Atas pengakuan Dirjen Imigras bahwa Harun Masiku ternyata memang benar telah berada di Indonesia, berbagai pihak kemudian menyorot negatif Menkumham Yasonna Laoly karena sebelumnya bersikeras bahwa Harun masih berada di luar negeri. Dengan berbagai tudingan yang menyebutkan Yasonna telah melakukan upaya menghalangi proses penegakan hukum, beranikah Jokowi mencopotnya sebagai menteri?
PinterPolitik.com
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sepertinya telah menobatkan dirinya sebagai man of January atau sosok yang paling mencuri perhatian di bulan ini. Ini tentu saja tidak terlepas dari pernyataannya yang kerap menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Sebut saja pernyataannya yang menyebut Tanjung Priok adalah daerah kumuh, sehingga menciptakan kriminalitas, di mana pernyataan ini kemudian membuat dirinya didemo oleh ribuan warga Tanjung Priok.
Namun, pernyataan Yasonna yang paling blunder tentu adalah ketika bersikeras menyebut Harun Masiku masih berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020 lalu. Pasalnya, investigasi Tempo yang berjudul Harun di Pelupuk Mata Tak Tampak, ternyata menemukan berbagai bukti bahwa Harun telah menginjakkan kaki di Indonesia sejak 7 Januari 2020.
Simpulan tersebut didapatkan melalui berbagai bukti, mulai dari rekaman kamera CCTV di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, ditemukannya pemesanan tiket Batik Air ID 7156 dengan kursi kelas bisnis nomor 3C atas nama Harun, kesaksian salah satu pegawai di apartemen Thamrin Residence yang merupakan tempat tinggal Harun, hingga pada pengakuan tetangga istri Harun yang mengaku melihat Harun menyambangi kediaman istrinya di Gowa, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 2020 lalu.
Investigasi Tempo ini kemudian diafirmasi oleh Dirjen Imigrasi, Ronny F. Sompie bahwa memang benar Harun telah kembali ke Indonesia sejak 7 Januari 2020.
Tentu saja, atas terbongkarnya fakta ini, berbagai pihak langsung menunjuk Yasonna karena disinyalir telah berupaya untuk melakukan kebohongan kepada publik. Hal ini misalnya diutarakan oleh politisi Partai Demokrat, Abdullah Rasyid.
Lebih keras dari Rasyid, Ketua DPP Partai Gerindra, Iwan Sumule bahkan menyebut Yasonna telah melakukan upaya menghalangi proses hukum atau obstruction of justice. Tudingan ini memang tidak terlepas dari fakta bahwa bagian imigrasi berada di bawah Menkumham.
Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon juga turut berkomentar bahwa Yasonna pantas diberhentikan sebagai menteri dengan terbongkarnya kebohongan tersebut. Senada, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Habiburokhman juga menegaskan Yasonna sudah seharusnya dipecat.
Dan sekarang, di tengah sorotan publik terhadap Yasonna dan desakan untuk segera memecat sang menteri dari kursi empuknya, apakah Presiden Jokowi akan seayun dengan berbagai desakan tersebut?
Tidak akan Dipecat?
Terkait pemecatan Yasonna, kita mungkin harus memandang pesimis kemungkinan tersebut. Pasalnya, sosok yang pernah menyebut Dian Sastro “bodoh” ini disebut-sebut begitu dekat dan dipercaya oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Jika benar pernyataan Kornelius Purba dalam tulisannya How History will Eventually Write Megawati, bahwa Jokowi mungkin adalah presiden yang sah secara hukum atau secara de jure, namun secara de facto atau kenyataannya, Megawati-lah yang sebenarnya menjadi pemimpinnya, maka kedekatan Yasonna dengan Megawati ini, tentu saja menjadi ganjalan yang begitu besar bagi Jokowi untuk memecatnya.
Bau-bau kedekatan Yasonna dengan PDIP telah tercium oleh berbagai pihak ketika Megawati justru menyodorkan nama Yasonna sebagai calon menteri pada 2014 kendati berbagai pihak menyorot buruk kinerjanya selama menjadi anggota DPR.
Menariknya, selama menjadi menteri di periode pertama pemerintahan Jokowi, berbagai pihak kerap mendesak Yasonna untuk dipecat sebagai menteri. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kontroversi yang membelit mantan anggota Komisi II DPR tersebut.
Pada 2015 misalnya, beberapa kali Yasonna melakukan tindakan yang bahkan tidak sejalan dengan keputusan presiden. Misalnya dengan tidak mematuhi Keppres nomor 766P tahun 2014 (766P/XII/2014) untuk melantik Bambang Widodo sebagai Dirjen Imigrasi karena disinyalir Yasonna memiliki calon lain.
Lalu, ketika Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap selepas penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka, Yasonna terlihat bolak-balik ke rumah Megawati di Teuku Umar. Menariknya, setelah itu viral surat kaleng yang menyebutkan Yasonna adalah salah satu pihak yang telah mengatur praperadilan BG.
Kembali di tahun yang sama, Yasonna juga menuai sorotan negatif karena menolak untuk mencabut revisi UU KPK dari prolegnas prioritas DPR 2015.
Pada 2017, Yasonna disebut telah menabrak undang-undang dan mengabaikan putusan Mahkamah Agung nomor 504 tahun 2015 dan 601 tahun 2015 karena tidak kunjung menerbitkan surat keputusan (SK) untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Jakarta.
Sepanjang kepemimpinannya, Yasonna juga dinilai gagal mengawasi lembaga permasyarakatan dengan banyaknya kasus napi yang justru ditemukan tengah bersafari alias pelesir keluar tahanan.
Pada 2018, terpidana korupsi alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM), Budi Susanto kedapatan mengunjungi pabriknya di daerah Karawang. Lalu yang heboh, pada Juni 2019, terpidana korupsi KTP elektronik, Setya Novanto juga diketahui tengah pelesiran bersama istrinya.
Melihat pada berbagai kontroversi yang mendera Yasonna, bahkan sempat mengabaikan Keppres, tentu menjadi afirmasi tersendiri bahwa Jokowi boleh jadi tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mendepak orang kepercayaan Megawati tersebut dari lingkaran Istana.
Simpulan ini juga diperkuat dengan komentar bertendensi lumrah Jokowi dalam menyikapi Yasonna yang tergabung ke dalam Tim Hukum PDIP. Tandasnya singkat: “Pak Yasonna juga pengurus partai”.
Tidak hanya karena kedekatannya dengan Megawati, nyatanya Yasonna juga memiliki pengaruh politik yang tidak dapat dipandang remeh. Yasonna saat ini besar kemungkinan tergabung di dalam faksi Parkindo (Partai Kristen Indonesia) yang merupakan salah satu kubu terkuat di tubuh PDIP saat ini.
Ini tidak terlepas dari Yasonna yang pernah menyebut Sabam Sirait yang merupakan mantan sekretaris Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di era Soekarno dan salah satu pendiri Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era Soeharto sebagai guru politiknya.
Kedekatannya dengan tokoh senior seperti Sabam Sirait, ataupun keaktifannya dalam organisasi sejak muda, seperti bergabung di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tentu saja membuat Yasonna memiliki jaringan politik yang begitu luas, di mana ini menguatkan nilai tawar atau pengaruh politiknya.
Singkat kata, jika benar seperti yang disebutkan oleh Kornelius Purba bahwa Megawati adalah presiden yang sesungguhnya, dan Jokowi tidak memiliki kuasa politik yang cukup, besar kemungkinan Yasonna tidak akan dipecat sebagai Menkumham.
Hukum adalah Alat Politik
Kendatipun Yasonna sukar dipecat Jokowi karena kedekatannya dengan Megawati, merujuk pada pernyataan Iwan Sumule bahwa Yasonna boleh jadi telah melakukan obstruction of justice, bukankah itu sudah menjadi indikasi yang cukup agar pihak kepolisian memeriksanya?
Terkait obstruction of justice, kita tentu masih ingat dengan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi yang juga melakukan obstruction of justice karena merancang kecelakaan fiktif yang kemudian menjadi meme “tiang listrik” dan “benjol segede bakpao”. Dan seperti yang kita ketahui, Fredrich kemudian mendekam di penjara atas aksinya tersebut.
Namun, terkait hal ini, kita tampaknya harus kembali memandang pesimis. Miro Cerar dalam tulisannya The Relationship Between Law and Politics, menyebutkan terdapat perpindahan pandangan dari yang menyebutkan kekuasaan adalah sarana untuk mewujudkan hukum, ke pandangan yang menyebutkan bahwa kekuasaan sebenarnya adalah hukum itu sendiri.
Lalu ada pula tulisan José María Maravall yang berjudul The Rule of Law as a Political Weapon, yang menyebutkan bahwa demokrasi dan supremasi hukum, bagaimanapun, dapat memberikan peluang untuk dijadikan sebagai alat untuk menggapai kepentingan politik dalam demokrasi.
Menurut Maravall, terdapat dua jenis strategi ketika hukum dijadikan alat untuk kepentingan politik dalam demokrasi.
Pertama, politisi dapat menggunakan demokrasi untuk mensubordinasi peradilan dan untuk mengatasi batas-batas yang ditetapkan oleh aturan hukum. Dengan kata lain, batasan-batasan hukum pada dasarnya dapat diterobos.
Kedua, di tengah usaha mempertahankan demokrasi, independensi hakim dapat diubah menjadi instrumen politik untuk menyingkirkan lawan politik. Dengan kata lain, pada strategi ini, politisi akan berupaya untuk menguasasi aktor-aktor penegak hukum, seperti hakim, jaksa agung, kepolisian dan sebagainya agar independensi tersebut dapat berubah menjadi alat politik.
Singkat kata, mengacu pada Cerar dan Miraval, probabilitas Yasonna dijerat terkait indikasi obstruction of justice sepertinya menjadi sulit untuk terjadi.
Pasalnya, seperti yang sebutkan oleh William Baude dan Stephen E. Sachs dalam tulisannya The Law of Interpretation, dalam memandu putusannya, aktor-aktor penegak hukum akan melakukan interpretasi terhadap hukum terkait. Artinya, mudah saja bagi aktor hukum terkait untuk menginterpretasi Yasonna tidak melakukan obstruction of justice.
Terlebih lagi, Yasonna adalah menteri yang membawahi bidang hukum. Tidak lupa pula, riwayat pendidikannya yang menterang, seperti meraih gelar doktor di North Carolina State University tentu saja membuatnya memiliki kapabilitas intelektual yang tidak sembarang, di mana itu adalah modal yang penting.
Pada akhirnya, menimbang pada besarnya pengaruh politik ataupun intelektual Yasonna, kita mungkin hanya dapat berharap pada kebijaksanaan Presiden Jokowi terkait apakah ia akan memecat Yasonna ataupun tidak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.