‘Beramah-tamah’ pada pihak yang berseberangan tidak selalu buruk. Contohnya bisa dilihat pada Angela Merkel dan Jokowi.
PinterPolitik.com
[dropcap]W[/dropcap]alau sudah berkata tidak bisa memenuhi permintaan Persaudaraan Alumni (PA) 212 terkait kriminalisasi ulama, langkah Jokowi memberi ruang bagi kelompok tersebut patut diapresiasi. Bila tak mampu mengubah mereka menjadi pendukung Pemerintah, setidaknya Jokowi dianggap cukup ‘dewasa’ dan berbesar hati untuk menerima dan mendengarkan oposisi yang lantang berseberangan dengannya di Istana Bogor.
Jika hendak menengok ke belakang, langkah Jokowi menemui para oposisinya, terutama dari kelompok Islam konservatif, memang tak banyak dilakukan. Tetapi pertemuan tersebut bukan kali ini saja terjadi. Di tahun 2016 setelah aksi Bela Islam berjilid, Jokowi membuka Istana Merdeka untuk bertemu petinggi organisasi masyarakat GP Anshor, Majelis Rasulullah, hingga Persatuan Islam (Persis).
Jokowi juga membuka kembali Istana Merdeka pada saat acara halal bihalal Hari Raya Idul Fitri tahun 2017, dengan mengundang GNPF MUI yang selama ini mengecam Jokowi karena dianggap mengkriminalisasi ulama. Sementara langkah terakhir adalah bertemu dengan PA 212 di Istana Bogor.
Bila langkah yang dilakukan Jokowi untuk membuka diri kepada pihak oposisi belum mampu mengubah pikiran atau bahkan ideologinya, Jokowi sudah mengambil langkah ‘bijak’ mengamankan status quo (kekuasaan) tanpa menimbulkan konflik.
Apa yang dilakukan Jokowi, seakan sejalan pada pemikiran Emile Durkheim, seorang sosiolog klasik dari Perancis yang berkata bahwa konsensus adalah strategi politik untuk mengamankan kekuasaan, dengan melihat perbedaan oposisi sebagai usaha untuk menyamakan pemikiran, fisik, maupun perasaan, Konsensus juga tidak melihat kelompok yang berseberangan dengan Pemerintah sebagai penyimpangan.
Konsensus inilah yang sudah dilakukan oleh Jokowi saat bertemu dengan kelompok PA 212, GNPF MUI, dan kelompok ormas Islam berhaluan konservatif lainnya. Strategi Jokowi ini, tentu saja tidaklah unik. Di Jerman, Angela Merkel sudah mempraktekkan strategi tersebut selama empat periode masa pemerintahannya sebagai kanselir Jerman.
Merkel, ‘Benteng’ Terakhir Eropa
Siapa yang tak familiar dengan sosok Angela Dorothea Merkel? Saat ini ia kembali dipercaya rakyat Jerman untuk menduduki kursi sebagai kanselir Jerman untuk yang keempat kali atau menginjak tahun ke-12.
Sejak pertama kali mencalonkan diri di tahun 2005 melalui Partai Kristen Demokrat (CDU), strategi konsensusnya untuk berkoalisi dengan kelompok yang berseberangan dengannya, bahkan dijuluki sebagai strategi Merkelian.
Sejak duduk sebagai perempuan pertama untuk posisi kanselir Jerman dan kandidat perempuan satu-satunya, Merkel menggandeng Partai Kristen Sosialis (CSU). Partai di mana Merkel berasal dan duduk sebagai pemimpin Partai CDU yang lebih dikenal lekat dengan konservatisme ala Kristen Evangelikan, dengan porsi anggota partai yang didominasi oleh laki-laki berusia lanjut.
Sementara Partai yang digandengnya sebagai koalisi, Partai CSU, adalah partai sosialis ‘kiri’ yang mendapat dukungan penuh dari kalangan menengah dan menengah ke bawah, serta kelompok pengusaha kecil. Bersama dengan Partai CSU, Jerman bisa memproduksi kebijakan sosial demokrat bagi warganya.
Langkah konsensus politik Merkel, dipuji sebagai cara mendinginkan iklim politik Jerman. Bahkan cenderung stabil dan ‘rapi’. Direktur dari divisi demokrasi dari Berlin Social Center, Wolfgang Merkel, berkata bahwa konsensus politik memang menunjukan sebuah kedewasaan dalam politik.
Kedewasaan ini ditunjukan Merkel dengan mengeluarkan kebijakan ramah pada pengungsi Suriah. Sebagai salah satu negara dengan kondisi ekonomi terkuat di dunia, Merkel berkata bahwa menyediakan rumah bagi para pengungsi dari Timur Tengah adalah hal yang harus dilakukan. Tentu saja kebijakan Merkel tersebut sempat mendapat guncangan dari internal partai. Sebaliknya, di dunia internasional ia dipuji habis-habisan.
Tetapi sebagai halnya kelompok berhaluan konservatif, Merkel berkata tidak akan melegalkan pernikahan sesama jenis di Jerman. Dirinya juga tidak mendukung LGBT secara keseluruhan. Namun begitu, sebagian besar publik, masih menganggap Merkel adalah benteng terakhir ‘liberalisme’ di Eropa, setelah beberapa negara dunia pertama menunjukan kecenderungan politik ke arah populisme kanan, seperti Belanda, Spanyol, dan Italia. Sejak turunnya Barack Obama, Merkel digadang menjadi tumpuan ‘kewarasan’ Eropa.
Langkah politik konsensus Merkel, tentu saja berbeda dengan Jokowi yang tercetak dalam pertemuan dengan kelompok oposisi. Yang terjadi pada Merkel, konsensus politik juga terjadi pada kebijakan yang dihasilkannya, yang dalam beberapa titik menjadi sebuah paradoks. Ia berasal dari partai konservatif, bergandengan dengan partai sosialis, menghasilkan kebijakan sosialis-demokrat, dan dianggap sebagai seorang liberal.
Terlepas dari berbagai label yang dilekatkan pada Markel, konsensus politik yang dilakukannya menghadirkan sebuah kesamaan pikiran bagi kedua belah pihak, bila Jerman adalah negara kaya raya, demokratis, dan ‘ramah’ kepada pengungsi.
Memilih Jalan Tengah
Merkel pernah berkata bila tak ada yang salah sama sekali dengan sikap ambisius. Sikap ambisiusnya memang membawanya sebagai politikus perempuan satu-satunya di Partai CDU di tahun 1998, juga sebagai perempuan satu-satunya yang mencalonkan diri sebagai kanselir Jerman di tahun 2005.
Peraih doktor di bidang kimia kuantum ini juga menjadi perempuan pertama yang mendirikan organisasi yang menjunjung demokrasi saat masih tinggal di Jerman Timur yang komunis. Sikap ambisius Merkel pula yang membawanya pada kepercayaan rakyat Jerman untuk kembali mendukungnya sebagai kanselir dengan nilai suara sebesar 64% di tahun 2016.
Dukungan yang tinggi ini, ternyata harus berhadapan pula dengan mulai merangkaknya suara dukungan kepada kelompok ultranasionalis Jerman yang selama ini tidak mendapat tempat di parlemen. Merkel juga mulai mendapat ‘serangan’ karena dianggap menghancurkan nilai-nilai tradisional partai.
Sementara itu, langkah Jokowi mengambil jalan politik konsensus dengan melakukan dialog dan pertemuan dengan kelompok oposisi Islam konservatif, belum bisa terbukti kemanjurannya dalam jangka panjang. Presiden Jokowi belum mengeluarkan kebijakan apapun yang dinilai ‘menguntungkan’ oposisi, seperti halnya Merkel mengeluarkan kebijakan menerima pengungsi.
Sebaliknya, langkah yang diambil Presiden Jokowi sejak melakukan pertemuan di tahun 2016, adalah membubarkan HTI yang dinilai meminggirkan Islam oleh oposisi. Hal tersebut makin memanas saat RUU MD3 diberlakukan dan menimbulkan citra jika Jokowi adalah Presiden otoriter. Pertemuan PA 212 yang baru terjadi juga akhirnya ditutup dengan konklusi bahwa Presiden tetap tak bisa menyanggupi permintaan PA 212 untuk membebaskan Rizieq Shihab dari kasus hukumnya.
Tetapi, pada akhirnya konsensus Jokowi menemui PA 212, dinilai sendiri oleh oposisi sebagai hal yang positif. Seperti apa yang dikatakan oleh Novel Bamukmin, jubir PA 212, yang berkata pihaknya tak perlu lagi ‘berhadapan’ dengan Pemerintah, serta mampu melakukan pembicaraan untuk menjalin kebersamaan. Kebersamaan yang dimaksud oleh Novel adalah kondisi ‘sehat’ menghadapi Pilpres 2019 dan Pilkada 2018.
Dengan demikian, konsensus politik walau tak selamanya bisa membahagiakan semua pihak, hal tersebut mampu meredam dan menciptakan harmonisasi politik. Bukti tersebut, setidaknya terlihat dari pernyataan Novel dan juga sepak terjang politik Merkel nan ambisius di Jerman.
Akhirnya, ungkapan yang dikeluarkan oleh Hillary Clinton, politisi Amerika Serikat, pun relevan adanya, konsensus politik memang membuat beberapa kelompok merelakan kepentingannya dan membuat adanya ‘ilusi’ kesamaan pikiran.
Konsensus Merkel berhasil membuat Jerman sebagai negara ‘ramah’ di Eropa, sementara Jokowi akhirnya bisa ‘mengajak’ kelompok oposisi untuk ‘berdamai’ menghadapi Pilpres 2019 dan Pilkada 2018. (A27)