Site icon PinterPolitik.com

Berebut Restu Perempuan Trah Wahid

Sinta Nuriyah

Jokowi bertemu keluarga Gus Dur di Ciganjur. (Foto: Setkab)

Kandidat capres tampak seperti berlomba mengamankan suara keluarga Gus Dur.


PinterPolitik.com

Merebut restu bukan hanya dilakukan oleh calon mempelai yang akan menikah kepada calon mertua mereka. Para kandidat yang hendak bertarung di Pilpres 2019 juga melakukan hal tersebut. Bedanya, tokoh-tokoh seperti Joko Widodo atau Sandiaga Uno tidak berjuang merebut restu calon mertua, tetapi restu tokoh yang dianggap punya pengaruh politik yang signifikan.

Dalam konteks ini, kandidat-kandidat yang akan berlaga di pesta demokrasi 2019 seperti tengah bersaing merebut restu klan Wahid. Secara spesifik, masing-masing kandidat saling berlomba melakukan pertemuan dengan istri presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sinta Nuriyah dan juga putrinya Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid.

Banyak yang berharap tokoh-tokoh perempuan tersebut tidak hanya sekadar memberi restu. Para kandidat umumnya memiliki keinginan besar agar Sinta dan Yenny mau secara terang-terangan memberi dukungan politik kepada mereka. Yenny bahkan diminta untuk bergabung secara struktural menjadi anggota tim pemenangan.

Lalu mengapa restu dan dukungan dari Sinta dan Yenny Wahid ini begitu penting? Adakah insentif khusus yang bisa didapat kandidat jika mendapat dukungan mereka?

Pengaruh Istimewa Klan Wahid

Keluarga Gus Dur dianggap masih memiliki pengaruh. Hal ini diungkapkan misalnya oleh peneliti LIPI Fachry Ali. Faktor tersebut membuat sejumlah politisi berlomba-lomba memperebutkan dukungan dari klan ini agar ikhtiar politik mereka menjadi lebih lancar.

Tidak hanya untuk pilpres, para politisi juga gencar meminta restu kepada tokoh-tokoh tersebut untuk gelaran Pilkada. Pada Pilgub DKI 2017 lalu misalnya, Djarot Saiful Hidayat sempat menemui Sinta Nuriyah untuk meminta restu sebagai calon wakil gubernur.

Kini, tren tersebut berlanjut. Kandidat presiden petahana, Joko Widodo sempat hadir di kediaman keluarga Gus Dur. Kala itu, Jokowi datang bertepatan dengan peringatan hari lahir Gus Dur. Jokowi sendiri tercatat bukan sekali saja sowan dan bertemu dengan Sinta Nuriyah. Sinta sendiri mengenang Jokowi sebagai sosok yang kerap bersilaturahmi termasuk kepadanya.

Tak lama setelah itu, kandidat penantang, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga bertandang ke Ciganjur. Sandiaga berkunjung lebih dahulu pada tanggal 10 September 2018. Prabowo menyusul kemudian tiga hari setelahnya. Di dua pertemuan terpisah tersebut, keduanya sama-sama terlebih dahulu disambut Yenny sebelum bertemu Sinta.

Di pertemuan tersebut, terselip satu agenda politik. Ternyata, Sandiaga hadir di Ciganjur tidak hanya untuk bersilaturahmi, tetapi juga menyampaikan niatnya untuk mengajak Yenny bergabung menjadi anggota tim pemenangannya.

Nyatanya, meski dianggap berpengaruh, Sinta dan Yenny bukanlah orang yang dapat dengan mudah memberikan dukungannya. Pada Pilpres 2014 lalu misalnya, keluarga Gus Dur memutuskan untuk netral dan tidak mengumumkan dukungan politiknya secara publik.

Di luar kondisi-kondisi di atas, ada satu hal yang menarik dari kiprah trah Wahid ini. Keluarga inti Gus Dur yang tersisa memang semuanya perempuan. Hal ini membuat mereka dapat dikatakan sebagai bagian dari tokoh perempuan yang cukup berpengaruh di Indonesia.

Miliki Otoritas

Sinta Nuriyah dan Yenny Wahid memang tergolong perempuan yang tidak biasa di negeri ini. Tidak banyak perempuan yang memiliki pengaruh signifikan secara politik, sehingga menjadi bahan rebutan aktor-aktor politik tanah air.

Sinta Nuriyah misalnya masuk ke dalam jajaran 100 tokoh berpengaruh dunia versi Majalah Time pada 2018 lalu. Sebelumnya, New York Times pernah menobatkannya sebagai satu dari 11 perempuan paling berpengaruh.

Yenny, meski  belum semendunia ibunya, juga tak bisa dipandang remeh. Ia termasuk tokoh yang kerap dikategorikan sebagai pengusung ide-ide keberagaman. Ia dianggap memiliki pengaruh kuat di antara kaum termarjinalisasi melalui kiprahnya di Wahid Foundation.

Kedua tokoh ini – terutama  Sinta Nuriyah – memang dapat dikatakan sebagai female religious authority. Ada beberapa sumber otoritas atau pengaruh kedua tokoh perempuan ini sehingga dianggap bisa memberikan perubahan tertentu secara politik.

Di satu sisi, sumber otoritas mereka bersumber dari hal yang bersifat tradisional, jika merujuk pada konsep sumber otoritas ala Max Weber.  Berdasarkan pandangan Weber tersebut, kekuatan seseorang dapat diberikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Mau tidak mau, sumber otoritas mereka akan terus dianggap diwariskan dari sosok Gus Dur. Sinta misalnya dianggap sebagai pelanjut ide-ide Gus Dur sehingga layak dianggap sebagai perempuan berpengaruh. Sementara itu, Yenny di antara putri-putri Gus Dur dianggap sebagai sosok yang mewakili warisan pendiri PKB tersebut dari sisi politik.

Secara spesifik, Sinta Nuriyah, sebagai sosok yang lahir dan besar di lingkungan pesantren dianggap memiliki pemahaman Islam yang cukup tinggi. Hal ini diungkapkan misalnya oleh Asfa Widiyanto dalam Journal of Indonesian Islam. Pendidikan yang ia dapat dari Pesantren Krapyak Yogyakarta membuat ia menjadi sosok yang dianggap memiliki otoritas karena kata-katanya kental dengan nuansa Islam..

Yang membuat kedua tokoh perempuan ini lebih menarik adalah bahwa mereka menggunakan otoritas mereka untuk urusan yang bersifat aktivisme. Kedua tokoh ini tergolong amat giat memperjuangkan gagasan keberagaman, sehingga cukup mendapat tempat di hati kelompok yang tergolong minoritas.

Latar belakang Sinta dan Yenny yang terwarnai oleh kharisma Gus Dur dan pendidikan Islam, membuat mereka lebih dapat diterima ketika berbicara tentang isu-isu keberagaman dan minoritas. Mereka misalnya lebih mudah diterima oleh banyak pihak saat berbicara tentang kesetaraan gender, sesuatu yang sensitif jika disampaikan oleh orang sembarangan. Di tangan mereka, isu semacam ini tidak mendapatkan respons berlebihan.

Bisa Amankan Suara

Sumber otoritas ini bisa saja memiliki manfaat lebih di luar isu-isu keberagaman dan pluralisme.  Berbagai kondisi tersebut membuat Sinta dan Yenny dapat memiliki pengaruh khusus secara politik. Keduanya berpotensi memberikan perolehan suara signifikan kepada kandidat yang berhasil mengamankan dukungan mereka.

Salah satu golongan massa yang berpotensi tertarik oleh pilihan politik Sinta dan Yenny adalah kaum nahdliyin (NU). Secara spesifik, golongan massa NU yang dapat ditarik adalah mereka yang merasa aspirasi politiknya tidak mampu ditampung oleh wajah NU lain di Pilpres, Ma’ruf Amin.

Jika diperhatikan belakangan, muncul dikotomi antara kelompok NU struktural dan NU kultural. Ma’ruf dianggap sebagai golongan NU struktural. Kondisi tersebut membuat Ma’ruf dianggap tidak terlalu menarik bagi kalangan kultural. Hadirnya Sinta dan Yenny berpotensi mengamankan kalangan kultural tersebut.

Secara khusus, kalangan NU kultural yang dimaksud boleh jadi tergolong ke dalam para pendukung Gus Dur. Sebagai tokoh-tokoh yang menyandang kebesaran nama trah Wahid, keduanya juga bisa menjadi magnet bagi pemilih dari kalangan pendukung-pendukung Gus Dur. Hal ini amat terkait dengan otoritas tradisional yang dimiliki keduanya. Apalagi, Gus Dur dikenal kerap bersafari ke kiai-kiai kampung yang umumnya digolongkan sebagai NU kultural.

Memperoleh dukungan Sinta dan Yenny juga bisa saja mengamankan suara dari kelompok-kelompok pluralis yang pro isu-isu keberagaman. Hal ini terkait dengan kiprah aktivisme kedua tokoh tersebut. Dukungan kelompok ini dapat membuat kans masing-masing kubu semakin lengkap karena mampu menyentuh kalangan yang biasanya tak tersentuh.

Kandidat Pilpres silih berganti berkunjung ke keluarga Gus Dur. Ada apa ya? Share on X

Sejauh ini, baik Sinta dan Yenny belum membeberkan secara publik dukungan politik spesifiknya. Tawaran timses dari masing-masing kubu untuk Yenny juga hingga saat ini juga masih belum ditanggapi.

Secara ideologi boleh jadi Sinta dan Yenny kerap dianggap lebih dekat dengan Jokowi-Ma’ruf. Hal ini terkait dengan sikap Jokowi yang kerap dianggap lebih ramah kepada kaum minoritas. Meski begitu, di kamp pemenangan Jokowi ada sosok Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Cak Imin adalah sosok yang menaruh luka begitu dalam bagi keluarga Gus Dur. Boleh jadi, ini akan menjadi ganjalan bagi keluarga Ciganjur kepada Jokowi-Ma’ruf.

Di lain sisi, keluarga ini juga bisa saja mendukung Prabowo-Sandiaga. Yenny diketahui memiliki suami kader Gerindra yang menjadi pengusung utama kandidat tersebut. Meski begitu, kubu ini juga bukannya tanpa cela. Kubu ini, terutama PKS, kerap dianggap sebagai biang keladi isu SARA yang belakangan menggerogoti negeri ini. Aktivisme Sinta dan Yenny untuk isu pluralisme jelas bertentangan dengan sikap tersebut.

Lalu, kemanakah mereka akan berlabuh? Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo Sandiaga? Atau mereka bersikap netral lagi seperti Pilpres 2014? Menarik untuk ditunggu. (H33)

Exit mobile version