HomeNalar PolitikBenturan Idealisme di Balik UU Ciptaker

Benturan Idealisme di Balik UU Ciptaker

Pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU tengah menuai berbagai kritik dan kutukan. Tegas, produk hukum ini disebut merugikan pekerja dan buruh karena hanya menguntungkan pengusaha dan investor. Lantas, mungkinkah terdapat benturan idealisme di balik UU kontroversial ini?


PinterPolitik.com

Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU, dapat dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meletakkan langkah besar dalam penerapan Omnibus Law atau UU Sapu Jagat. Produk hukum ini sendiri pertama kali didengar publik saat pidato pelantikan sang presiden pada 20 Oktober 2019 lalu.

Merujuk pada pernyataannya pada 16 Mei 2019 ketika menegaskan dalam lima tahun ke depan tidak memiliki beban apa-apa, tampaknya itu menjadi jawaban mengapa Presiden Jokowi berani mengambil keputusan-keputusan tidak populis yang memicu resistensi publik. Tidak hanya soal UU Ciptaker yang saat ini tengah mendapat hujanan kritik, pada September tahun lalu, gelombang besar demonstrasi juga terjadi ketika menolak revisi UU KPK.

Merangkum narasi yang ada, penolakan keras terhadap UU Ciptaker didasarkan pada ketimpangan keadilan karena hak buruh atau pekerja disebut dikurangi bahkan ditiadakan. Mulai dari bertambahnya jam lembur, pengurangan pesangon, masalah cuti dan hari libur, tidak ada upah minimum, hingga pada klaim mudahnya perusahaan untuk memecat pekerja. Di sisi lain, produk hukum ini disebut begitu menguntungkan pengusaha dan investor karena mempermudah izin usaha dan mengurangi beban pengeluaran.

Jika kita melepaskan diri dari sentimen yang saat ini tengah berselimut kalut, sepertinya kita dapat menemukan terdapat dua idealisme yang tengah berbenturan di balik polemik UU Ciptaker. Lantas, idealisme apakah yang dimaksud?

Naïve Idealism vs Mature Idealism

Tidak hanya dari kalangan buruh, mahasiswa dan kawula muda adalah kelompok yang menolak keras produk hukum ini. Tegas mereka, ini adalah perwujudan dari perhatian negara yang lebih condong terhadap kelompok pemilik modal alias pengusaha. Lanjutnya, negara seharusnya mampu menyejahterakan buruh yang notabene merupakan rakyat kecil dengan melepaskan diri dari intervensi pengusaha.

Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan, jangan sampai suara-suara lantang tersebut terjebak dalam naïve idealism atau idealisme naif. Ini adalah cara berpikir yang bercirikan solusi dan keyakinan yang sangat optimis dan positif tetapi kurang realistis atau kurang dipikirkan dengan matang. Jenis pemikiran seperti ini umumnya terjadi di kalangan remaja. Mereka yang terjebak dalam idealisme ini percaya bahwa sesuatu akan berjalan persis seperti yang dibayangkan tanpa memikirkan secara utuh kalkulasi praktikalnya.

Dalam penjelasan yang lebih spesifik, idealisme ini juga rentan terjebak dalam kesalahan bernalar yang disebut dengan the impossibility of perfection atau kesempurnaan yang mustahil. Pada umumnya, kesalahan bernalar ini terjadi di ranah etika karena adanya anggapan bahwa kebahagiaan atau kebajikan yang sempurna dapat digapai.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Menurut Profesor Etika dari University of Miami, Michael Slote, kebahagiaan dan kebajikan yang sempurna bagi manusia secara prinsipnya tidak mungkin terjadi. Ini karena fenomena etika jauh lebih kompleks, dan jauh lebih meningkatkan potensi konflik dan kegagalan nilai, daripada yang dibayangkan selama ini.

Konteks yang disebutkan oleh Slote dapat kita pahami melalui masalah “partikularitas tidak terbatas” dalam kepentingan sosial. Dalam realita sosial, setiap individu ataupun kelompok masyarakat umumnya akan mempromosikan nilai yang menurutnya benar, sehingga tidak jarang terjadi tumpang tindih dan benturan nilai. Dengan kata lain, sampai saat ini tidak ditemukan metode untuk melakukan distribusi keadilan yang merata di tengah masyarakat.

Sama halnya dengan kasus penolakan terhadap UU Ciptaker, di sana terjadi bayangan kesejahteraan yang ideal, namun minim dalam penjabaran praktikal. Secara umum, mereka yang mengkritik ketimpangan distribusi kesejahteraan di UU tersebut akan merujuk pada norma dan konsep ideal seperti pasal 33 UUD 1954 ataupun sila kelima Pancasila.

Di sisi lain, mereka yang mendukung UU Ciptaker, besar kemungkinan terjebak dalam mature idealism atau idealisme dewasa. Idealisme ini telah memiliki penerimaan bahwa kejahatan dan delusi itu nyata adanya. Oleh karenanya, ini membuat penganut idealisme ini cenderung realistis karena telah mengetahui berbagai persoalan praktikal yang ada. Berbeda dengan idealisme naif, idealisme dewasa tidak bersifat sentimental, yang artinya lebih mengedepankan rasionalitas.

Akan tetapi, jenis ideologi ini nyatanya juga memiliki persoalan, yakni kurang memberi porsi perhatian pada persoalan moralitas. Misalnya, demi menuju tujuan X, mau tidak mau pengorbanan atas sesuatu memang harus dilakukan. Dalam kasus UU Ciptaker, untuk mempermudah izin usaha, persoalan lingkungan dinilai menjadi korban. Konteks tersebut juga yang disorot oleh 35 investor yang menilai produk hukum tersebut memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, HAM dan ketenagakerjaan.

Lantas, haruskah kedua idealisme ini dibiarkan berseteru alias dipilih salah satu, atau terdapat jalan untuk mempertemukan keduanya?

Apa Solusinya?  

Persoalan benturan antara nilai kesejahteraan dan kepentingan usaha tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara. Oleh karenanya, menjadi penting untuk membandingkan bagaimana negara lain mencari solusi atas persoalan tersebut.

Rita Kwok Hoi Yee dalam tulisannya Impact of Reforms on the Labour System in China menjelaskan bahwa reformasi sistem tenaga kerja di Tiongkok telah menandai perubahan besar dari sistem sosialis di masa lalu, seperti upah egaliter dan kesejahteraan komprehensif menuju sistem yang lebih kapitalis.

Itu terjadi dengan mengubah berbagai sistem, seperti pekerja seumur hidup digantikan oleh sistem tenaga kerja kontrak, upah ditentukan dengan kinerja dan produktivitas, dan paket kesejahteraan dasar yang komprehensif digantikan oleh sistem jaminan sosial. Perubahan sistem tersebut kemudian mendorong pekerja memiliki rasa kompetisi yang tinggi karena untuk memperoleh upah yang tinggi memerlukan etos kerja yang tinggi pula.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Contoh yang lebih menarik dapat kita lihat dari hartz reforms di Jerman. Lena Jacobi dan Jochen Kluve dalam tulisannya Before and After the Hartz Reforms: The Performance of Active Labour Market Policy in Germany menjelaskan bahwa sebelum terjadinya hartz reforms atau reformasi hartz, Jerman mengalami masalah pengangguran yang tinggi karena tunjangan sosial yang diberikan kepada pengangguran justru membuat mereka tidak mencari pekerjaan karena memiliki pemasukan tetap.

Sebagai solusi, sistem pemberian tunjangan kemudian didesain ulang. Misalnya, mereka yang pasif mencari pekerjaan akan menerima sanksi berupaya pengurangan tunjangan. Alhasil, itu mendorong peningkatan rasa kompetisi individu untuk mencari pekerjaan.

Melihat kasus yang terjadi di Tiongkok dan Jerman, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kompetesi individu yang tengah dilakukan. Kasus di Tiongkok dan Jerman menunjukkan bahwa upah yang merata dan tetap tanpa adanya kesesuaian dengan kinerja justru berkonsekuensi pada minimnya kompetisi dan etos kerja. Akan tetapi, solusi ini tentunya memiliki efek samping, misalnya terjadi kesenjangan pendapatan.

Dengan kata lain, alih-alih memilih salah-satu antara idealisme naif atau idealisme dewasa, mencari titik temu antara keduanya seharusnya yang dilakukan dalam UU Ciptaker. UU tersebut harus menciptakan sistem, di mana pekerja dapat meningkatkan kesejahteraannya, namun tidak juga mengorbankan atau mempersulit pelaku usaha.

Akan tetapi, berhubung produk hukum tersebut telah disahkan, masalah utama yang harus diselesaikan saat ini adalah derasnya sentimen negatif terhadap pemerintah. Jika dibiarkan, ini tentunya dapat berkonsekuensi pada delegitimasi pemerintahan.

Di sini, sekiranya kita sepakat bahwa persoalan besar yang menimbulkan kecurigaan terhadap UU Ciptaker karena proses pembuatannya yang tidak mengedepankan transparansi. Sedari awal, berbagai draf RUU tidak benar disebut beredar di tengah masyarakat. Misalnya, kritik keras terkait penghapusan pesangon dan upah minimum, ataupun dapat dipecat kapan saja disebut berakar dari draf yang tidak benar.

Akan tetapi, anehnya pemerintah, khususnya DPR tidak menjernihkan persoalan tersebut dengan mengunggah atau menyebarkan draf yang sebenarnya. Kemudian, pembahasan yang dilihat tergesa-gesa, tidak mendengar aspirasi publik, dan seolah memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 juga menambah rasa curiga bahwa terdapat konspirasi di baliknya.

Sampai saat ini, memang belum terlihat adanya usaha DPR untuk menjernihkan persoalan ini. Kita tentunya berharap pengesahan UU tersebut jangan sampai menjadi preseden atas gejolak politik yang nantinya dapat terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...