Menurut penggagas komunitas Jokowi-Prabowo (Jokpro 2024) M. Qodari polarisasi ekstrem akan tetap terjadi di Pilpres 2024. Atas dasar itu, Qodari mengusung duet Jokowi-Prabowo sebagai solusi untuk meredamnya. Namun demikian, klaim polarisasi Qodari itu agaknya keliru. Mengapa demikian?
Wacana memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali terlontar dari Direktur Eksekutif Indo Barometer yang juga penggagas komunitas Jokowi-Prabowo (Jokpro 2024), M. Qodari. Seperti sebelumnya, duet ideal mantan Wali Kota Solo dari imajinasinya tak lain adalah Prabowo Subianto.
Itu menjadi solusi dari peringatan Qodari atas potensi politik identitas dan polarisasi ekstrem menuju tahun politik 2024, yang menurutnya, diprediksi akan semakin tajam.
Melalui pernyataannya pada akhir Juni lalu, dia yakin bahwa pertarungan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pasti akan dimanfaatkan oleh aktor politik untuk kemudian bekerja sama dengan kelompok-kelompok yang kerap mengkapitalisasi isu identitas.
Persaudaraan Alumni (PA) 212 dinilai akan menjadi salah satu pihak yang berpotensi bermain dan akan dirangkul untuk kepentingan politik.
Qodari bahkan merinci kekhawatirannya bahwa kelompok-kelompok itu akan melabeli Islam secara eksklusif kepada calon presiden (capres) tertentu yang akan bermuara pada terciptanya polarisasi ekstrem.
Argumen itu sendiri disampaikannya dengan mengacu pada tren yang terjadi di Pilpres 2014 dan 2019.
Di sisi lain, narasi Qodari yang bermakna amendemen konstitusi itu sekilas cukup riskan bagi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, terutama Presiden Jokowi maupun PDIP sebagai partai politik (parpol) penyokong. Terlebih, konteks polarisasi yang dikedepankan justru bisa saja memelihara dan memantik pembelahan itu sendiri.
Lantas, benarkah polarisasi menjadi ancaman serius di kontestasi elektoral 2024?
Polarisasi Hanya Mitos?
Isu polarisasi di tengah masyarakat sebagai pemilih bukanlah barang baru dalam perpolitikan, terutama di negara yang menganut asas demokratis. Sayangnya, konteks tersebut belakangan dimanfaatkan secara abstrak, khususnya sebagai daya tawar politik hingga melabeli kelompoknya sebagai antitesis dari polarisasi.
Mark Penn, seorang analis strategi politik asal Amerika Serikat (AS), dalam bukunya Microtrends: The Small Forces Behind Tomorrow’s Big Changes, memberikan seperangkat perspektif penting untuk memahami isu polarisasi politik, atau lebih rincinya polarisasi pemilih.
Alumni Harvard University itu menunjukkan serangkaian data statistik pemilih di AS. Negeri Paman Sam sendiri dikenal sebagai negara yang sangat terbelah secara politik. Setidaknya, itu tercermin jelas dari hitam-putihnya kecenderungan politik kekuasaan di sana, yakni antara Partai Demokrat dan Partai Republik.
Mengacu pada data statistik yang disajikan Penn, pemilih yang mengaku independen, atau bukan pendukung Demokrat maupun Republik, mengalami peningkatan dari seperempat menjadi lebih dari sepertiga dalam 50 tahun terakhir.
Di saat yang sama, Penn mengatakan pemilih independen merupakan penentu setiap kemenangan. Dia tidak sepakat dengan polarisasi yang tidak berubah atau bersifat baku. Menurutnya, mayoritas pemilih justru adalah swing voters.
Penn memberikan sampel, yakni sebuah survei pada tahun 1995. Ketika itu, jajak pendapat menunjukkan sekitar 65 persen pemilih menyebut tidak akan memilih Bill Clinton. Namun menariknya, setahun kemudian, Bill Clinton justru terpilih kembali dalam pemilu dengan suara yang signifikan.
Oleh karena itu, Penn sampai pada kesimpulan bahwa polarisasi pemilih yang bersifat baku sebenarnya hanya sebuah mitos.
Selain itu, dalam konteks Indonesia, fondasi keharmonisan di akar rumput sesungguhnya cukup baik. Kiranya kurang tepat juga mengatakan satu atau dua kasus perdebatan atau fenomena intoleransi disebut sebagai polarisasi secara utuh.
Jared Diamond dalam bukunya yang berjudul Upheaval: How Nations Cope with Crisis and Change juga menyiratkan hal yang sama, yakni eskalasi atas dasar agama di Indonesia masih jauh dibandingkan apa yang terjadi di negara-negara Asia Selatan dan Timur Tengah.
Secara umum, Diamond menyanjung kerukunan setiap umat beragama di Tanah Air mengingat sebagai negara dengan berbagai keragaman yang ada, Indonesia mampu menunjukkan stabilitas dan persatuan secara menakjubkan.
Mantan diplomat Singapura Kishore Mahbubani turut memberikan kesan positif bagi Indonesia. Dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Democratic Miracle, Mahbubani menyebut Indonesia merupakan mercusuar kebebasan dan demokrasi bagi dunia Muslim.
Menurut Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa periode Januari 2001-Mei 2002 itu, islamofobia secara mengejutkan tidak berkembang di Indonesia walaupun terjadi beberapa serangan terorisme besar, seperti bom Bali dan sederet aksi teror lain setelahnya. Berbeda halnya dengan satu negara yang menjadi komparasi Mahbubani, yakni AS, pasca teror 9/11.
Tidak heran kemudian apabila teradpat analisis yang menyebutkan bahwa pembelahan atau polarisasi yang terjadi di masyarakat kiranya hanya orkestra yang dimainkan oleh aktor politik yang menggunakan strategi kampanye penajaman identitas.
Paling tidak, hal itu dapat ditelaah dari eksistensi buzzer atau pendengung yang telah membuat keruh blantika politik Indonesia level teratas.
Kate Lamb dalam artikelnya yang berjudul I felt disgusted’: inside Indonesia’s fake Twitter account factories, menemukan kecenderungan itu dan menjabarkan dampak penggunaan buzzer politik pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 yang intens.
Dua kutub sentimen terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sama-sama menggunakan buzzer sebagai senjata politik. Di kubu kontra, Muslim Cyber Army (MCA) hadir dengan ratusan akun palsu serta anonim untuk menyebarkan konten bertendensi rasis agar Ahok kehilangan keterpilihan.
Sementara itu, di kubu pro Ahok, Lamb memaparkan salah satu tim buzzer yang mendapat bayaran sekitar US$280 per bulan untuk mengunggah 60 sampai 120 konten per hari di berbagai akun media sosial palsu mereka.
Dalam konteks serupa, pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati menyiratkan bahwa dalih polarisasi dan konfigurasi capres-cawapres bukanlah untuk menyatukan masyarakat, melainkan menyatukan kepentingan para elite politik.
Lalu, apakah kecenderungan itu dapat menjadi dasar untuk mengatakan bahwa kekhawatiran Qodari sama sekali tidak tepat?
Terima Kasih, Prabowo?
Greg Fealy, Sally White, dan Burhanuddin Muhtadi dalam Counter-polarisation and political expediency menyajikan data dan analisis yang cukup menarik.
Terdapat tren baru yang mereka sebut sebagai counter-polarisation atau kontra polarisasi yang muncul dalam tiga tahun terakhir. Momentum saat Prabowo Subianto memutuskan bergabung dengan pemerintahan Jokowi disebut menjadi pemantik utama dan jadi yang paling mencolok.
Berangkat dari data Lembaga Survei Indonesia (LSI), Fealy dkk mengatakan bahwa polarisasi bukanlah masalah level nasional yang signifikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Hal itu mengacu pada survei yang menemukan bahwa 11 persen responden merasa Indonesia sangat terpolarisasi dan 27 persen menganggapnya cukup terpolarisasi. Sementara 33 persen percaya hanya ada sedikit polarisasi dan 16 persen lainnya tidak melihat adanya polarisasi.
Polarisasi dikatakan hanya menjadi perhatian karena dimiliki oleh elit di wilayah perkotaan yang terdiri dari para profesional dan mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan lebih tinggi.
Tak hanya itu, survei menunjukkan sebesar 81 persen responden tidak keberatan untuk tinggal di dalam satu lingkungan dengan pendukung capres maupun pendukung partai politik (parpol) yang berbeda dengan pilihan mereka.
Oleh karena itu, polarisasi yang ada disebut Fealy dkk lebih bersifat elitis dibandingkan keprihatinan konkret di akar rumput. Plus, toleransi perbedaan politik serta tak signifikannya perpecahan antara kelompok pluralis dan Islam (konservatif), kontras dengan perkiraan-perkiraan seperti yang dikemukakan Qodari.
Terlebih, kekhawatiran Qodari agaknya memiliki tendensi tertentu ketika diiringi solusi saklek tiga periode yang membutuhkan energi besar untuk melakukan amendemen konstitusi.
Berdasarkan penjabaran di atas, diharapkan masyarakat sebagai pemilih dapat melihat konteks polarisasi secara lebih jernih. Tentu untuk menghindari jebakan orkestra pembelahan lebih awal, maupun dalih untuk “menyatukan” yang muaranya hanya demi persatuan kepentingan politik. (J61)