Site icon PinterPolitik.com

Berani Lawan Prabowo-Gatot?

Berani Lawan Prabowo-Gatot

Foto: Y14

Setelah 32 tahun di bawah kekuasaan absolut militer, wacana kembalinya kuasa militer mulai ramai diperbincangkan. Apalagi, dua nama yang punya peluang untuk bersanding adalah produk terbaik militer: Prabowo Subianto dan Gatot Nurmantyo. Mungkinkah?


PinterPolitik.com

“Victory usually goes to the army who has better trained officers and men” – Sun Tzu

[dropcap size=big]B[/dropcap]eberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo tentang pembelian 5.000 pucuk senjata yang dilakukan oleh institusi non-militer. Namun, highlight pemberitaan sepertinya sedikit mengesampingkan momen pernyataan Gatot tersebut. Gatot berbicara tentang senjata ilegal itu pada acara temu bersama para purnawirawan (pensiunan) TNI.

Mengapa hal ini penting? Tentu saja karena saat ini, tokoh-tokoh politik paling berpengaruh dalam skala nasional sebagian besar berasal dari purnawirawan TNI. Sebagai catatan, dua dari tiga elit oligark politik nasional paling berkuasa saat ini adalah purnawirawan TNI.

Pada acara pertemuan tersebut, hadir juga Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus juga purnawirawan TNI, Prabowo Subianto. Saat itu, Gatot juga terkesan menyampaikan keluhannya tentang senjata ilegal itu kepada para seniornya tersebut, termasuk Prabowo. Apalagi, saat acara tersebut, ada momen ketika Gatot bertemu dengan Prabowo bersama mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.

Akibatnya, wacana memasangkan Prabowo dengan Gatot pada Pilpres 2019 pun kembali dihembuskan. Gatot memang akan pensiun beberapa bulan lagi, sementara Prabowo dianggap sangat perlu mencari calon pendamping yang punya popularitas bagus untuk menyaingi Jokowi. Saat ini, Gatot adalah salah satu tokoh yang cukup populer.

Namun, pergunjingan tentang hal tersebut sampai pada sebuah pertanyaan besar: mungkinkah pasangan militer-militer berkuasa di Indonesia?

Militer-Militer, Mungkinkah?

Profesor Tjipta Lesmana sempat menurunkan sebuah tulisan di harian Rakyat Merdeka dan menyebut pasangan Prabowo-Gatot sebagai hal yang mustahil terjadi. No way, begitu kata Profesor Tjipta. Apakah benar demikian?

Faktanya, kekuasaan dari kelompok militer atau pensiunan militer memang dianggap sebagai yang paling baik dalam menjaga stabilitas politik nasional.

Prabowo Subianto saat bertemu Try Sutrisno dan Gatot Nurmantyo. Restu dari mantan wakil presiden? (Foto: istimewa)

Namun, seringkali, kekuasaan kelompok militer menjadi absolut dan rakyat hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan senjata militer. Apalagi, dalam garis komando militer aktif, kuasa militer menjadi sangat kuat karena militerlah yang punya senjata. Political power grows out the barrel of gun, demikian kata para pemikir aliran kiri.

Indonesia pernah dikuasai selama 32 tahun oleh kuasa absolut militer. Dengan Soeharto sebagai presiden, tercatat ada 3 tokoh militer yang pernah menjabat sebagai wakil presiden, yaitu Umar Wirahadikusuma (1983-1988), Soedharmono (1988-1993) dan Try Sutrisno (1993-1998). Soeharto sendiri menjadi tokoh militer sentral dalam kekuasaan absolut tersebut.

Walaupun demikian, pasangan militer-militer bukanlah hal yang mustahil, sekalipun di sebuah negara demokrasi. Amerika Serikat misalnya pernah punya pasangan presiden dan wakil presiden dari bekas militer. Presiden Ronald Reagan dan Wakil Presiden George H. W. Bush (Bush senior) merupakan salah satu pasangan militer-militer yang pernah memimpin Amerika Serikat antara tahun 1981 sampai 1989.

Reagan pernah mengabdi untuk Angkatan Udara, sementara Bush merupakan seorang Letnan Angkatan Laut Amerika Serikat. Walaupun sama-sama berasal dari militer, keduanya cukup berhasil menjalankan kekuasaan sipil.

Prabowo-Gatot, Berani Lawan?

Walaupun telah dan akan pensiun dari militer, tidak dapat dipungkiri baik Prabowo maupun Gatot masih punya keterikatan moral dengan institusi militer itu sendiri. Walaupun menjadi lawan politik, faktanya mantan militer selalu punya rasa hormat tersendiri terhadap sesama mantan atau anggota militer.

Selain itu, hal positif dari rekam jejak dalam bidang militer juga sangat membantu tokoh politik menjaga situasi nasional. Selama dua periode kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, tidak ada guncangan politik yang besar. Sebagai jenderal, SBY sangat baik dalam menciptakan situasi politik yang kondusif. Bandingkan dengan 2 tahun awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yang penuh guncangan, baik di DPR maupun dari masyarakat.

Prabowo adalah salah satu produk militer yang punya kapasitas sebagai pemimpin – terlepas dari kontroversi kasus yang terjadi pada tahun 1998. Sementara Gatot, walaupun dikenal sering melakukan hal-hal yang kontroversial, namun saat ini menjadi salah satu tokoh politik paling kuat, tentu saja karena ia adalah panglima militer kedua tertinggi setelah presiden.

Namun, banyak pihak menganggap, pasangan militer-militer tidak akan mungkin terjadi lagi di Indonesia. Apalagi, Indonesia tidak sedang berada dalam keadaan bahaya dan mengharuskan militer untuk mengambil alih kekuasaan. Masyarakat juga dianggap akan ketakutan jika ada pasangan militer-militer yang mau mencalonkan diri lagi.

Trauma terhadap kekuasaan militer juga menyebabkan aktivitas politik Gatot – misalnya ketika mengunjungi partai politik – mendatangkan kritik dari berbagai pihak. Dalam pertemuan dengan purnawirawan itu, Gatot juga sempat mengatakan bahwa upaya untuk membendung militer kembali ke politik perlu digalakkan kembali dan ia akan mengupayakan hal itu. Namun, beberapa pihak mengkritik pernyataan tersebut karena gatot sendirilah yang pernah mengeluarkan wacana untuk mengembalikan hak politik TNI.

Di sisi lain, Prabowo punya kepentingan politik yang sangat menentukan terkait pasangan yang akan dipilihnya. Jokowi sebagai petahana adalah calon yang sangat kuat. Oleh karena itu, Prabowo memang harus tepat memilih calon wakil presiden untuk menghadapi Jokowi pada 2019 nanti. Jika salah pilih, akan sulit untuk menandingi popularitas Jokowi yang semakin tidak terbendung.

Bagi Prabowo, keuntungan terbesar memilih Gatot adalah dari sisi popularitas, penerimaan masyarakat sipil terhadap sosoknya, kedekatannya dengan kelompok Islam, dan tentu saja karena Gatot akan pensiun dalam beberapa bulan lagi. Fakta ini tentu sangat menguntungkan secara politik bagi Prabowo.

Namun, hal ini juga membuat posisi politik Gatot menarik juga untuk Jokowi – walaupun posisi militer sebagai wakil presiden sepertinya sangat sulit dibayangkan. Yang jelas hal ini juga tetap mungkin terjadi. Kalaupun Gatot bisa berpasangan dengan Prabowo, maka kubu Jokowi tentu punya pekerjaan rumah yang berat untuk menghadapi pasangan jenderal ini.

Dilema Pretorianisme

Manuver politik Gatot akhir-akhir ini memang terlihat semakin terbuka – walaupun tidak menutup kemungkinan Gatot punya agenda lain di belakangnya yang sesuai dengan tupoksi seorang Panglima TNI.

Namun, pretorianisme atau ikut berpolitiknya seorang jenderal militer aktif tetap mendatangkan dilema. Dalam sejarahnya, pretorianisme selalu punya dampak buruk bagi pemerintahan suatu negara karena jika militer kuat secara politik, ancaman kudeta terhadap pemerintahan sipil akan selalu terjadi.

Indonesia memang telah melewati masa-masa ketika dikuasai oleh militer. Namun, pasca reformasi campur tangan militer dalam politik Indonesia masih sangat kental – walaupun masih sebatas pada tokoh-tokoh purnawirawan. Bahkan, tokoh militer masih dianggap sebagai sentral kuasa.

Pretorian adalah kelompok pengawal raja-raja Romawi yang seringkali terlibat dalam politik. (Foto: istimewa)

Wacana Prabowo-Gatot untuk 2019 memang terlihat ambisius, namun sangat mungkin terjadi. Meskipun demikian, perlu juga dicatat, jangan sampai nama Gatot hanya sekedar dipakai untuk ‘meramaikan’ suasana politik nasional. Bagaimana pun juga hubungan sipil-militer manjadi isu yang sangat ‘seksi’ untuk diperbincangkan dan bahkan mempengaruhi peta politik nasional.

Jangan sampai kasus Gatot ini mengulang apa yang terjadi pada jenderal Moeldoko yang pada saat akan berakhir masa jabatannya juga digadang-gadang akan terjun ke dunia politik dan bahkan mendirikan partai politik. Namun, nyatanya? Saat ini nama Moeldoko entah di mana. Jangan sampai nama Gatot juga akan seperti Moeldoko di kemudian hari: menghilang entah ke mana.

Menarik untuk ditunggu apakah pasangan Prabowo-Gatot bisa terwujud. Masih ada beberapa bulan untuk melihat calon-calon pasangan capres-cawapres yang potensial. Yang jelas masyarakatlah yang akan menilai apakah pasangan militer-militer itu layak dipilih atau tidak karena dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa. Bukan begitu? (S13)

 

Exit mobile version