Pernyataan Prabowo Subianto tentang teroris yang diimpor dari luar negeri dan adanya ketidakadilan ekonomi yang menjadi akar persoalan adalah hal yang menarik untuk dibahas. Apakah perspektif ini penting untuk menentukan langkah preventif terhadap terorisme di Indonesia?
PinterPolitik.com
“Of all the passions capable of enslaving man’s will, none is more incompatible with reason and liberty than religious fanaticism.”
:: Maximilien Robespierre ::
[dropcap]P[/dropcap]enyanyi Ariana Grande mungkin tidak akan pernah melupakan pengalaman manggungnya di Manchester, Inggris pada 2017 lalu.
Bagaimana tidak, dalam konsernya itu ia harus menyaksikan aksi teror bom bunuh diri yang menyebabkan 22 orang kehilangan nyawa. Saking traumatisnya, pelantun lagu “No Tears Left to Cry” itu sempat berujar bahwa ia tidak ingin bernyanyi lagi.
Konteks tersebut menggambarkan betapa keji terorisme. Semua orang pun mengutuk aksi yang sudah ada sejak zaman Mesopotamia tersebut sebab atas dasar apa pun, terorisme tidak bisa diterima.
Sementara orang-orang berpikir untuk melawan paham tersebut, pelaku teror sendiri semakin canggih dan mewabah seperti virus ke berbagai negara.
Pada titik ini, timbul sebuah pertanyaan, sebenarnya apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi? Apakah ajaran agama “radikal” seperti yang selama ini diberitakan atau karena faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan teror?
Pertanyaan ini turut coba dijawab saat debat perdana Pilpres 2019 beberapa waktu lalu.
Saat itu, Ma’ruf Amin sebagai Ketua non-aktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih menggunakan pendekatan agama untuk menjelaskan perkembangan terorisme di Indonesia. Menurut cawapres Joko Widodo (Jokowi) itu terorisme disebabkan oleh orang-orang yang terpapar ajaran agama Islam “radikal”. Padahal, agama itu sendiri tidak pernah mengajarkan kekerasan.
MUI – sebagai lembaga yang mengurusi hukum Islam – pun telah mengeluarkan fatwa haram terhadap jihad yang diklaim dalam aksi teror.
Oleh karena itu, menurut Ma’ruf penanggulangan terorisme di Indonesia harus mengedepankan pencegahan melalui kontra radikalisme untuk menghilangkan paham-paham radikal dan intoleran.
Sementara itu, pandangan berbeda diungkapkan oleh Prabowo Subianto yang tak lain adalah salah satu pendiri badan antiteror pertama di Indonesia, yakni Detasemen 81 (Den-81). Ia menyebut bahwa terorisme muncul akibat adanya ketidakadilan – terutama di bidang ekonomi – serta ada pengaruh dari pihak-pihak asing untuk mengacaukan situasi dalam negeri lewat isu-isu tersebut.
Oleh sebab itu, solusi yang diusulkan Prabowo adalah investasi yang besar di bidang pendidikan – baik sekolah formal mapun informal keagamaan – dan di bidang intelijen. Selain itu, Prabowo juga menyebut harus meningkatkan kesejahteraan ekonomi agar masyarakat tidak mudah terpapar ajaran terorisme.
Dari dua diskursus yang berbeda tersebut, pendapat Prabowo tentang ketidakadilan dan pengaruh dari luar tentu saja menarik untuk diperhatikan. Sebab, sejauh ini terorisme di Indonesia lebih didekatkan pada stigma dari ajaran kekerasan berbasis agama seperti yang disampaikan oleh Ma’ruf. Padahal, terorisme itu sendiri memiliki dimensi yang cukup kompleks.
Lantas, bagaimana sebenarnya peran konteks ketidakadilan dan pengaruh pihak eksternal atau asing tersebut dalam menyuburkan terorisme di Indonesia?
Ada pihak asing dalam terorisme di Indonesia? Share on XAlasan Ketidakadilan
Peristiwa 11 September tahun 2001 digadang-gadang menjadi titik balik perang terhadap teror (war on terror) yang digaungkan oleh Amerika Serikat (AS). Saat itu gedung World Trade Center di New York dihantam oleh pesawat yang dibajak oleh organisasi bernama Al-Qaeda.
Praktis AS di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush kemudian gencar mengkampanyekan perang melawan teror.
Meskipun masih banyak penikmat teori konspirasi yang mendebatkan penyebab fenomena tersebut, yang jelas banyak pengamat dan penulis menyebut penyebab dari suburnya pelaku teror di berbagai wilayah adalah karena adanya perasaan ketidakadilan. Ketimpangan ekonomi dan perasaan rasial juga disebut meningkatkan jumlah teror di Eropa.
Beberapa kajian ilmiah menyebut sebagian pelaku teror berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah, meski hal ini terbantahkan saat Tri Murtiono, seorang pengusaha alumunium melakukan bom bunuh diri di Surabaya pada Mei 2018 lalu.
Pada titik ini, bisa dikatakan ketidakadilan yang dialami oleh seseorang berpotensi untuk mengubah cara pandang dia menjadi lebih radikal, sekalipun tentu saja ada banyak faktor lain yang bisa menjadi penyebabnya pula. Misalnya, ada suatu momentum di mana orang mengalami krisis dalam hidupnya, kemudian mencari jawaban atas persoalan-persoalan tersebut lewat cara-cara yang ekstrem.
Persepsi ketidakadilan semacam ini memicu kebencian terhadap pihak yang dianggap sebagai “penjahat” atau penyebab lahirnya ketidakadilan tersebut. Ketika suatu pihak sudah menganggap kelompok lain sebagai penjahat, maka kekerasan yang digunakan sebagai alat perjuangan dianggap terlegitimasi.
Oleh karena itu, para recruiter atau orang-orang yang punya kepentingan lewat kekacauan-kekacauan yang timbul lewat aksi-aksi teror, mengincar orang-orang dengan memainkan sisi emosionalnya tersebut. Orang-orang yang secara emosi dan juga ekonomi lemah karena hidupnya tidak adil atau makna hidupnya dirasa hilang akan mudah termakan jebakan ajaran atau ideologi lain.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh ahli terorisme dari King’s College London, Dr. Brooke Rogers yang menyebutkan bahwa meskipun terorisme memiliki penyebab yang beragam, namun ketidakadilan yang dirasakan oleh seseorang memainkan peran penting untuk mengubah cara pandang seseorang menjadi lebih radikal.
Faktor Eksternal
Selain itu, Prabowo juga menyinggung soal adanya pengaruh dari pihak luar terhadap maraknya terorisme di Indonesia. Pada titik ini, tidak bisa dinafikkan bahwa terorisme yang terjadi selama ini merupakan hasil “impor” dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dari pihak asing.
Sudah menjadi rahasia umum jika ISIS, Al-Qaeda dan Taliban yang dianggap sebagai kelompok-kelompok teroris terbesar, memiliki latar panjang yang berhulu pada konflik kepentingan yang justru berbasis pada ekonomi.
Jika menilik kasus-kasus terorisme terdahulu, misalnya yang melibatkan kelompok Taliban dan ISIS, semuanya berhubungan dengan bisnis konflik. Pola bisnis dalam konflik ini selalu berhubungan dengan penguasaan sumber daya alam tertentu di negara dengan pemerintahan yang lemah dan korup atau yang sedang mengalami kekosongan kekuasaan.
Taliban misalnya, awalnya merupakan kelompok yang didanai dan dipersenjatai oleh AS untuk memerangi Uni Soviet – kini Rusia – di Afghanistan sebagai perwujudan perebutan ladang migas dan pengaruh geopolitik.
Sementara itu, berdasarkan reportase dari Financial Times menyebut jika ISIS adalah sebuah perusahaan yang disebut ISIS Inc yang bergerak di bidang bisnis minyak. Penyebutan ini atas dasar kemampuan ISIS membiayai perang mereka sendiri dan memutar pundi-pundi keuangannya berbasis bisnis konflik. Berdasarkan penelusuran tersebut diketahui bahwa ISIS mendapatkan biaya dari penarikan pajak dan perdagangan minyak.
Selanjutnya, peperangan yang dibuat selalu melibatkan industri militer dan persenjataan. Maka, tidak heran jika ada simbiosis mutualisme antara produsen senjata dan konsumennya. Dalam hal ini, ISIS tentu saja membutuhkan suplai senjata. Beberapa sumber bahkan mencatat bahwa ISIS mendapatkan senjatanya dari 21 negara, termasuk – dan mungkin yang terbanyak – Amerika Serikat (AS).
Kepentingan ekonomi politik ini memanfaatkan fundamentalisme Islam untuk menarik kekuatan sekaligus menebarkan ketakutan. Bagi militan yang hanya terpengaruh oleh ajaran agama, tentu bergabung dengan ISIS akan dipandang sebagai sebuah kebanggaan dan ada imbalan surga jika mati di medan perang.
Sementara bagi kelompok bayaran, persoalan agama merupakan hal ketiga setelah ketertarikan kultural – kesamaan akar bangsa dan budaya – dan tentu saja penghasilan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Prabowo menyadari bahwa permasalahan terorisme tidak hanya sekedar soal doktrinasi dari ajaran agama yang menyimpang atau masalah ekonomi semata, namun ada kepentingan ekonomi politik yang lebih besar.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah hal tersebut akan terjadi di Indonesia?
Jawabannya akan selalu memiliki pertalian dengan kepentingan entitas tertentu di Indonesia. Radikalisme mengambil tempat di panggung politik Indonesia sebagai bagian dari “kelompok penekan” – entah terhadap pemerintah atau untuk tujuan yang lain.
Tidak sedikit di antaranya hanya menjadi bagian dari proxy war atau perang pengaruh yang melibatkan kekuatan asing. Misalnya seperti ormas-ormas yang disebut “radikal” seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak sedikit yang disebut-sebut mendapatkan pendanaan dari luar negeri.
Konteks impor terorisme ini sangat mungkin terjadi jika negara tidak punya sistem ketahanan dan pencegahan teror yang mumpuni. Bagaimanapun juga, negara-negara tetangga seperti Filipina, kini telah mengalami konteks konflik tersebut.
On terrorism, Prabowo in second answer talks about investing in education and health, helping Islamic boarding schools. Sandi adds must have a counter narrative to fight hardline propaganda.
— Kate Lamb (@_KateLamb) January 17, 2019
Akankah Terwujud?
Berdasarkan analisa dari penyebab terjadinya terorisme, maka peran intelijen memang penting untuk mendeteksi secara dini potensi terorisme. Setidaknya, pengaruh kerja intelijen mencapai 75 persen dalam penanganan terorisme. Hal ini krusial untuk mendeteksi secara dini sel teroris maupun indikasi kepentingan melalui terorisme.
Persoalannya tinggal bagaimana kelompok intelijen ini mau bekerja dengan dana yang sudah disediakan. Seperti diketahui, bahwa anggaran untuk penindakan terorisme di tahun 2018 mencapai Rp 435 miliar untuk Polri dan Rp 505 miliar untuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teorisme). Meski demikian, hal ini dinilai masih minim menurut sejumlah pejabat di DPR.
Maka, dengan janji Prabowo untuk memperkuat aparat penegak hukum seperti polisi, intelijen dan sebagainya menjadi tanda bahwa sang jenderal memahami bahwa terorisme memiliki dimensi yang luas.
Hal ini tentu saja terbukti lewat pengalaman empirisnya di keprajuritan, di mana ia bersama Luhut Binsar Panjaitan membentuk Den-81 Kopassandha pada tahun 1982. Selain itu, Prabowo pernah dikirim ke Jerman untuk mengambil spesialisasi penanggulangan teror.
Pada titik ini, memang sangat mungkin Prabowo jauh lebih paham persoalan terorisme dibanding kandidat mana pun, termasuk Ma’ruf Amin. Persoalannya tinggal bagaimana Prabowo mengelola politik anggaran di bidang ini jika ia terpilih karena seperti diketahui, ia belum memiliki pengalaman dalam pemerintahan yang mungkin akan sedikit mengganjal rencananya tersebut.
Dengan demikian, menarik untuk ditunggu apakah Prabowo akan berbicara banyak dalam konteks penanggulangan teror seandainya ia terpilih sebagai presiden. Yang jelas, rakyat tidak ingin menanggung kesedihan dan terus dibayang-bayangi oleh aksi teror dan berharap suatu saat Ariana Grande bisa melangsungkan konsernya lagi di Indonesia. Who knows. (A37)