Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mewajibkan prajurit TNI menyaksikan film Penumpasan Pengkhianatan G 30S PKI. Gatot juga meminta agar kaum muda menyaksikan film ini sebagai bagian dari pembelajaran sejarah.
PinterPolitik.com
“Kalau prajurit saya yang nonton, itu urusan saya” – Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
[dropcap size=big]P[/dropcap]enampilan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa, 19 September 2017 lalu memang mengundang perhatian masyarakat. Gatot – layaknya bintang dalam acara itu – secara tegas mengatakan bahwa ia akan mewajibkan prajurit-prajuritnya untuk menyaksikan film Penumpasan Pengkhianatan G 30S PKI karena menurutnya belakangan pelajaran sejarah tentang PKI tidak lagi diajarkan di sekolahan.
Menurut Gatot, sejak tahun 2008, sejarah tentang PKI tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Secara diplomatis, Gatot juga menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sempat menyebutkan bahwa film tentang tragedi di sekitaran tahun 1965 tersebut perlu dibuat dalam versi yang kekinian.
Terkait anggapan bahwa cerita sejarah di dalam film tersebut ‘menyimpang’ dari fakta yang ada, Gatot menjawab: “Emang gua pikirin”. Jawaban ini seolah menjadi trademark Gatot: Emang Gua Pikirin (EGP). Jenderal yang satu ini memang kerap menjawab dengan kata-kata tersebut – kata-kata yang juga pernah menjadi salah satu judul lagu dangdut terpopuler.
Saya tdk pikirin org bilang apa, yg penting generasi penerus harus tau betapa kejamnya PKI, film harus di putar kembali -jend.Gatot- #ILCPKI pic.twitter.com/wHEXgiy8ua
— Aruls Van Branco (@arulsVB) September 19, 2017
Sikap Gatot ini memang menggambarkan fakta yang sedang terjadi di masyarakat. Pro kontra penayangan kembali film Penumpasan Pengkhianatan G 30S PKI karya Arifin C. Noer memang melahirkan reaksi yang beragam.
Isu komunisme dan PKI memang sedang kembali menguat dalam satu bulan terakhir dan membuat situasi politik nasional diwarnai oleh hal tersebut. Bahkan, beberapa pengamat menyebutkan bahwa wacana pemutaraan kembali film ini serta isu PKI sangat berkaitan dengan nuansa politik sebelum memasuki tahun politik di 2018 dan 2019.
Lalu, jika punya nilai politis, adakah pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari polemik penayangan film ini?
Yang Untung dan Yang Buntung
Walaupun dianggap sebagai salah satu film sejarah, tidak dipungkiri bahwa film thriller 65 ini – mungkin bisa disebut demikian – hanya diambil dari satu sudut pandang saja, yaitu sudut pandang pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, jelaslah film ini mendatangkan bias politik.
Subjektivitas film ini pun sangat terasa, apalagi Arifin C. Noer pernah menuturkan bahwa pihak militer Orde Baru berperan besar dalam menentukan alur, naskah, bahkan hingga adegan dalam film ini. Hal ini disebutkan oleh putri pertama Presiden Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri dalam acara ILC tersebut. Arifin C. Noer juga mengatakan pada Sukmawati bahwa film tersebut dipesan oleh militer, sehingga adegan dan beberapa bagian film tersebut disesuaikan dengan keinginan militer.
Oleh karena itu, jelaslah ada pihak yang untung dan buntung dengan kembalinya wacana penayangan film yang sempat dihentikan pasca reformasi bergulir ini.
Dalam catatan PinterPolitik, pihak yang paling mungkin diuntungkan adalah:
a. Keluarga Cendana
Keluarga Soeharto akan sangat diuntungkan jika film ini ditayangkan lagi. Film ini oleh banyak pihak dianggap sebagai propaganda Soeharto dan Orde Baru. Selain itu, Sukmawati Soekarnoputri juga mengatakan bahwa tuduhan pengkhianatan kepada PKI seolah dipakai untuk menutupi kebenaran yang terjadi pada saat itu: Soekarno dikudeta oleh Soeharto. Hal ini juga sesuai dengan pengakuan yang disampaikan oleh Kolonel Abdul Latief – salah satu tokoh yang menjadi saksi sejarah tragedi 1965. Pemutaran kembali film ini tentu akan mengaburkan fakta kudeta Soeharto tersebut – yang tentu saja tidak ada di dalam film – dan ini menguntungkan keluarga Cendana.
b. Militer
Penayangan kembali film ini tentu menguntungkan militer karena film tersebut merupakan sudut pandang pemerintahan Orde Baru (militer) terhadap persitiwa di sekitaran tanggal 30 September 1965. Selain itu, militer dan sebagian besar kelompok rakyat saat itu dianggap sebagai ‘pahlawan’ yang menyelamatkan negara. Padahal, Indonesianis seperti Benedict Anderson pernah menyebutkan bahwa G 30S PKI justru terjadi karena adanya perebutan kekuasaan di internal militer. Film ini juga akanmenjadi pembenaran aksi genosida besar-besaran yang dilakukan oleh militer di seputaran tahun 1965-1966.
c. Kelompok Politik-Islam
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Najib Azca mengatakan bahwa munculnya kembali isu PKI dan wacana pemutaran film G 30S PKI sangat berkaitan dengan tahun politik 2018 dan 2019, serta ‘Aksi Bela Islam’. Menurutnya pergerakan politik dengan isu ini dimotori oleh oknum ‘Islam-politik’ yang memahami isu komunisme memiliki daya pikat serta daya gerak yang kuat guna memobilisasi massa. Jika melihat kubu politik Islam yang ada, sangat mungkin kubu politik ini mendukung Prabowo Subianto.
d. Keluarga Yudhoyono
Mertua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jenderal Purnawirawan Sarwo Edhie Wibowo (alm) merupakan salah satu tokoh militer yang berperan dalam penumpasan PKI. Saat itu, Sarwo Edhie adalah panglima RPKAD (sekarang Kopasus) yang memimpin aksi penumpasan PKI. Keberadaan film ini tentu akan memfokuskan tragedi 65 pada PKI, bukan pada aksi-aksi setelah percobaan kudeta tersebut.
e. Prabowo Subianto
Sebagai lawan politik Jokowi, isu ini akan sangat menguntungkan Prabowo. Ada gelaran politik di 2018 dan 2019 yang akan sangat mudah dipengaruhi dengan basis isu. Apalagi, selama ini Jokowi kerap diserang isu PKI.
f. Nekolim
Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme merupakan istilah yang dipakai oleh Soekarno untuk menunjuk kelompok negara seperti Amerika Serikat yang berperan dalam kudeta di banyak negara Asia dan Afrika. Film ini tentu akan berfokus pada PKI dan mengaburkan peran negara adidaya tersebut dalam perpuataran politik di Indonesia.
Selain tokoh-tokoh itu, PinterPolitik juga mencatat pihak-pihak yang paling mungkin dirugikan dari isu PKI dan pemutaran film G 30S PKI ini, antara lain:
a. Trah Soekarno
Penayangan kembali film G 30 S PKI tentu saja akan mengaburkan fakta kudeta Soeharto pada Soekarno. Sukmawati, Megawati, serta saudara-saudara lainnya tentu akan dirugikan. Selain itu, komunisme juga bisa dipakai sebagai alat untuk menyerang trah Soekarno mengingat paham Nasakom yang digembar-gemborkan Soekarno juga ada komunis di dalamnya.
b. Presiden Jokowi
Isu PKI dan film G 30 S PKI memang sangat terlihat dipakai untuk menimbulkan kegaduhan politik dan menyerang Jokowi. Apalagi selama ini Jokowi kerap diserang dengan isu komunis. Tujuannya tentu untuk menggoyang pemerintahan Jokowi dan mencoba menggerakkan basis massa lewat propaganda bahwa pemerintahan yang sekarang berkuasa adalah komunis. Tujuan akhirnya adalah untuk menggagalkan peluang Jokowi di 2019. Hal ini sangat terlihat di media sosial.
c. Korban-korban G 30 S PKI
Baik mantan simpatisan PKI, hingga semua yang pernah merasakan akibat dari tragedi ini tentu akan memandang film ini sebagai memori kelam dan luka lama yang akan semakin terasa jika terus diungkit-ungkit lagi. Film berdurasi 4 jam tersebut tentu akan menjadi pengungkit tragedi sejarah berdarah.
Kebenaran Mutlak Versi Film?
Kata-kata Jenderal Gatot yang mewajibkan semua anggotanya untuk menonton film ini merupakan pembuktian bahwa TNI menerima isi film ini sebagai fakta sejarah. Jenderal Gatot bahkan meminta semua personel dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi untuk menyaksikan film tersebut dan tetap membuka mata bahwa ‘hantu’ PKI masih mungkin muncul kembali.
Selain itu, sumber dari internal TNI juga menyebutkan bahwa penayangan film ini adalah wajib bagi TNI karena kebenaran tersebut dianggap tidak bisa diubah dan kebenarannya dipercaya oleh TNI. Jenderal Gatot ingin semua anggota TNI memegang dogma ini sebagai kebenaran politik.
Hal ini menjadi masuk akal jika melihat reaksi yang timbul setiap kali isu tentang PKI dimunculkan kembali. Purnawirawan TNI seperti Jenderal Kivlan Zen akan selalu menjadi salah satu tokoh militer terdepan yang mengomentari isu ini.
Lalu, apakah itu berarti ‘kebenaran versi militer’ ini tidak bisa diganggu-gugat? Sangat bisa dipastikan TNI akan sulit menerima kebenaran lain dari peristiwa tersebut. Namun, sebagai pembelajaran sejarah, sudah selayaknya masalah yang sudah terjadi setengah abad lalu ini tidak lagi diperbincangkan dalam pokok soalan siapa yang salah dan siapa yang benar, atau sejarah versi mana yang salah dan sejarah versi mana yang benar.
Bangsa ini sudah harus ada pada tataran berpikir solutif: apa yang harusnya bisa kita petik dari tragedi tersebut. Jika komunisme itu buruk dan tidak sesuai dengan Indonesia yang pancasilais, apakah pelarangan aktivitas mendiskusikan topik ini dalam ruang-ruang akademik benar-benar akan menghambat paham ini? Atau justru sebaliknya, jika komunisme tidak dipelajari, anak-anak muda zaman sekarang tidak akan tahu bagaimana sebetulnya keburukan paham ini.
Selain itu, sebagai ideologi, nyatanya komunisme telah surut dari negara-negara dunia. Agak naif menyebut komunisme menguasai Indonesia, sementara radikalisme dan bahkan neoliberalisme yang ada di depan mata sangat-sangat merongrong Pancasila. Atau, mungkin pertanyaannya diganti saja: paham apa sebetulnya yang sedang merongrong Indonesia? Jika sudah mendapat jawabannya, niscaya kita sudah menjadi orang-orang yang tercerahkan. (S13)