Piala Dunia Qatar 2022 seolah menjadi panggung suara dan benturan bernuansa sosio-politik tersendiri ketika regulasi tuan rumah, intrik lagu kebangsaan Timnas Iran, hingga gestur tutup mulut Timnas Jerman. Lantas, mengapa itu bisa terjadi?
Piala Dunia sepak bola 2022 di Qatar bagaikan menjadi etalase suara-suara bertendensi sosio-politik yang digaungkan oleh sejumlah pihak, mulai dari para fans hingga beberapa tim nasional (timnas) yang berlaga, seperti Iran, Jerman, hingga Swiss.
Pada laga terakhir fase grup H, misalnya, terasa begitu emosional bagi dua pemain Timnas Swiss, Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka yang mengekspresikan selebrasi di hadapan fans dan Timnas Serbia.
Meski menyanggah eksistensi pesan politik, diketahui, Shaqiri dan Xhaka dikabarkan meluapkan selebrasinya itu sebagai refleksi konflik Kosovo-Albania yang pernah berdarah-darah berjuang untuk melepaskan diri dari Serbia dalam teater Perang Yugoslavia (1991-2001).
Selain intrik yang memang pernah diperagakan Shaqiri dan Xhaka pada ajang Piala Dunia Rusia 2018, dua intrik berbau politik lain yang baru muncul belakangan ialah aksi menolak menyanyikan lagu kebangsaan oleh Timnas Iran serta gestur tutup mulut Timnas Jerman.
Ya, dalam case Timnas Iran, Sardar Azmoun dkk menolak untuk menyanyikan lagu kebangsaan mereka sendiri saat pertandingan pertama melawan Timnas Inggris.
Itu dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap demonstrasi di Iran akibat represi aparat atas kematian Mahsa Amini di tangan polisi moral yang masih berlangsung hingga saat ini.
Tak hanya Timnas Iran yang menyisipkan pesan politiknya, Timnas Jerman pun seolah tak mau ketinggalan.
Dalam sesi foto bersama sebelum melawan Timnas Jepang, mereka melakukan gaya tutup mulut yang disebut-sebut sebagai protes terhadap aturan sepanjang Piala Dunia di Qatar. Satu yang paling menonjol adalah terkait larangan atribut terkait lesbian, gay, biseksual, and transgender (LGBT).
Meski mendapat sejumlah dukungan, bumerang bernada sinis justru tampaknya lebih banyak tertuju pada aksi Timnas Jerman.
Sebelumnya, Qatar, sebagai negara dengan kultur Islam yang kental, mengeluarkan sejumlah aturan ketat seperti larangan minuman beralkohol di stadion, larangan atribut LGBT, hingga larangan menggunakan pakaian terbuka di muka umum.
Walaupun belakangan aturan-aturan itu diperlonggar, eksistensinya sejak awal tak dapat dipungkiri memang memantik perdebatan, terutama dari peserta Piala Dunia 2022 yang berasal dari kultur yang “lebih bebas”.
Lantas, mengapa Piala Dunia edisi kali ini seakan menjadi showcase pesan-pesan dan benturan aspek sosio-politik yang begitu kental?
Huntington Benar?
Dalam sebuah artikel mendalam mengenai Piala Dunia sepak bola yang berjudul Why does the World Cup matter?, John. F. Molinaro memaparkan sejumlah analisis dari para pelaku dan analis yang dapat menjawab mengapa ajang empat tahunan itu begitu digandrungi dan mendapat sorotan dunia di tiap edisinya.
Disebutkan bahwa kekuatan representasi tiap negara menjadi lebih bermakna dibandingkan Olimpiade dikarenakan menjadi satu-satunya ajang olah raga tunggal yang dapat merangkul banyak orang.
Selain itu, hakikat sepak bola itu sendiri yang menawarkan kesederhanaan dan dapat dimainkan serta dinikmati individu dari latar belakang apapun membuat Piala Dunia begitu mendapat sorotan luas.
Sementara seorang jurnalis sepak bola untuk surat kabar Jerman Sueddeutsche Zeitung bernama Raphael Honigstein menyebut proliferasi media dan teknologi tanpa henti membuat ajang Piala Dunia di tiap edisinya selalu menjadi pembicaraan.
Memang, dari aspek representasi, negara-negara yang berpartisipasi sejak Piala Dunia pertama kali digelar pada tahun 1930 tak hanya didominasi oleh negara kuat, baik secara ekonomi maupun politik.
Mulai dari Uruguay, Brazil, hingga Argentina yang berhasil menjadi kampiun Piala Dunia seolah membuktikan ada kebanggaan sosio-politik tersendiri di balik rengkuhan mereka di ajang tersebut
Di titik inilah kiranya alasan Piala Dunia seolah menjadi showcase yang tepat untuk “menyelipkan” berbagai isu menjadi relevan, termasuk isu sosio-politik itu sendiri.
Terkait dengan apa yang terjadi di Piala Dunia 2022, kompleksitas interaksi sosial, budaya, dan politik antarnegara yang terus berkembang agaknya membuat intrik atas berbagai isu yang mengemuka di Qatar dapat dipahami.
Intrik yang cenderung mengarah pada benturan melalui ajang sepak bola itu sendiri secara khusus sebenarnya telah diprediksi oleh ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Samuel P. Huntington dalam karya fenomenalnya yang berjudul The Clash of Civilization.
Menurutnya, sumber utama konflik dalam new world atau dunia baru pasca Perang Dingin adalah budaya. Dan, budaya dalam manifestasi yang lebih luas adalah peradaban, sebagai suatu unsur yang membentuk pola kohesi maupun disintegrasi dan konflik.
Satu hal yang menarik ialah, sorotan Huntington sendiri ditekankan kepada benturan kultur peradaban Barat yang kental dengan nilai kebebasan berhadapan dengan kultur peradaban Islam, baik itu yang berkarakteristik moderat, otoriter, dan sebagainya.
Sebagai informasi, berbeda dengan mazhab Jerman dan Eropa kontinental, mazhab politik AS yang dibawa Huntington tidak membedakan definisi budaya (culture) dan peradaban (civilization).
Dengan nilai Islam yang menjadi landasan regulasi khusus di Piala Dunia edisi Qatar, interaksi dengan kultur peradaban yang lebih bebas dengan negara lain memang seolah tak dapat berpadu. Termasuk dalam case gestur tutup mulut Timnas Jerman.
Namun hal menarik lainnya, dalam kasus Timnas Iran tampaknya menghadirkan impresi berbeda.
Ya, aksi tuntutan nilai kebebasan (bernuansa Barat) Timnas Iran dari represi rezim yang dianggap otoriter seolah menggambarkan benturan lain dalam konteks yang lebih spesifik di ranah domestik.
Sementara dalam kasus Shaqiri dan Xhaka terhadap Serbia, kiranya memiliki intrik yang lebih kepada aspek historis, bukan sebuah bentuk benturan peradaban.
Namun, mengapa gaung pesan bernuansa politis itu kiranya tersuarakan lebih masif di ajang Piala Dunia Qatar?
Residu Pandemi?
Satu penjelasan sederhana mengenai pertanyaan terakhir tampaknya masih berhubungan erat dengan dampak Pandemi Covid-19.
Tak dapat dipungkiri, sejak dipaksa meminimalisir interaksi masyarakat, negara-negara di dunia – termasuk negara demokratis – seakan “terjebak” dengan sendirinya untuk melakukan pembatasan yang terlalu jauh.
Cendekiawan AS Margaret O’Mara mengistilahkan fenomena di masa pandemi itu sebagai big government, yang mana kecenderungan itu oleh profesor sosiologi dan politik Lane Kenworthy dinilai sebagai bentuk pemerintah yang mereduksi kebebasan masyarakat sipil.
Bagaimanapun, tak dapat dipungkiri bahwa tuntutan politis rakyat terhadap pemerintahnya maupun suara masyarakat dunia terhadap isu yang sedang mengemuka bagaikan tersamar oleh narasi penanggulangan pandemi.
Ihwal itu, plus relevansinya dengan apa yang dijelaskan di bagian sebelumnya, tampak membuat ajang Piala Dunia Qatar begitu ramai dengan lampiran pesan sosio-politik dari berbagai elemen, termasuk para peserta ajang itu sendiri.
Oleh karena itu, peradaban saat ini agaknya masih harus belajar esensi penting interaksi global yang semakin tanpa batas namun begitu kompleks. Apakah itu?
Di abad ke-19, filsuf asal Jerman Wilhelm Christian Ludwig Dilthey sebenarnya telah meletakkan elemen dasar keharmonisan interaksi antarperadaban melalui pendekatan filsafat sosio-historis.
Dilthey menggagas formula hermeneutik interaksi manusia modern, yakni hubungan timbal balik berdasarkan tiga konsep kunci: penghayatan (erleben), ungkapan (ausdruck), dan memahami (verstehen).
Jika disederhanakan secara ringkas intisari apa yang dikemukakan Dilthey itu agaknya sejalan dengan adagium terkenal, “when in Rome, do as the Romans do” atau dalam peribahasa Indonesia berarti “di mana bumi di pijak, disitu langit dijunjung”.
Dengan kata lain, saling memahami nilai, kultur, dan peradaban di antara masyarakat dunia kiranya menjadi hikmah yang bisa dipetik dari berbagai intrik yang terjadi di Piala Dunia Qatar. (J61)