Masyarakat Indonesia, terutama umat Muslim, kembali kehilangan ulama besarnya. KH. Hasyim Muzadi terkenal dengan dakwahnya yang sejuk dan humor-humornya yang segar.
pinterpolitik.com
“Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Kiai Haji Ahmad Hasyim Muzadi di kediamannya di Malang, pagi tadi. Bangsa ini kehilangan salah satu ulama, guru, penjaga terdepan kebhinekaan.” ~ Presiden Jokowi, Kamis (16/3).
Baru sehari setelah diberitakan kondisinya membaik, pagi ini pukul 06.15 WIB, K.H. Ahmad Hasyim Muzadi telah berpulang ke Rahmatullah. Kiai Hasyim sempat dirawat di Rumah Sakit Lavalette beberapa kali. Senin (13/3) lalu, pendiri Pondok Pesantren Al-Hikam, Beji, Depok ini sudah keluar dari rumah sakit. Bahkan Presiden Jokowi beserta Ibu Iriana pun sempat menjenguk beliau, pada Rabu (15/3) kemarin.
Ketua tim dokter yang menangani Kiai Hasyim, dr Hariadi Moeljosoedirjo, menjelaskan kalau Kiai menderita berbagai komplikasi penyakit. “Beliau sakit kuning, kencing manis, dan batuk-batuk. Namun tidak kuat mengeluarkan dahak sehingga sesak napas,” terangnya. Untuk mengatasi sesaknya, tim dokter sempat menyedot dahak yang menyumbat tenggorokan. “Tadinya tidak kersa dhahar (tidak mau makan), jadi daya tahan tubuh menurun lalu kena infeksi, tiduran terus lalu batuk.”
Namun takdir berkata lain, Allah SWT memanggilnya hanya tiga hari setelah kembali ke rumah. Kiai Hasyim wafat di usia 72 tahun, meninggalkan Hj. Muthamimah dan keenam anak mereka yang telah dewasa. Lahir di Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1943, beliau adalah tokoh Islam Indonesia dan mantan ketua umum Nahdlatul Ulama. Hingga akhir hayatnya, beliau menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 19 Januari 2015.
PBNU sendiri mengaku sangat berduka atas kehilangan salah satu tokohnya. Sekjen PBNU Helmy Faisal Zaini mengatakan, sosok Kiai Hasyim dikenal sebagai ulama yang terus berupaya membangun kesejukan umat.
“Kami sangat berduka sekali. Kami kehilangan sosok ulama besar yang selama ini memimpin umat yang menyejukkan, menenangkan. Salah satu ulama yang terus mengajak, membangun ukhuwah persaudaraan dengan siapa pun, agama apa pun,” kata Helmy seperti dikutip detik.com.
Menurutnya, gaya ceramah Kiai Hasyim yang begitu membekas bagi banyak orang. Sebab, beliau kerap menyisipkan lelucon dan membuat isi ceramah dapat dimengerti. “Beliau selalu punya cara yang menjelaskan hal rumit dengan mudah, dengan guyonan khas. Selalu dikenang umat dengan metodologi dakwah yang selama ini lebih mudah diterima oleh masyarakat awam,” kenangnya.
Ulama yang Berpolitik
“Orang yang tidak memperjuangkan umat tidak akan kekurangan, dan orang yang memperjuangkan diri sendiri belum tentu berlebihan.”
Ketika kecil, Kiai Hasyim tinggal di Tuban dan bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah di pada tahun 1950. Pendidikan beliau kemudian dilanjutkan di Pondok Modern Gontor Ponorogo, lalu menuntaskan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri Malang, Jawa Timur pada tahun 1969.
Kiprah organisasi beliau dimulai saat terpilih sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur di tahun 1992, yang diakuinya menjadi batu loncatan untuk mendapatkan kursi sebagai Ketua PBNU di tahun 1999. Beliau juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur di tahun 1986, saat masih bernaung di dalam Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Jabatannya sebagai Ketua PBNU, membuat Kiai sering bertemu dan berinteraksi dengan para politikus dan pejabat negara. Apalagi ketika beliau bergabung dengan PPP, jabatannya ini memberikan peluang besar untuk duduk di bangku pemerintahan. Pintu itu terbuka lebar saat Pemilu 2004. Saat itu, beliau didapuk Megawati Soekarnoputri untuk mendampinginya maju sebagai calon Wakil Presiden RI.
Pada 6 Mei 2004, pasangan Mega – Hasyim berhasil melewati putaran pertama Pemilu dengan peraihan suara 26,2 persen suara. Namun di putaran kedua, pasangan ini kalah pendapatan suara dari pasangan Susil0 Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Semenjak itu, Kiai Hasyim sepertinya memilih lebih banyak bergelut dibidang dakwah dan agama daripada politik.
Tak heran bila Mega yang kini masih menjabat sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan merasa sangat kehilangan, menurutnya Kiai Hasyim adalah sosok sahabat sejati sejak berjuang bersama pada Pilpres 2004. Mega juga menilai beliau sebagai sosok yang mampu menciptakan kedamaian.
“Beliau sosok yang mampu menciptakan suasana damai di tengah berbagai perbedaan. Selain dikenal pandangannya yang moderat, toleran dan penuh welas asih, Kiai Hasyim juga mampu menjadikan diri beliau sebagai jembatan persaudaraan umat beriman. Berbagai tokoh agama dan kepercayaan merasakan kebijaksanaan beliau,” kata Megawati seperti disampaikan Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, di Jakarta, Kamis.
Kiai Humoris
“Walisongo mengislamkan orang. Wali celana cingkrang mengkafirkan orang Islam.”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga warga NU, Mahfud MD, mengaku kehilangan sosok Kiai Hasyim yang bisa memberi teladan hidup sebagai orang Islam dan Indonesia sekaligus. Sebagai paduan yang harmonis, tidak konfrontatif. “Pak Hasyim bukan sekedar tokoh NU, tapi juga tokoh bangsa karena menguatkan bangunan toleransi di Indonesia. Saya kira itu yang tidak dibantah dari Kiai Hasyim.”
Mahfud juga mengenang Kiai Hasyim sebagai sosok humoris, terutama dalam menanggapi berbagai fenomena sosial terkini, selalu dimulai dengan humor ringan. Misalnya saat berdakwah dihadapan para narapidana, “Beliau bilang, ‘Orang itu harus hidup dengan lurus, ndak jadi penjahat kaya kamu itu. Kalau wajahmu kriminil gitu kan tidak bagus bagi masyarakat, tidak bagus bagi agama’. Orang pasti tertawa mendengarnya, baru setelah itu beliau beri nasehat,” kenang Mahfud.
Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU (RMINU) Hamzah Sahal dalam obituari Kiai Hasyim yang ditulisnya di portal NU, mengatakan kalau bahasa beliau adalah bahasa humor. Semua orang, dari rakyat yang tidak punya duit hingga para pejabat yang bergaji berlimpah, semuanya paham. Respon atas humor Pak Hasyim adalah tertawa gembira, baik yang disindir ataupun orang yang tidak terkait.
Dengan bahasa humor, Kiai bisa menjelaskan yang susah menjadi mudah. Di berbagai kesempatan, beliau sering mengatakan kalau perbedaan kiai dengan kaum intelektual adalah cara penyampaiannya. Kalau Kiai, mampu memudahkan persoalan yang sulit. Sementara kaum intelektual, menjelaskan persoalan yang mudah menjadi sulit.
Inilah istimewanya Kiai Hasyim Muzadi dalam ceramah-ceramahnya. Beliau seratus persen paham ilmu logika, gayanya sempurna, intonasinya sesuai, dan pilihan katanya tepat. Tidak semua singa podium memiliki kemahiran seperti itu. Di sinilah tidak menjadi penting siapa yang menciptakan humor, dan dari mana asalnya. Dua syarat humor bermutu hanya dua: pesan humor sampai dan orang tertawa. Selesai.
Humor Kritik Ala Nasrudin Hoja
“Orang yang tidak berbuat apapun, untuk kemaslahatan umat, justru akan dililit oleh permasalahannya sendiri.”
Hal yang sama juga diakui oleh Mahfud MD, ia ingat bagaimana Kiai Hasyim menanggapi cerita mengenai Dimas Kanjeng yang mampu menggandakan uang. Saat itu beliau bertanya, kalau Dimas Kanjeng bisa menggandakan uang kenapa malah mengumpulkan uang dari orang lain untuk digandakan.
“Mbok sudah, punya uang Rp 100 ribu gandakan sendiri dan hasil gandaannya digandakan lagi kan jadi banyak, enggak usah mengundang orang menggandakan uangnya. Kalau bisa begitu kan, bisa dibagi-bagi,” kenang Mahfud. “Nah itu kan lucu caranya. Orang kan mengerti tetapi tidak dengan menghardik-hardik. Sebenarnya logikanya seperti itu lalu dijelaskan dari sudut pandang agama oleh beliau.”
Gaya berdakwah dengan menggunakan humor, dikalangan para ulama maupun sufi, sudah dilakukan sejak lama. Salah satu tokoh sufi yang terkenal dengan kisah humornya adalah Nasrudin Hoja. Hal paling menarik dari cerita-cerita Nasrudin adalah kelucuannya yang sarat dengan makna filosofis, sufistik; menggelitik nalar dan hati nurani.
Walau masih ada keraguan apakah sosok Nasrudin benar-benar ada atau hanya sekedar tokoh rekaan, namun konon Nasrudin merupakan murid sufi dari Seyyid Mahmud Hayrani di Aksehir, barat laut Turki modern. Selanjutnya dikabarkan bahwa Nasrudin mengikuti Seyyeid Mahmud Hayrani, sebagai guru sufi keduanya, hijrah ke Aksehir dan menikah di sana.
Sementara pada abad ke-19, Mufti Sivrihisar, Huseyin Efendi, menulis dalam Mecmua-i Maarif bahwa Nasrudin lahir pada tahun 1208 di desa Hortu (sekarang disebut Nasreddin Hoca Koyu) bagian dari Sivrihisar dan meninggal 1284 di Aksehir, setelah hijrah ke sana. Menurut sumber ini, Nasrudin belajar di Sivrihisar dan madrasah Konya. Bahkan disebutkan bahwa dia belajar fikih sekaligus tasawuf langsung dari Mawlana Jala al-Din al-Rumi (1207-1273) di Konya saat itu.
Kisah-kisah lucu namun kaya akan pesan moral Nasrudin, biasanya penuh dengan pesan-pesan spiritual yang mencerahkan serta sarat dengan sindiran dan kritik yang cukup berani terhadap tirani, kekuasaan, ketimpangan sosial dan egoisme elit. Karena itulah, Nasrudin merupakan simbol keberanian, penentangan, sarkastis, ironis, dan komedi kritis di Timur Tengah.
Sindiran atau kritik berbalut humor itu pula yang dijadikan senjata bagi Kiai Hasyim untuk menyampaikan pesannya. Misalnya ketika berbicara di acara-acara resmi kenegaraan, beliau tak segan-segan menyentil kebijakan maupun tingkah laku seseorang dengan penuh humor. Salah satunya, tentang pemahaman Islam yang mulai radikal belakangan ini.
Ia heran karena banyak umat Islam yang memakai nama Muhammad tapi perilakunya tidak seperti Nabi Muhammad. Nabi Muhammad, katanya, membuat konsensus bernama Piagam Madinah, bukan Negara Islam. Di dalamnya tertuang kesepakatan-kesepakatan hidup bersama dengan damai. Semua orang diberi ruang untuk mengembangkan kehidupannya, tanpa membedakan latar belakang agama yang berbeda.
“Ini contoh oleh Rasulullah sendiri, bukan oleh orang lain. Di sinilah bedanya, Nabi Muhammad dengan Muhammad yang ada belakang ini,” celetuk beliau. Karena itulah, Presiden Jokowi merasa, kepergian beliau merupakan kehilangan putra terbaik bangsa. “Beliau seorang ulama besar yang selalu mendinginkan suasana, menyejukkan hati kita.”
Jenazah KH Hasyim Muzadi diberangkatkan ke Jakarta dari kediamannya di Malang, untuk dimakamkan siang ini di Pondok Pesantren Al Hikam, Depok, Jawa Barat. Upacara militer digelar sebelum jenazah diberangkatkan dari Malang. Selamat jalan Kiai, semoga khusnul khatimah. Indonesia tidak akan pernah melupakan ulama besar sepertimu. (berbagai sumber/R24)