Menurut survei Indo Barometer, Presiden Jokowi mendapatkan elektabilitas tertinggi jika dipasangkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Apakah pasangan ini ideal dan mungkin terwujud?
Pinterpolitik.com
“Win or lose, we go shopping after the election.” – Imelda Marcos, istri diktator Filipina Ferdinand Marcos
[dropcap]I[/dropcap]nilah musim ‘panen’ bagi lembaga-lembaga survei! Suguhan hasil-hasil survei politik sepertinya belum akan berakhir, setidaknya hingga Pilpres 2019.
Rilis hasil survei terbaru datang dari Indo Barometer. Lembaga binaan mantan peneliti LSI dan CSIS, M. Qodari ini beberapa hari lalu menampilkan beberapa hal menarik dalam publikasi survei berjudul ‘Siapa Penantang Potensial Jokowi di 2019’.
Selain terkait nama Anies Baswedan yang muncul sebagai calon wakil presiden (cawapres) terkuat untuk Prabowo Subianto, hal lain yang mencuat ke permukaan adalah terkait tingginya elektabilitas AHY jika dipasangkan sebagai cawapres Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jika Jokowi dipasangkan dengan AHY, elektabilitas keduanya mencapai angka 48,6 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Jokowi-Gatot Nurmantyo (47,9 persen) atau Jokowi-Sri Mulyani (43,4 persen). Bahkan, jika dibandingkan dengan Prabowo yang dipasangkan dengan Anies Baswedan, persentasi keunggulan Jokowi-AHY hampir mencapai 20 persen, yakni 48,6 persen untuk Jokowi-AHY dan hanya 19,1 persen untuk Prabowo-Anies.
Meski SBY masih sembunyikan niatnya memasang AHY sebagai cawapres Jokowi, namun kader2 demokrat sudah banyak menunjukan gelagat bahwa Jokowi-AHY hanya tinggal menunggu momentum tepat utk dideklarasikan
Politic is all about momentum
— Rakyat Pribumi (@Proksi2000) December 4, 2017
Artinya, secara kalkulasi politik saat ini, jika dipasangkan dengan AHY, peluang Jokowi untuk memenangkan kontestasi Pilpres 2019 jauh lebih besar dibandingkan dengan pasangan cawapres yang lain.
Namun, latar belakang Jokowi yang didukung oleh PDIP pada Pilpres 2014 lalu masih menjadi pertanyaan terbesar mayoritas masyarakat Indonesia: apakah pasangan ini dapat terwujud?
Masyarakat secara tradisional masih melihat Jokowi sebagai kader PDIP dengan sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang nota bene punya hubungan kurang baik dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai putra sulung SBY, banyak yang menganggap sulit bagi AHY untuk berpasangan dengan Jokowi.
Tentu pertanyaannya adalah apakah benar demikian?
Cawapres Jokowi, AHY Juaranya?
Skema pasangan calon yang dibuat oleh Indo Barometer yang memasangkan Jokowi dan AHY memang menggambarkan peluang pasangan tersebut untuk memenangkan kontestasi pemilu. Sebagai petahana, saat ini posisi politik Jokowi sangat kuat. Berpasangan dengan AHY adalah salah satu pilihan yang paling masuk akal jika isu kerenggangan hubungan antara Jokowi dengan PDIP benar adanya. (Baca: PDIP: Good Bye Jokowi?)
Keinginan Jokowi yang tidak mau lagi disebut sebagai ‘petugas partai’ mendapatkan artikulasi dari partai-partai lain, termasuk Golkar dan – tentu saja – Demokrat. Partai butuh calon, sementara Jokowi butuh presidential threshold. Untuk Demokrat, hal ini sangat dimungkinkan karena hubungan Jokowi dengan SBY berlangsung sangat cair. Sekalipun sering kritik-mengritik antara satu dengan yang lain, komunikasi politik SBY dengan Jokowi sangatlah positif. Demikian pun hubungan Jokowi dengan AHY. Artinya, secara politis pasangan Jokowi-AHY sangat mungkin terwujud.
Indo Barometer juga menyimpulkan bahwa ada 5 syarat cawapres ideal bagi Jokowi, antara lain terkait latar belakang militer, berpengalaman dalam pemerintahan, dekat dengan rakyat, menguasai dunia internasional, dan pintar secara intelektual. Jika dilihat dari 5 syarat tersebut, AHY setidaknya memenuhi 3 sampai 4 persyaratan. Fakta bahwa AHY berlatar belakang militer adalah salah satu nilai plus utama di tengah gejolak back to military yang makin kuat di masyarakat.
Salah satu kekurangan AHY adalah pengalaman dalam mengatur pemerintahan. AHY dinilai masih kurang pengalaman, sehingga posisi wapres yang punya kewenangan cukup besar dalam hal ekonomi masih dirasakan sebagai tantangan terbesar. Namun, hal itu bisa diatasi dengan belajar dari Jokowi sendiri atau menempatkan penasihat ekonomi yang tepat jika nantinya terpilih.
Kelemahan lain yang kiranya dimiliki AHY adalah sosoknya yang belum begitu dekat di mata masyarakat. Berdasarkan survei Indo Barometer tersebut, hanya 64,6 persen masyarakat yang mengenal AHY – jumlah yang masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Jenderal Gatot Nurmantyo (57,3 persen). Dari jumlah tersebut, hanya 66,3 persen yang menyukai AHY. Dalam hal tingkat kesukaan, jumlah ini jauh lebih baik dibandingkan tokoh lain, misalnya Anies Baswedan, Sri Mulyani, bahkan Megawati Soekarnoputri.
Artinya, potensi AHY untuk memperbaiki kelemahan-kelemahannya tersebut masih mungkin dilakukan. Safari politik yang dilakukannya beberapa waktu terakhir merupakan hal yang sangat positif dan menjadi bagian dari upaya untuk membangun kedekatan tersebut.
Selain itu, jika menggunakan strategi politik yang tepat, AHY bisa menjadi bagian dari gelombang kebangkitan pemimpin-pemimpin muda yang saat ini sedang menjamur di banyak negara di dunia, terutama di Eropa.
Dalam beberapa gelaran pemilu terakhir, pemimpin yang berusia di bawah 50 tahun – bahkan di bawah 40 tahun – semakin banyak terpilih. Nama-nama macam Emmanuel Macron di Perancis atau Sebastian Kurz di Austria, hingga pemimpin di Belgia, Yunani, Malta dan Luxemburg yang berusia di bawah 45 tahun merupakan beberapa contoh gelombang kebangkitan pemimpin muda tersebut.
Kesimpulan survey Indobarometer itu Parbowo-Anies vs Jokowi-AHY. Katanya Jokowi-AHY bisa menang. Kenapa menyalahkan AHY, apa dosanya.
— Andi Arief (@andiarief__) December 4, 2017
Jika AHY mampu memanfaatkan fenomena akibat perubahan dalam struktur masyarakat internasional yang mengalami digitalisasi secara politik dan ekonomi ini, niscaya sosok ‘kemudaan’-nya akan sulit ditandingi. Hal ini dapat dilihat dari 86,7 persen masyarakat yang menganggap AHY sebagai sosok muda berbakat.
Apalagi generasi milenial Indonesia yang berusia di bawah 30 tahun akan menjadi kekuatan politik dominan dalam beberapa tahun ke depan dan AHY bisa menjadi wakil dari generasi ini.
Namun, tantangan terbesar bisa saja muncul lewat perubahan peta politik nasional jika sosok seperti Gatot Nurmantyo – katakanlah – berpasangan dengan Prabowo Subianto. Jika demikian, hal yang berbeda tentu akan sangat mungkin terjadi di 2019.
Menakar Dukungan Politik
Jika berpasangan dengan AHY, maka secara politik, dukungan terhadap Jokowi juga akan bertambah. Dengan dukungan penuh dari Demokrat dan SBY terhadap AHY, bisa dipastikan gerbong politik SBY juga akan ikut serta mendukung Jokowi.
Posisi SBY sebagai mantan presiden juga memiliki nilai lebih tersendiri. Pada zaman kekuasaannya, SBY – sama seperti Jokowi saat ini – adalah tokoh politik yang sangat kuat. SBY juga dikenal sebagai politisi yang santun dan dekat dengan siapa saja. Pengaruh SBY ini tentu akan memudahkan langkah Jokowi nantinya.
Bagi Jokowi, hal ini menjadi pertaruhan politik yang bisa diambil jika melihat dukungan dari PDIP yang makin tidak jelas. Namun, pilihan ini juga punya risiko jika melihat sosok muda AHY yang masih belum punya pengalaman di pemerintahan.
Walaupun demikian, jika Jokowi memilih sosok politik yang lain, misalnya Gatot Nurmantyo, tantangan besar juga tetap ada. Salah satu kesulitan Gatot adalah ia tidak punya gerbong politik untuk mendukungnya – walaupun beberapa rumor menyebut Nasdem dan Golkar menjadi dua partai utama di barisan yang menginginkan Gatot. Sebagai bagian dari militer, secara politik Gatot akan head to head bukan hanya dengan AHY saja, tetapi juga dengan SBY dalam hal memenangkan hati Jokowi.
Selain itu, dunia internasional melihat Gatot sebagai ‘the green green’ – sebutan untuk militer yang juga pro terhadap gerakan Islam. Gatot juga dianggap sebagai sosok yang punya nasionalisme berlebihan, akibat pernyataannya yang sering mempersalahkan negara lain sebagai penyebab utama kekacauan di Indonesia. Insiden Gatot yang batal berangkat ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, disebut oleh banyak pihak sebagai salah satu indikasi dirinya punya kiprah politik luar negeri yang kurang begitu baik.
Sementara sebaliknya, AHY akan sangat membantu Jokowi dalam hubungan dengan negara-negara lain, tentunya dengan track record pemerintahan SBY yang punya hubungan baik dengan banyak negara. Ia juga menjadi tokoh politik yang paling mungkin mendapatkan dukungan dari negara mitra dagang utama Indonesia, misalnya Amerika Serikat.
Sikap Gatot yang cenderung punya nasionalisme berlebihan boleh jadi akan mengganggu hubungan dagang dan investasi ke dalam negeri dan boleh jadi dianggap kurang diterima oleh negara mitra dagang. Dilihat dari dampak ekonomi internasional, AHY jauh lebih baik dibanding Gatot dalam hal ini.
Pada akhirnya, melihat potensi elektabilitas AHY yang ketika berpasangan dengan Jokowi menjadi lebih tinggi dari calon-calon lain, termasuk Gatot, Sri Mulyani, Ridwan Kamil, hingga Moeldoko, maka ini adalah pilihan yang masuk akal dan bisa diambil oleh Jokowi.
Persoalannya tinggal apa yang akan dilakukan oleh AHY di tahun 2018 nanti. Jika ia mampu mengkapitalisasi kekuatan politik ayahnya menjadi keuntungan politik untuk dirinya sendiri, maka sangat mungkin Jokowi akan menjadi ‘biru’ di 2019. Dengan demikian, masyarakat mungkin akan tetap mengingat kesuksesan Pilpres 2019 dan mengabaikan ucapan Imelda Marcos di awal tulisan ini. Who cares, Imelda! (S13)