Para petinggi partai politik berbondong-bondong melalukan ‘safari’ ke Jawa Timur untuk bertemu dengan Khofifah Indar Parawansa. Berbagai spekulasi muncul ke permukaan terkait peluang mantan Menteri Sosial ini maju di Pilpres 2024. Hal ini tidak lepas dari anggapan bahwa Khofifah memiliki potensi besar untuk bersaing pada kontestasi tersebut. Lantas apakah benar demikian?
Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa tampaknya mulai mencuri perhatian menjelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Terbukti dari sejumlah elite dari partai politik yang melakukan ‘safari’ ke Jawa Timur sekaligus bertemu dengan Khofifah. Sosok yang hadir merupakan petinggi hingga ketua umum partai seperti Airlangga Hartarto, Ahmad Muzani, Surya Paloh, Agus Harimurti Yudhoyono hingga Puan Maharani.
Masing-masing petinggi partai politik pun melempar pujian kepada Khofifah karena dianggap sukses dalam memimpin 38 kepala daerah di Jawa Timur. Efek positif ini ternyata memicu reaksi lainnya, seperti dukungan yang muncul dari komunitas di luar partai. Komunitas Ibu Pengajian (KIP) Surabaya mendukung Khofifah untuk berpasangan dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto di Pilpres 2024 mendatang. Bahkan muncul baliho dan videotron yang memperlihatkan keduanya berpasangan untuk menjadi capres dan cawapres.
Kedekatan Khofifah dengan ketua umum parpol juga terlihat pada beberapa momentum. Seperti ketika kunjungan Ketua DPR RI sekaligus ketua DPP PDIP Puan Maharani ke Jawa Timur. Beberapa kali Khofifah tidak segan untuk melontarkan pujian atas sinergitas antara Pemprov Jawa Timur dengan DPR RI. Bahkan, peristiwa unik pun juga terjadi, yaitu Khofifah membonceng Puan dengan menggunakan sepeda motor ketika menuju tempat wisata di Pulau Giliyang.
Interaksi antar para petinggi partai politik ini turut direspons oleh pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio. Intinya, kunjungan para petinggi atau elite parpol untuk bertemu dengan Khofifah merupakan hal yang wajar. Elektabilitas dan popularitas mantan Menteri Sosial ini cukup diperhitungkan untuk bersaing di Pilpres 2024. Tidak hanya itu, sosok Khofifah juga dianggap bakal berpengaruh kuat karena menduduki posisi strategis dalam struktur Nahdlatul Ulama (NU).
Meski dinilai memiliki elektabilitas dan pengaruh yang kuat, nyatanya perjalanan Khofifah untuk menjadi Gubernur Jawa Timur tidaklah mulus. Ia pernah mengalami kegagalan pada saat maju sebagai cagub di tahun 2008 dan 2013. Pada dua momentum tersebut, Khofifah harus mengakui kemenangan lawan terkuatnya, Soekarwo. Hasilnya, Soekarwo kembali menang dan menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur selama dua periode berturut-turut.
Jika mengacu pada fakta ini, lantas apakah benar Khofifah memiliki pengaruh kuat dan mampu mengeruk suara pada Pilpres 2024?
Political Endorsement
Meski pada akhirnya Khofifah memenangkan pemilihan Gubernur Jawa Timur pada tahun 2018, namun pada momentum tersebut Soekarwo atau yang akrab disebut Pakde Karwo sudah tidak lagi bisa mencalonkan diri. Maka Khofifah bersama dengan Emil Dardak berhasil mengalahkan pasangan Gus Ipul dan Puti Guntur Soekarno pada pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018.
Kemenangan ini ternyata tidak lepas dari peran Soekarwo yang akhirnya mendukung pasangan Khofifah-Emil Dardak. Ketua DPD Partai Demokrat itu secara tegas menyatakan dukungannya terhadap Khofifah di Pilgub Jatim. Bahkan Soekarwo menampik jika Demokrat yang saat itu mengusung Khofifah tidak memberikan dukungan sepenuh hati. Padahal sebelumnya Soekarwo sempat mengemukakan jika dirinya secara pribadi mendukung Saefullah Yusuf atau Gus Ipul.
Soekarwo secara penuh menyatakan dukungannya kepada Khofifah dengan meminta seluruh DPC Partai Demokrat se-Jawa Timur untuk menyukseskan mantan Menteri Sosial tersebut. Pembentukan tim pemenangan merupakan wujud turun tangan langsung Soekarwo agar masyarakat Jawa Timur memilih pasangan Khofifah dan Emil Dardak.
Penggalangan yang dilakukan oleh Soekarwo membuahkan kemenangan bagi pasangan Khofifah dan Emil Dardak. Pengaruh mantan Gubernur Jawa Timur itu ternyata masih berpengaruh kuat untuk mendulang suara bagi pasangan calon yang didukungnya. Terbukti dari Survei Charta Politica pada tahun 2018 lalu yang memperlihatkan sebanyak 79,7 persen masyarakat Jawa Timur puas dengan kinerja Pemerintah Provinsi Jatim di bawah kepemimpinan Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul).
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya bahkan menilai jika persentase keterpilihan di atas 70 persen, maka inkumben memiliki peluang besar untuk terpilih kembali. Namun mengingat Soekarwo tidak dapat maju kembali, maka partai politik pengusungnya mengkapitalisasi sosok Soekarwo untuk mendongkrak tokoh lain. Dalam buku berjudul Political Marketing: As Party Management Thatcher karya Jennifer Lees-Marshment, dijelaskan jika tingkat kepuasan pemilih bisa menjadi pemicu untuk meraup suara atau dukungan.
Sama halnya dengan buku berjudul Political Marketing: An Approach to Campaign Strategy karya Gary Mauser yang menjelaskan jika konsep pemasaran politik adalah cara untuk memengaruhi perilaku massa atau publik dalam situasi yang kompetitif. Mengacu pada pengertian ini, maka wajar apabila Partai Demokrat mengoptimalkan sosok Soekarwo untuk mendorong elektabilitas Khofifah di Pilgub Jatim 2018.
Pengaruh seorang tokoh dalam meraih kemenangan dalam kontestasi politik sebelumnya sudah pernah terjadi di negara lain, yaitu Amerika Serikat (AS). Presiden AS Joe Biden tampaknya harus berterima kasih kepada Jim Clyburn. Dalam tulisan Mark Travers yang berjudul How Valuable Are Endorsement in Politics? 3 Lesson From Political Psychology, political endorsement dipahami sebagai sebuah upaya ‘jalan pintas’ untuk mendulang elektabilitas seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya karakter laziness yang menyebabkan publik tidak lagi mencurahkan pikirannya secara menyeluruh dalam politik. Mereka lebih memilih mengikuti arahan dari seseorang yang berpengaruh baginya untuk menentukan pilihannya.
Pengertian inilah yang teraktualisasikan di setiap kontestasi politik seperti pada Pilgub Jatim 2013 lalu, dimana Soekarwo melakukan endorsement kepada Khofifah. Hal ini sekaligus membuktikan political endorsement sudah terlihat di Indonesia melalui Soekarwo di Jawa Timur. Tampaknya hal serupa juga sedang diupayakan menjelang Pilpres 2024 mendatang.
Beberapa partai politik tengah berlomba untuk memperoleh pengaruh Jokowi untuk meningkatkan elektabilitas kandidat capres yang diusung. Mengingat baik Jokowi dan Soekarwo, tidak mengalami kutukan second term curse.
Dalam tulisan berjudul Is There Really A Second-Term Curse? karya Ari Shapiro, dijelaskan jika kutukan periode kedua memang kerap menimpa kepala negara. Seperti di AS saat pemerintahan Richard Nixon dan Bill Clinton. Keduanya mengalami masa-masa sulit ketika memasuki periode kedua sebagai Presiden AS.
Namun ternyata hal ini tidak mutlak menimpa para pemimpin di dunia. Pasalnya, sejauh ini Presiden Jokowi tidak mengalami second term curse. Elektabilitas Jokowi juga masih tinggi di beberapa survei. Maka tidak heran jika banyak parpol menginginkan kandidatnya di-endorse oleh Jokowi agar elektabilitasnya meningkat. Sama halnya dengan Khofifah yang mendapatkan endorsement dari Soekarwo.
Melihat hal ini, lantas seberapa besar pengaruh Khofifah sehingga para petinggi partai politik masih gencar mendekati Khofifah menjelang 2024 ini?
Incar Jokowi Effect?
Kekalahan Khofifah di Jawa Timur ketika berhadapan dengan Soekarwo sebenarnya sudah memperlihatkan jika sosok mantan Menteri Sosial ini tidak cukup berpengaruh. ‘Safari’ yang dilakukan oleh petinggi partai politik tampaknya ada kaitannya dengan Jokowi Effect. Khofifah diketahui merupakan salah satu sosok yang setia dengan Presiden Jokowi. Terlihat dari dukungan relawan Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) yang masif terhadap Khofifah.
Meski Khofifah diusung oleh Partai Demokrat, namun secara pribadi, dirinya tetap mendukung Jokowi ketika berkontestasi di Pilpres 2019. Padahal, Demokrat tidak mengusung Jokowi saat itu. Menanggapi hal ini, Demokrat menilai jika keputusan tersebut merupakan bentuk kesantunan Khofifah terhadap Jokowi.
Dengan hubungan keduanya diprediksi akan tetap baik, bukan tidak mungkin partai politik tergerak untuk mendekati Khofifah dengan harapan Jokowi meng-endorse Khofifah di Pilpres 2024. Namun tampaknya hingga saat ini belum ada tanda Jokowi akan memilih sosok yang akan didukung pada 2024 mendatang. Ini juga telah ditegaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Anies-Ganjar Berebut Jokowi? bahwa Presiden Jokowi tidak bisa terburu-buru menentukan kandidat capres pilihannya.
Hal ini tidak lepas dari faktor loyalitas seorang Presiden Jokowi ke PDIP, khususnya Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga bahkan menilai jika posisi Jokowi yang bukan merupakan ketua umum partai bisa memengaruhinya untuk mendukung calon yang diusung oleh Megawati.
Jika demikian, faktor kedekatan saja rasanya tidak cukup untuk meyakinkan Jokowi meng-endorse Khofifah di 2024 mendatang. Ya, masih ada waktu kurang lebih satu tahun bagi Jokowi untuk menentukan siapa kandidat pilihannya. (G69)