Dengarkan artikel ini:
Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers. Mereka disebut memiliki perusahaan di negara bebas pajak untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak. Sebuah paradoks?
Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Pemerintah mengklaim langkah ini penting untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan.
Namun, di tengah keresahan masyarakat kecil yang merasa semakin “dipalak” oleh pajak, selebaran artikel lama yang memuat nama politisi papan atas seperti Airlangga Hartarto dan Luhut Binsar Pandjaitan kembali mencuat. Dua sosok ini disebut dalam skandal Pandora Papers, dokumen yang membongkar aktivitas perusahaan cangkang di negara bebas pajak.
Nama Airlangga Hartarto, mantan Ketua Umum Partai Golkar dan kini masih Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mencuat dalam laporan Pandora Papers itu bersama adiknya, Gautama Hartarto. Keduanya tercatat memiliki perusahaan cangkang di yurisdiksi bebas pajak, British Virgin Islands (BVI).
Menurut dokumen yang terungkap, Airlangga memiliki dua perusahaan bernama Buckley Development Corporation dan Smart Property Holdings Limited, sementara Gautama memiliki perusahaan bernama Ageless Limited. Ketiganya didaftarkan melalui Trident Trust, sebuah perusahaan finansial yang beroperasi di wilayah suaka pajak.
Airlangga sendiri telah mengklaim tidak mengetahui pendirian Buckley Development dan Smart Property, bahkan membantah tuduhan bahwa perusahaan tersebut digunakan untuk mencairkan polis asuransi.
Sementara nama Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, juga muncul dalam Pandora Papers. Ia tercatat menghadiri rapat direksi perusahaan bernama Petrocapital SA, yang terdaftar di Republik Panama. Perusahaan ini, menurut laporan Tempo, berkaitan dengan aktivitas bisnis energi di luar negeri.
Luhut ditunjuk sebagai Presiden Petrocapital pada 19 Maret 2007, dalam rapat yang mengesahkan perubahan nama perusahaan menjadi Petrostar-Pertamina International SA. Pertemuan ini berlangsung di Guayaquil, Ekuador. Dalam kurun waktu 2007-2010, ia tercatat hadir langsung dalam beberapa rapat.
Keterlibatan Luhut dalam perusahaan cangkang ini memunculkan spekulasi tentang potensi penghindaran pajak. Sebagai pejabat publik, keterlibatan Luhut dalam skema semacam ini tentu bertentangan dengan semangat transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pemimpin negara.
Meski baik Luhut maupun Airlangga telah sama-sama membantah, keberadaan perusahaan cangkang ini tetap memicu pertanyaan: mengapa nama seorang pejabat negara tercatat dalam aktivitas yang berpotensi menghindari pajak? Bukankah jadi kontras dengan komitmen penegakan pajak dan maksimalisasi penerimaan negara, katakanlah salah satunya dengan menaikkan PPN hingga 12 persen?
Airlangga dan Fiscal Sociology
Fenomena pajak ini bisa kita telusuri dengan menggunakan kaca mata fiscal sociology, yang pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Schumpeter. Konsep ini menyoroti hubungan erat antara kebijakan fiskal (termasuk pajak) dengan struktur sosial dan politik.
Dalam konteks Indonesia, kasus Pandora Papers ini mencerminkan ketimpangan besar dalam sistem pajak di mana rakyat kecil menghadapi kenyataan kenaikan pajak yang tentu saja membebankan. Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah beban rakyat kecil, yang pada dasarnya sudah menghadapi kesulitan ekonomi. PPN adalah pajak yang bersifat regresif, artinya beban lebih besar justru dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok kaya.
Sedangkan kontrasnya adalah soal penghindaran pajak oleh kelompok elite. Laporan Pandora Papers menunjukkan bagaimana politisi papan atas seperti Airlangga dan Luhut terlibat dalam aktivitas yang memanfaatkan perusahaan cangkang untuk menghindari pajak.
Menurut teori Schumpeter, kondisi ini menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal sering kali mencerminkan dominasi elit atas masyarakat.
Beberapa scholar lain misalnya Gabriel Zucman juga menyoroti hal serupa. Ekonom Prancis ini, dalam bukunya The Hidden Wealth of Nations, membahas bagaimana elite global menggunakan perusahaan cangkang untuk menghindari kewajiban pajak, yang pada akhirnya merugikan negara dan rakyat biasa.
Zucman menegaskan bahwa penghindaran pajak bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah politik yang mencerminkan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan kekayaan.
Scholar lain, Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century menyoroti bagaimana kebijakan fiskal sering kali memperbesar kesenjangan kekayaan, terutama ketika pajak progresif yang seharusnya menjadi alat redistribusi malah diabaikan.
Perntanyaannya, jika Presiden Prabowo ingin membenahi sektor pajak, akankah ia juga berani menyoroti persoalan pajak kelompok elite ini?
Akankah Prabowo Berani Membuka Pandora Papers?
Dengan naiknya Prabowo Subianto sebagai presiden, pertanyaan besar muncul: apakah ia berani membuka kembali skandal Pandora Papers, termasuk keterlibatan Airlangga dan Luhut? Langkah ini tentu membutuhkan keberanian politik luar biasa, mengingat kedekatan Prabowo dengan sejumlah elit yang disebut dalam dokumen tersebut.
Setidaknya ada beberapa hambatan yang akan dihadapi oleh Prabowo. Pertama, terkait hubungan dengan elite politik. Airlangga dan Luhut adalah figur penting dalam peta kekuasaan Indonesia. Airlangga, sebagai pemimpin Golkar, memegang kunci dukungan politik yang signifikan. Sementara Luhut, sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di pemerintahan sebelumnya, memiliki jaringan luas yang sulit diabaikan.
Kedua, ada risiko politik yang harus dihadapi. Membuka kembali skandal ini bisa menimbulkan resistensi dari kalangan elite, yang berpotensi menggoyahkan stabilitas politik pemerintahan Prabowo.
Namun, jika Prabowo benar-benar ingin menciptakan pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat, membuka kembali Pandora Papers bisa menjadi langkah strategis untuk membangun citra politik yang kuat. Ia dapat memanfaatkan momentum ini untuk menggalang dukungan publik.
Langkah tegas terhadap korupsi dan penghindaran pajak akan mendapat dukungan luas dari masyarakat yang selama ini merasa tertindas oleh kebijakan fiskal yang tidak adil.
Selain itu, isu ini juga bisa digunakan untuk memperkuat legitimasi politik. Dengan menunjukkan keberanian untuk menghadapi elit, Prabowo dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat.
Pada akhirnya, kasus Pandora Papers yang melibatkan Airlangga Hartarto dan Luhut Binsar Pandjaitan mencerminkan ketimpangan besar dalam sistem pajak Indonesia. Di satu sisi, rakyat kecil dipaksa membayar pajak lebih tinggi melalui kenaikan PPN, sementara di sisi lain, elite politik justru terlibat dalam aktivitas penghindaran pajak.
Perlu kemauan besar dan tegas dari Prabowo untuk berusaha mewujudkan keadilan sosial terkait pajak. Jangan sampai rakyat kecil “dipalak” bayar pajak, tapi elite-elite dibiarkan melakukan penghindaran pajak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)