Setelah wawancara kursi kosong oleh jurnalis Najwa Shihab, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto kembali mendapat sorotan. Kini muncul petisi daring yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencopotnya dari jabatan Menkes lantaran dianggap gagal dalam menangani pandemi Covid-19. Akankah petisi ini berhasil menurunkan Terawan?
“And those people should not be listened to who keep saying the voice of the people is the voice of God, since the riotousness of the crowd is always very close to madness”- Alcuin of York
Kalimat di atas merupakan petikan dari isi surat Alcuin of York, seorang pendeta dan penyair Inggris kepada Maharaja Charlemagne di penghujung abad ke-8. Surat itu bertujuan untuk memperingatkan sang raja akan gerakan demokratisasi yang dapat mengancam kekuasaan monarki.
Kalimat tersebut kemudian dianggap sebagai asal usul lahirnya adagium ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ yang dalam bahasa latin berbunyi ‘vox populi, vox dei’. Jargon tersebut kemudian kerap diglorifikasikan oleh penganut paham demokrasi yang menempatkan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, paham yang kemudian juga dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalam konteks negara demokrasi, kehendak rakyat dapat disuarakan melalui berbagai instrumen, mulai dari forum-forum resmi seperti pemilihan umum dan jajak pendapat, media massa, hingga gerakan-gerakan sosial seperti demonstrasi, deklarasi dan penyampaian petisi.
Di Indonesia sendiri, penyampaian aspirasi melalui demonstrasi, deklarasi dan petisi bisa dianggap sebagai instrumen yang paling umum dan jamak dilakukan. Apalagi, kemunculan situs-situs penyedia layanan gerakan sosial seperti Change.org semakin memudahkan masyarakat untuk mengekspresikan kritik dan protesnya melalui petisi daring tanpa perlu terlibat langsung dalam aksi-aksi di jalanan.
Sejumlah isu nasional yang menyita perhatian publik, hampir bisa dipastikan akan memunculkan gerakan petisi online. Misalnya seperti gerakan #ReformasiDikorupsi tahun lalu. Petisi ini bahkan berhasil menggalang 2,3 juta pendukung dari total 8 petisi.
Salah satu petisi daring yang tengah hangat dibicarakan saat ini adalah wacana pencopotan Menteri Kesahatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Wacana ini memang kembali menghangat setelah jurnalis kondang, Najwa Shihab menayangkan video wawancara dengan sosok ‘imajiner’ Terawan.
Petisi tersebut diinisiasi oleh Koalisi untuk Indonesia Bebas COVID-19. Sejauh ini petisi pencopotan Terawan ini berhasil mendapatkan lebih dari 6.500 tanda tangan dari target awalnya sebanyak 5.000 tanda tangan.
Penyampaian petisi untuk menyuarakan protes terhadap penguasa sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum memasuki era reformasi. Pada 5 Mei 1980, misalnya, saat itu tak kurang dari 50 tokoh nasional memberanikan diri untuk melayangkan surat protes terhadap pemerintahan Orde Baru yang dikenal represif dan anti-kritik.
50 tokoh yang terdiri dari Mohammad Natsir, A.H. Nasution, S.K. Trimurti, hingga Ali Sadikin ini menggugat Presiden Soeharto yang dianggap telah menyalahgunakan Pancasila sebagai alat untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Surat protes tersebut kemudian dikenal dengan istilah Petisi 50.
Namun, meski sempat dibacakan di depan para anggota DPR RI pada 13 Mei 1980, Petisi 50 dianggap sebagai sebuah kegagalan. Meski diinisiasi oleh barisan tokoh nasional saat itu, gerakan tersebut dinilai nihil hasil lantaran Presiden Soeharto kala itu terlampau sakti.
Lalu bagaimana dengan konteks saat ini? Apakah kedudukan petisi telah mengalami perubahan pasca runtuhnya rezim Orde Baru?
Belum Miliki Kedudukan Hukum
Berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, tak dapat dipungkiri, menjadi salah satu penyebab merebaknya gerakan sosial yang dilakukan secara daring, termasuk petisi. Selain lebih efisien dan hemat biaya, metode ini juga mampu menggalang dukungan yang tak kalah banyak dibanding gerakan yang dilakukan secara konvensional.
Hampir setiap isu-isu nasional yang tengah mendapat sorotan masif juga bisa dipastikan akan memicu gerakan petisi melalui Change.org. Tak jarang juga di antara petisi-petisi tersebut berhasil mencapai tujuannya.
Misalnya pada 2018 lalu, petisi yang menolak pemberlakuan UU MD3 mampu mengumpulkan 240.000 dukungan. Petisi ini kemudian dianggap berhasil mencapai kemenangan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU yang baru disahkan tersebut.
Hal serupa juga terjadi pada 2019 lalu, di mana petisi yang menolak pengesahan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan 1 juta lebih pendukung dianggap berhasil memicu gelombang besar penolakan yang berujung pada pembatalan pengesahan beleid tersebut.
Signifikan peran petisi sebagai suara rakyat nyatanya memang mendapatkan pengakuan secara legal di sejumlah negara, salah satunya Amerika Serikat (AS). Di negeri Paman Sam tersebut, petisi diatur secara spesifik dalam Amendemen Pertama Konstitusi di mana pemerintah wajib menampung petisi yang diajukan oleh rakyat jika telah mendapatkan setidaknya 150 penandatangan.
Aturan hukum di AS bahkan mewajibkan pemerintah untuk menjawab petisi jika mendapatkan 100.000 dukungan dalam kurun waktu 30 hari.
Berbeda dengan AS, di Indonesia nyatanya hingga kini belum ada aturan hukum yang secara spesifik mengatur kedudukan petisi. Gerakan tersebut selama ini berpijak pada Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Meski begitu, pasal-pasal tersebut sebenarnya tak mengatur secara spesifik mengenai kedudukan hukum petisi.
Jika memang petisi merupakan salah satu bentuk penyampaian suara rakyat yang memiliki kedudukan tinggi dalam tatanan negara demokrasi, lalu mengapa hukum Indonesia hingga kini belum mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, agaknya kita harus merujuk kembali mengenai teori dasar demokrasi. Joseph A. Schemer menyebut demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
Namun dalam praktiknya, ideologi demokrasi sendiri memiliki beberapa jenis. Jika dilihat dari sudut pandang bentuk pemerintahan, demokrasi terbagi menjadi dua, yakni demokrasi langsung dan tidak langsung.
Dalam sistem demokrasi langsung, rakyat tidak mendelegasikan kekuasannya kepada orang lain ataupun perwakilan. Sebaliknya dalam sistem demokrasi tak langsung, rakyat tidak secara langsung mengambil bagian dalam pemerintahan, melainkan melalui lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Sistem ini juga dikenal sebagai demokrasi perwakilan.
Max Weber dan Schumpeter adalah pemikir-pemikir yang sangat mendukung penerapan demokrasi jenis ini. Keduanya menilai demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat sesuai dengan proses perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran.
Jika berkaca dari sini, maka kendati memiliki kedudukan hukum tertinggi, partisipasi dan suara rakyat tetaplah harus disampaikan melalui lembaga perwakilan dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian menjadi masuk akal mengapa Indonesia hingga kini tidak mengatur kedudukan petisi dalam tatanan hukum negara.
Lalu jika memang belum memiliki kedudukan hukum yang jelas di Indonesia, lantas apa yang menyebabkan sejumlah petisi berhasil mencapai tujuannya?
Membentuk Opini Publik
Meski secara legal belum terdapat aturan mengenai petisi, namun bukan berarti petisi tidak memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintah. Dukungan dalam petisi faktnya bisa menjadi kekuatan untuk memengaruhi opini publik sehingga menjadi bahan pertimbangan oleh para pemangku kebijakan.
Seorang sosiolog dan pakar politik Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann pernah memaparkan bagaimana suatu opini publik dapat terbentuk melalui teori yang Ia sebut The Spiral of Silence atau spiral kesunyian.
Teori ini menyebut bahwa seseorang yang berada pada posisi minoritas sering merasa perlu menyembunyikan pendapatnya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Sebaliknya, mereka yang berada di pihak mayoritas akan merasa percaya diri dengan pengaruh dari pandangan mereka dan terdorong untuk menyampaikannya kepada orang lain.
Media kemudian berfungsi menyebarluaskan opini publik yang menghasilkan pendapat atau pandangan yang dominan. Dengan demikian, mereka yang memiliki pandangan yang bertentangan dengan pandangan khalayak umum menjadi sulit untuk bersuara di media.
Hal inilah yang terjadi dalam petisi-petisi yang berhasil mencapai tujuannya. Dalam kasus UU MD3 dan RKUHP, misalnya, petisi sebenarnya hanya efektif untuk menyebarluaskan isu dan memperkuat tuntutan. Sementara tujuan dalam petisi dapat tercapai berkat tindakan lebih lanjut dari sekedar menandatangani petisi, misalnya melalui gugatan uji materi dalam persoalan UU MD3 dan demonstrasi besar-besaran dalam penolakan RKUHP.
Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa petisi daring untuk mencopot Terawan hanyalah sebagai sarana untuk membuat isu tersebut menjadi opini publik yang cenderung disepakati oleh khalayak. Keberhasilan tujuan dari petisi itu sendiri masih tetap bergantung pada tindakan publik selanjutnya, dan bagaimana pemangku kebijakan memandang tindakan tersebut.
Namun pada akhirnya, meski belum memiliki konsekuensi hukum yang pasti, petisi daring memang memudahkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Namun perlu diingat, kerja-kerja daring saja tidaklah cukup. Tetap diperlukan tindak lanjut dari publik untuk mencapai tujuan dari petisi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.