tak lain dari agenda reuni akbar 212 yang mengemuka sepulang Habib Rizieq dari Arab Saudi dan akan mengambil tempat di Monumen Nasional atau Monas, Jakarta Pusat.

Persoalan tak lepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga membaik serta adanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta yang merupakan produk regulasi sang Gubernur.

Hal ini tentu akan menjadi ganjalan bagi Anies jika mengizinkan pelaksanaan reuni itu. Utamanya dari publik yang tak terwakili oleh segmen tersebut, hingga kubu politik yang berlawanan dengan Anies, yang dapat dipastikan akan membombardir dirinya dengan kritik tajam.

Oleh karenanya, akan menjadi pertanyaan sendiri apakah restu acara tersebut akan menjadi langkah politik dilematis bagi Anies?

Namun jawabannya mungkin saja tidak. Makna dari langkah kunjungan Anies kepada HRS yang telah dijelaskan sebelumnya, tampaknya telah dapat memberikan sedikit jawaban atas keputusan DKI-1 kelak.

Michael J. Steudeman dalam Entelechy and Irony in Political Time: The Preemptive Rhetoric menjabarkan konsep politik preemptive sebagai manuver untuk mendisrupsi situasi politik yang ada.

Politik preemptive terjadi ketika para aktor berdialektika pada momen yang lebih awal, untuk menciptakan nada yang paling bergema bagi komitmen politik dan ideologis mereka.

Mengacu pada postulat Steudeman itu, inisiatif kunjungan Anies ke Petamburan tampaknya memberikan gambaran manuver preemptive “yang menentukan” dari kemungkinan bahwa dirinya akan tetap mengizinkan acara tersebut terselenggara. Balai Kota sendiri telah mengonfirmasi bahwa acara reuni 212 itu tinggal bergantung pada Pergub Anies soal PSBB mendatang.

Jika itu terjadi, potensi efek bumerang dinilai memang akan dialami Anies, terutama atas kritik dan preseden kontraproduktif dari para lawan politiknya, maupun dari kalangan masyarakat yang tak sepenuhnya sependapat dengan tetap dilangsungkannya acara tersebut.

Belum lagi ketika mengacu pada hubungan antara pemerintah pusat dan Anies yang kadang kala dianggap fluktuatif. Jika pemberian izin itu akhirnya diberikan, bukan tidak mungkin pusat akan menganggap Anies mengabaikan persoalan pandemi demi kepentingan politik.

Bagaimanapun, pada akhirnya publik secara umum tentu menginginkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan bersama. Keputusan yang hanya relevan bagi sebagian kalangan tetapi berpotensi sebalikanya bagi kalangan yang lebih luas, dinilai akan menjadi preseden politik yang justru kurang positif.

Oleh karenanya, berbagai langkah Anies ke depannya dalam menyikapi kembalinya HRS kemungkinan akan cukup menentukan atmosfer sosial politik yang ada. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version